Sekelumit tentang Lapangan Tanah Liat di Prancis Terbuka

31 Mei 2018 14:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bola tenis Stade Roland Garros. (Foto: AFP/Thomas Samson)
zoom-in-whitePerbesar
Bola tenis Stade Roland Garros. (Foto: AFP/Thomas Samson)
ADVERTISEMENT
Juan Carlos Ceriani pening bukan kepalang ketika hujan deras melanda kota Montevideo. Sebagai guru olahraga yang banyak menghabiskan jam pelajaran di luar ruangan, hujan adalah musuh yang nyata. Namun, itu tak membuat dirinya kehilangan akal.
ADVERTISEMENT
Tahunnya adalah 1930 ketika Ceriani mendapat ide cemerlang memindahkan permainan sepak bola ke dalam ruangan. Baginya, yang penting para siswanya bisa terus bermain tak peduli seperti apa kondisi cuacanya. Maka, ketika hujan deras turun di ibu kota Uruguay itu, Ceriani mengajak siswa-siswanya untuk bermain sepak bola di aula basket.
Ide Ceriani itu kemudian terus berkembang sampai akhirnya lahirlah olahraga yang kini disebut futsal. Nama olahraga ini berasal dari dua kata bahasa Spanyol, futbol dan sala. Secara harfiah, futbol sala berarti sepak bola dalam ruangan.
Mengakali situasi seperti itu bukan cuma terjadi di sepak bola. Di tenis pun hal ini dilakukan. Awalnya, olahraga ini selalu dimainkan di lapangan berpermukaan rumput seperti di Wimbledon. Namun, lapangan seperti itu tidak bisa selalu digunakan karena ada kalanya, rumput akan layu, terutama ketika musim panas sedang hebat-hebatnya.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, pada 1880, Renshaw Bersaudara -- Ernest dan William -- memiliki sebuah ide. Untuk mencegah agar rumput tidak layu selama musim panas, mereka memutuskan untuk melapisi lapangan dengan tanah liat bubuk. Meski Renshaw Bersaudara berasal dari Inggris, mereka melakukan hal ini pertama kali di Cannes, Prancis.
Tak dinyana, lapangan tanah liat kemudian menjadi populer. Dengan cepat, tenis di lapangan ini dipertandingkan secara kompetitif. Bahkan, Prancis Terbuka -- sebagai turnamen lapangan tanah liat terakbar -- sudah mulai dipentaskan sejak 1891 atau hanya sebelas tahun semenjak lapangan ini diperkenalkan oleh Renshaw Bersaudara.
Yang menarik dari lapangan tanah liat ini sebenarnya adalah bahwa ia tidak terbuat dari tanah liat. Setidaknya, begitulah situasinya sejak 1909 silam. Sebabnya, tanah liat menyimpan sebuah problem yang tidak bisa dipecahkan oleh siapa pun: drainase.
ADVERTISEMENT
Di lapangan tanah liat asli, ketika hujan turun, air terlalu mudah diserap dan disimpan. Hal itu membuat permainan menjadi terganggu karena bola jadi tidak bisa memantul dengan baik.
Maka, pada 1909, sebuah firma Inggris bernama En Tout Cas mengusulkan agar tanah liat itu diganti dengan batu bata merah yang lebih mudah dilewati air sehingga drainase pun lebih lancar. Sampai sekarang, batu bata merah yang dihancurkan ini digunakan untuk jadi lapisan terluar lapangan tanah liat.
Serpihan batu bata merah Roland Garros. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
zoom-in-whitePerbesar
Serpihan batu bata merah Roland Garros. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
Sebenarnya, batu bata merah bukanlah satu-satunya bahan yang digunakan. Di Amerika Utara, basalt jadi pilihan. Maka dari itu, sebenarnya ada dua jenis lapangan tanah liat di dunia tenis, yakni lapangan tanah liat merah dan hijau. Basalt yang secara natural memang berwarna hitam kehijauan itu menjadi bahan utama untuk membuat lapangan tanah liat hijau. Meski demikian, tanah liat merah tetap lebih populer.
ADVERTISEMENT
Untuk membuat lapangan tanah liat, biaya yang diperlukan sebenarnya lebih murah. Selain bata merah bubuk tadi, ada empat bahan lain yang harus disiapkan, yaitu gamping yang sudah dihancurkan, clinker (bahan padat hasil pembakaran batu bara), kerikil yang juga sudah dihancurkan, dan batuan lain untuk jalan keluar air (drain).
Di lapisan terbawah, drain disusun dengan ketinggian kurang lebih 35 cm. Di atasnya, lapisan kerikil setinggi 30 cm diletakkan. Kemudian, di atas lapisan kerikil ada clinker yang disusun setinggi 7-8 cm. Setelahnya, ada lapisan gamping setinggi 6-7 cm.
