Setelah Kalah di All England, Apa, Sih, Kegiatan para Pemain?

10 Maret 2019 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tunggal putri andalan PBSI, Gregoria Mariska Tunjung dan Fitriani, bersiap menuju sesi latihan di Arena Birmingham. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tunggal putri andalan PBSI, Gregoria Mariska Tunjung dan Fitriani, bersiap menuju sesi latihan di Arena Birmingham. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
ADVERTISEMENT
Kalah-menang sudah biasa. Begitu kalimat yang acap kali terdengar dari para olahragawan alias atlet. Ya, mereka hidup bersama persaingan. Keseharian para atlet yang wajib diisi dengan latihan membuat sifat kompetitif mereka tumbuh secara alami.
ADVERTISEMENT
Jadi, tak perlu melebih-lebihkan suatu kekalahan atlet dalam satu pertandingan. Bukan pula untuk menjadi pembenaran, tetapi justru untuk memanusiakan mereka.
Kekalahan hadir sebagai peringatan bagi para atlet. Mengingatkan kembali bahwa hanya ada satu pemenang, mengingatkan kembali bahwa satu tempat itu hanya bisa didapat dengan bersaing sengit dan berlatih keras.
Nah, di All England 2019, hujan kekalahan melanda skuat nasional Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Di babak pertama saja, wakil terbaik yang tengah berjuang mencetak hattrick, ganda putra Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo, sudah gugur.
Selain mereka, ada 10 wakil lain yang hanya puas mencicipi satu babak di turnamen bulu tangkis tertua nan bergengsi itu. Dua di antaranya adalah duo tunggal putri Gregoria Mariska Tunjung dan Fitriani, serta spesialis ganda putra, Wahyu Nayaka Arya Pangkaryanira.
ADVERTISEMENT
Gregoria Mariska Tunjung di All England 2019. Foto: PBSI
Fitriani dan Wahyu sudah tak asing dengan All England, sementara musim ini adalah debut pertama Gregoria di Arena Birmingham --venue All England. Setelah kalah, kewajiban ketiganya sebagai atlet tentu saja tetap berlatih meski punya waktu 'kosong' meski tak lagi terdaftar di jadwal laga All England.
Itu kewajiban sebagai atlet. Apa kegiatan mereka sebagai manusia? kumparanSPORT berkesempatan mengikuti agenda Fitriani, Gregoria, dan Wahyu pada Jumat, 8 Maret 2019. Tidak hingga akhir --duh, kami pun wajib bekerja meliput tugas lainnya-- tetapi dari obrolan hangat tersebut bisa menjelaskan apa yang mereka lakukan tiap kalah dari turnamen.
Menuju Tempat Latihan
"Bangun jam delapan (pagi)," kata Gregoria membuka percakapan.
"Salat Subuh, tidur lagi, bangun, dan sarapan tergantung latihan. Kalau sekarang latihan jam 10:00, sarapan 09:30," tutur Fitriani.
ADVERTISEMENT
"Kalau buru-buru sarapan, nanti lapar lagi saat latihan," sahut Gregoria.
Setelah bangun tidur --yang jamnya sudah lebih fleksibel ketika kalah-- dan sarapan di restoran hotel, keduanya lalu berjalan dari hotel ke Arena Birmingham yang berjarak kurang lebih 500 meter.
Lalu, apa yang dilakukan saat masuk sesi latihan? Layaknya berlatih di Cipayung, sesi dimulai dengan peregangan otot dan pemanasan. Untuk program latihan, Gregoria menjelaskan bahwa pelatih biasanya menambah evaluasi dari suatu kekalahan.
Spesialis ganda putra, Wahyu Nayaka Arya Pangkaryanira (baju oranye kiri), sarapan bersama Fajar Alfian di hotel. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
"Sama saja programnya seperti di Cipayung. Kurangnya (apa) ditambahin sedikit. Di sini campur-campur (program), karena dapat waktu latihan hanya satu-dua jam, tidak selama saat kami di Cipayung," kata Gregoria.
Pun kata Wahyu, dia bangun tidur sekitar pukul 08:00-09:00 dilanjutkan dengan sarapan. Saat ditemui, atlet asal Lombok ini tengah sarapan bersama Fajar Alfian --rekan pelatnas yang saat itu masih tanding babak perempat final. Kalau Wahyu, apa latihannya?
ADVERTISEMENT
"Sudah ada jadwal dari manajer dan pelatih, jadi harus tetap latihan. Ada programnya, latihan kekurangannya juga dari evaluasi hasil pertandingan," ujarnya.
