Tapal Batas Momota

18 September 2019 18:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Juara Dunia 2019, Kento Momota. Foto: REUTERS/Vincent Kessler
zoom-in-whitePerbesar
Juara Dunia 2019, Kento Momota. Foto: REUTERS/Vincent Kessler
ADVERTISEMENT
Di atas lapangan, hampir di setiap laga, Kento Momota mengaburkan batas antara keindahan dan kebrutalan.
ADVERTISEMENT
Kepiawaiannya meredam serangan, kelincahannya mengejar shuttlecock di sudut sulit, dan pukulannya yang berenergi merupakan sederet alasan yang membikin para pencinta bulu tangkis menyambut pertandingan Momota dengan sukacita.
Momota tidak memantik kemeriahan dengan cara yang norak. Ia jarang melepaskan manuver-manuver akrobatis. Tepuk tangan yang muncul adalah hormat untuk kegigihannya yang enggan tunduk di hadapan kebangkitan dan keunggulan lawan.
Bulu tangkis ala Momota tidak dibangun dengan naluri semata, tetapi perhitungan matang dalam waktu sepersekian detik. Di final Jepang Terbuka 2019 ia menghajar Jonatan Christie dengan kekalahan dua gim langsung.
Momota tidak bermain seperti kesetanan. Permainannya ibarat mala yang mengintai dalam diam, yang merubuhkan siapa saja yang lengah dan gegabah.
ADVERTISEMENT
Momota di Indonesia Open 2018. Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA
Momota meladeni Jonatan dengan rangkaian pukulan tanggung. Manuver itu bukan tanpa alasan, ia memancing Jonatan melakukan kesalahan sendiri.
Masalahnya begini. Berharap Jonatan melakukan eror dalam ritme pukulan tanggung mirip upaya menjaring angin. Lain cerita kalau dalam reli kencang. Meski demikian, Momota tetap dalam pukulan tanggungnya. Bermain seolah itu bukan laga final.
Itu bagi kita, orang awam. Kesalahan yang ditunggu Momota adalah pengembalian Jonatan yang mengarah ke area forehand-nya.
Dan benar saja. Kesalahan itu muncul, berulang kali. Itu berarti, pintu untuk melepaskan smash mematikan dibukakan lebar-lebar bagi Momota.
Dengan cara seperti itulah Momota mendulang angka hampir di sepanjang laga. Dengan cara itu pulalah ia memastikan mahkota juara Jepang Terbuka tidak dicopot dari kepalanya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Momota berlanjut pada puncak yang lain. Kali ini lebih tinggi: Kejuaraan Dunia 2019.
Pebulu tangkis Jepang, Kento Momota. Foto: REUTERS/Vincent Kessler
Lagi-lagi Jonatan mengeram kekalahan dua gim. Perengkuh medali emas Asian Games 2018 ini bertekuk lutut di hadapan Sai Praneeth.
Jonatan kalah 24-22 dan 21-14 di perempat final, maka sampailah Praneeth kepada partai semifinal Kejuaraan Dunia pertamanya. Jadi mengapa tidak sekalian tampil gempita?
Sial bagi Praneeth karena sensasinya berakhir di empat besar. Momota menghajar Praneeth dengan leluasa. Wakil India itu mengecap seperti apa rasanya kekalahan telak 13-21 dan 8-21.
Di atas lapangan itu Momota bertanding seperti perompak yang merampas hampir seluruh kesempatan Praneeth merengkuh poin. Praneeth bertanding seperti orang linglung, kehabisan akal mencari cara untuk segera keluar dari tekanan lawan.
ADVERTISEMENT
Upaya serangan balik Praneeth ditelan bulat-bulat oleh Momota. Di tangannya, gempuran smash Praneeth berubah menjadi injeksi untuk melepaskan serangan yang tidak kalah hebat.
Momota sampai ke final. Anders Antonsen yang gemar betul memberikan perlawanan habis-habisan dibuatnya babak-belur: Kalah 9-21 dan 3-21.
Momota naik podium, Jepang bersorak-sorai. Mahkota juara tinggal tetap di atas kepalanya.
***
Jagat bulu tangkis mungkin belum teryakinkan ketika Momota turun arena pada Piala Thomas 2018.