Terakhir, serbuk bata merah ditaburkan di atas lapisan gamping dengan ketinggian 1-2 mm. Meski terlihat sedikit, sebenarnya untuk membuat satu lapangan bisa dibutuhkan sampai 1,1 ton bata merah. Bahkan, untuk lapangan Philippe-Chatrier bisa dibutuhkan hingga 1,5 ton.
ADVERTISEMENT
Meski biaya pembuatannya lebih murah, biaya perawatan lapangan tanah liat sama sekali tidak kecil. Untuk mempersiapkan lapangan jelang pertandingan, misalnya, dibutuhkan sampai delapan orang. Total, di Prancis Terbuka ada 100 orang yang bertanggung jawab melakukan perawatan.
Lapangan Roland Garros sedang disapu. (Foto: Reuters/Pascal Rossignol)
zoom-in-whitePerbesar
Lapangan Roland Garros sedang disapu. (Foto: Reuters/Pascal Rossignol)
Ada empat jenis perawatan yang dibutuhkan lapangan tanah liat. Tiap pagi, penutup dibuka dan lapangan disapu. Kemudian, di antara set di tiap pertandingan, lapangan disapu dan garis pembatas disikat agar tetap terlihat.
Setelah pertandingan selesai, lapangan harus disapu, disikat, dan disiram. Baru ketika segala aktivitas usai di malam hari lapangan disirami secara intensif. Tujuan utama dari perawatan ini adalah menjaga agar permukaan tetap rata dan tidak mengganggu trajektori pantulan bola.
Nah, bicara soal lapangan tanah liat ini, berarti bicara soal Rafael Nadal. Pada tulisan ini, kami sudah membahas apa yang membuat petenis Spanyol itu begitu digdaya di lapangan tanah liat, khususnya di Stade Roland Garros. Salah satu dari faktor yang jadi penentu kehebatan Nadal ini adalah karena sejak kecil, dia sudah dibiasakan bermain di lapangan tanah liat.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada Nadal sama sekali bukan kebetulan. Di negara asal Nadal, Spanyol, para petenis belia memang dibesarkan di lapangan seperti ini. Kepada mereka, diajarkan betapa pentingnya strategi dalam bermain tenis karena satu pukulan di lapangan tanah liat bisa menentukan empat sampai lima pukulan sesudahnya. Tak jarang pula orang mengasosiasikan tenis di lapangan tanah liat dengan catur.
Spanyol tidak sendiri. Prancis, Italia, serta negara-negara Mediterania dan Amerika Selatan juga membesarkan petenis-petenis mereka di lapangan tanah liat. Di sinilah kemudian tenis terbelah.
Roland Garros Stadium, 2017. (Foto: Reuters / Gonzalo Fuentes/File Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Roland Garros Stadium, 2017. (Foto: Reuters / Gonzalo Fuentes/File Photo)
Dalam dunia tenis, ada istilah Francophone dan Anglophone. Dua istilah ini merujuk pada dua gaya yang bertolak belakang. Para petenis Francophone terbiasa dengan lapangan tanah liat yang gerak bolanya lebih lambat. Oleh karenanya, mereka lebih mengedepankan strategi dalam bermain. Sebaliknya, para petenis Anglophone dibesarkan di lapangan rumput yang gerak bolanya paling cepat. Maka, para petenis model ini pun lebih mengedepankan agresi.
ADVERTISEMENT
Pertentangan antara dua gaya ini pada akhirnya tersimbolisasi lewat Prancis Terbuka dan Wimbledon. Kontras antara dua turnamen ini membuat keduanya jadi sedikit lebih bergengsi ketimbang Australia dan Amerika Serikat Terbuka yang dimainkan di lapangan keras (hard court).
Biasanya, mereka yang merupakan spesialis tanah liat bakal lebih kesulitan di permukaan rumput dan demikian pula sebaliknya. Namun, ada beberapa sosok yang pantas disebut sebagai anomali.
Bjoern Borg, misalnya, berhasil mengemas enam trofi Prancis Terbuka dan lima gelar Wimbledon sepanjang kariernya. Selain Borg, ada pula Nadal. Meskipun tidak sedominan Borg di lapangan rumput, setidaknya Nadal sudah punya dua gelar Wimbledon.
Capaian Borg dan Nadal itu sangatlah spesial jika dibandingkan dengan petenis-petenis macam Pete Sampras dan Gustavo Kuerten. Sampras adalah juara tujuh kali di Wimbledon, tetapi tak pernah sampai ke final Prancis Terbuka barang sekali pun. Sebaliknya, Kuerten yang punya tiga trofi Prancis Terbuka paling banter hanya berhasil sampai ke perempat final Wimbledon.
ADVERTISEMENT