Menonton Pertandingan Teman
Usai menguras keringat di Lapangan Latihan Arena Birmingham, kegiatan ketiganya sama: Menyaksikan pertandingan kompatriot yang bertanding di hari itu.
"Nonton pertandingan dari tribune, sampai (jadwal wakil) Indonesia selesai," kata Gregoria.
Well, apa rasanya menonton teman sendiri yang masih membuktikan diri di pertandingan sementara dirinya hadir dengan status kalah di babak pertama?
"Muncul perasaan sedih sih pasti. Setiap pertandingan ingin melangkah jauh tidak hanya babak awal. Tapi tidak selalu hasil sesuai, jadi tidak usah dipikirkan, takutnya ke babak berikutnya jadi beban. Tapi kepikiran sih pasti. Kalau menonton yang mengalahkan kami, kadang mikir kita bisa. Suka mikir begitu. Tapi tidak bisa diulang lagi, hanya bisa bersiap," jawab Gregoria.
ADVERTISEMENT
Meski kalah di babak pertama All England 2019, Gregoria dan Fitriani tetap berlatih sesuai program di sisa waktu sebelum meninggalkan Inggris. Foto: arina Nur Shabrina/kumparan
Fitriani, lebih merasa sedih ketika berada jauh dari keramaian. "Sedih sih pasti, masih sering kepikiran. Untuk move on sih tergantung, kalau mainnya lepas, kadang tidak bisa tidur. Masih kepikiran, kalau lagi makan lupa, tapi lagi di kamar teringat lagi," katanya.
Kalau Wahyu --yang paling senior ketimbang dua tunggal putri itu-- lebih menjadikan momen itu sebagai acuan untuk berlatih lebih keras. "Sedih pasti ada. Latihan bareng, dia masih main saya tidak main. Rasa iri pasti ada, tapi untuk pacuan pribadi," ujar Wahyu.
Waktu Luang di Luar Arena
Jika kegiatan di Arena Birmingham terbatas latihan dan menonton pertandingan, Fitriani, Gregoria, dan Wahyu bisa meluangkan waktu untuk sekadar mencari makanan Asia sambil berjalan-jalan.
ADVERTISEMENT
"Setelah menonton pertandingan teman, barulah meluangkan waktu bisa jalan-jalan atau makan," kata Wahyu yang bertemu kumparanSPORT hanya selama sarapan di restoran hotel.
Adapun Fitriani dan Gregoria menceritakan kebiasaannya mencari menu nasi setiap bertanding di luar negeri. Terutama Gregoria, dia mengaku hal yang paling dirindukannya ketika berada di negeri orang adalah masakan Indonesia.
Berbincang saat berjalan menuju venue, Gregoria bahkan sempat menunjukkan saus sachet yang dibawa di kantong puffer jacket hitamnya. "Ini aku selalu bawa saus," ujarnya.
Fitriani usai bertanding di babak pertama All England 2019. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
"(Selain latihan) memang cari makan. Kadang cari Asian food susah di yang dekat (venue), jadi jauh hanya untuk cari makan, sekaligus jalan-jalan. Sudah tahu (spot), banyak yang rekomendasi tempat bagus. Saya dan Fitriani sudah sempat jalan, ke Bull Ring. Kemarin (7/3) cari Chinese Food," tambah Gregoria.
ADVERTISEMENT
Jika Gregoria kangen masakan Tanah Air, Fitriani wajib membawa beras tiap kali bertanding di luar negeri. Karena hal itu sudah lumrah bagi atlet Indonesia, maka terkadang tugas membawa rice cooker dikoordinasikan dengan teman sekamar.
"Beras bawa, masing-masing (atlet) bawa. Rice cooker kadang berbagi dengan teman sekamar," ucap Fitriani.
Bagaimana kesan terhadap Birmingham?
Obrolan santai kumparanSPORT dengan kedua tunggal putri itu masih berlanjut dalam perjalanan kami menembus dinginnya angin pagi itu. Tak lupa juga keduanya menyinggung soal target tahun ini.
kumparan (k): Birmingham menurut kamu?
Gregoria (G): Sama saja. Eropa memang sepi-sepi, kecuali Paris. Kalau saya baru pertama kali ke Inggris. Tapi lumayanlah bagus.
k: Saat jalan-jalan dan membeli makanan, apakah dikontrol oleh pelatih?
ADVERTISEMENT
Fitriani (F): Tidak, sih.
G: Fish and chips 'kan kentang dan ikan, di situ menu makanannya memang seperti itu.
k: Kota favorit tiap tanding di luar negeri?
G: Biasa saja, sih (kesan). Soalnya untuk ke sini untuk turnamen. Mungkin kalau juara baru memorable. Kalau untuk betul-betul jalan bukan tanding mungkin belum ada (favorit).
Meski kalah di babak pertama All England 2019, Gregoria dan Fitriani tetap berlatih sesuai program di sisa waktu sebelum meninggalkan Inggris. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
k: Rasanya debut di All England?
G: Senang sih, tapi hasilnya sedikit tidak sesuai dengan yang diharapkan pertamanya. Semoga tahun depan bisa ke sini lagi dan perbaiki hasil tahun ini.
k: Target tahun ini?
F: Seperti yang saya bilang, ingin konsisten di setiap turnamen yang saya ikuti. Kalau sudah keluar semua 'kan kemungkinan menang bisa, tapi kalau mainnya tidak maksimal, menang susah.
ADVERTISEMENT
Orang Tua, 'Rumah' Sesungguhnya
Tak hanya jauh dari Indonesia, orang tua, dan rumah setiap bertanding ke berbagai negara, Fitriani dan Gregoria yang tinggal di pelatnas Cipayung, Jakarta Timur, sehari-hari pun harus merelakan jauh dari orang tua dan rumah.
Ya, Indonesia ditinggal saat mereka bertanding di luar negeri. Tetapi 24 jamnya, lima hari dalam sebulan, dan berbulan-bulan dalam semusim ditempa oleh PBSI, kedua atlet harus terbiasa tidak pulang ke rumah dan bertemu orang tua tercinta.
Sekalinya bertemu, adalah suatu kebanggaan jika bisa hadir sebagai juara. Fitriani merasakannya.
"Saya asli Garut, orang tua di Cibinong. Pulang Sabtu-Minggu ke rumah. Kangen sih pasti, tapi Sabtu dan Minggu kalau boleh pulang, ya, pulang," ujar atlet kelahiran 27 Desember 1998 ini.
ADVERTISEMENT
"Momen membanggakan pasti saat juara kemarin (di Thailand Masters 2019 Super 300). Itu momen yang saya senangi bisa dapat hasil maksimal. Kemarin memang Allah kasih rezeki di situ," katanya.
Sementara, Gregoria adalah atlet muda kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 11 Agustus, 19 tahun lalu. Karena rumahnya jauh, terkadang kedua orang tuanya yang menengok sang anak di Ibu Kota.
Meski kalah di babak pertama All England 2019, Gregoria dan Fitriani tetap berlatih sesuai program di sisa waktu sebelum meninggalkan Inggris. Foto: arina Nur Shabrina/kumparan
"(Orang tua) sering nengok ke Jakarta. Saya libur Sabtu-Minggu, jadi tidak mungkin pulang dua hari dan Senin latihan lagi, jadi kadang orang tua yang nyamperin," ucap Gregoria.
"Sama-sama cerewet. Bapak dan Ibu bilangnya harus selalu semangat, sudah pilih bulu tangkis sebagai pekerjaan. Jangan setengan-setengah, harus serius, karena sudah banyak yang dikorbankan," tirunya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Gregoria juga menyampaikan cita-cita lainnya di luar dunia tepak bulu yang digeluti sejak kecil. Juara dunia junior 2017 ini mengaku ingin menjejak bangku kuliah setelah terakhir mengenyam bangku SMA.
"Ingin lanjut (ke) kuliah, kalau mirip sama passion aku 'kan olahraga, tapi kaya nggak mau gitu. Lebih suka mungkin komunikasi, banyak teman. Hobi saya banyak, baca buku lumayan sering juga," ujar Gregoria.
***
Terlepas dari rutinitas para atlet untuk berlatih, berlatih, berlatih, dan terus berlatih, ada ragam hasrat di luar olahraga yang mendapat tempat di hati mereka.
Khususnya dunia bulu tangkis, profesi sebagai atlet memang mengharuskan mereka berlatih sebagai pekerjaannya. Jadi jika ada waktu kosong setelah kalah tanding, anggaplah duduk manis di tribune atlet mereka sebagai chit-chat jam makan siang ala pekerja kantoran.
ADVERTISEMENT
Soal jalan-jalan, tak perlu berandai-andai, selama kewajiban sudah dijalani, baik itu karyawan, atlet, pelajar, guru, pegawai negeri, hingga wartawan pun berhak mengisi waktu luangnya dengan pilihan hiburannya sendiri. Iya toh, karena kita semua 'kan manusia, bukan kuda, sapi perah, apalagi unicorn.