Jepang sampai ke final. Yang menjadi lawan di partai puncak adalah China. Di sana ada Chen Long yang turun sebagai pemain pertama. Entah apa yang ada di pikiran publik Jepang begitu menyadari bahwa Momota-lah yang pertama kali turun arena di babak ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Chen Long bukannya tidak terkalahkan. Momota, toh, sudah mengalahkannya di final Kejuaraan Asia 2018.
Namun, Piala Thomas adalah kejuaraan beregu yang kelewat bergengsi, tempat berkumpul para legenda hidup, tempat bintang-bintang baru menunjukkan taji.
Tetap saja Chen Long yang ada di hadapannya itu adalah juara Olimpiade. Momota adalah anak muda yang masih menyandang status cecunguk.
Kento Momota (kanan) dan Kenichi Tago (kiri) meminta maaf usai skandal judi jelang Olimpiade 2016. Foto: JIJI PRESS / AFP
Pada April 2016, Federasi Bulu Tangkis Jepang mengganjar Momota dengan larangan bertanding karena kedapatan berjudi di kasino. Kondisi itu menjadi ironis karena Momota masuk dalam skuat Jepang untuk Olimpiade 2016.
Bagi para pebulu tangkis muda hukuman macam itu adalah akhir dunia. Namun, Momota tetap Momota. Kalau menanggung malu menjadi ganjaran, itulah yang dipikulnya dengan teguh.
ADVERTISEMENT
Di hadapan publik Momota membungkuk dan meminta maaf. Ia meninggalkan ruang media tanpa banyak bicara, mempersilakan orang-orang untuk melupakan segala cerita tentang anak muda yang berambisi menggigit medali emas Olimpiade.
Begitu lampu-lampu dimatikan, ia kembali berlatih. Di gelanggang latihan ia mengayun raket dan melepas smash, sambil mengusir penyesalan yang berdiam dalam benak.
Pebulu tangkis tunggal putra Jepang, Kento Momota, menjalani Piala Sudirman 2019. Foto: Wang Zhao/AFP
Ketika hukuman itu datang, Momota belum jadi juara dunia. Ia hanya dikenal sebagai semifinalis Kejuaraan Dunia 2015. Atlet muda ambisius, ngotot ketika menyerang, dan kokoh saat bertahan.
Melupakan Momota ketika itu menjadi perkara mudah. Ranah bulu tangkis melahirkan banyak sensasi yang menyenangkan buat diperbincangkan: Mulai dari Viktor Axelsen yang mengangkat martabat bulu tangkis Eropa, keperkasaan Chen Long, bintang baru bernama Shi Yuqi, dan Lee Chong Wei yang tidak habis dimakan zaman.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya waktu itu tiba. Momota sudah kembali berlaga sejak 2017. Namun, kasak-kusuk itu tetap muncul ketika Momota bertanding bersama Jepang di Piala Thomas 2018.
Pada akhirnya mereka terdiam. Momota hanya membutuhkan waktu tak lebih dari sepekan untuk mengandaskan dua juara.
Axelsen, si juara dunia 2017, dikalahkannya 21-17 dan 21-9 di semifinal Piala Thomas 2018. Di partai pemungkas dua hari berselang, giliran Chen Long yang babak belur. Chen Long menyerah 9-21 dan 18-21 di hadapan Momota.
Kemenangan itu mungkin tidak berarti banyak bagi Tim Jepang karena mereka pada akhirnya kalah 1-3. Namun, tidak demikian bagi Momota.
Kento Momota usai mengamankan gelar juara dunia 2019. Foto: FABRICE COFFRINI / AFP
Orang-orang Jepang mengenal seppuku. Itu adalah ritual bunuh diri yang dianggap paling agung untuk mengakhiri penderitaan.
ADVERTISEMENT
Kemenangan atas Chen Long ibarat seppuku bagi Momota. Yang mati dihunus pedang adalah pesakitan dan pecundang yang bersemayam dalam diri Momota.
Kemenangan atas juara Olimpiade menjadi kematian paling brutal bagi penjudi bernama Momota. Teriakan kemenangan di pengujung laga itu ibarat akhir dari pergulatan batinnya, penyaliban yang jadi klimaks bagi pertobatannya.
Setelahnya Momota tertawa lepas meski sejumlah kekalahan datang menggampar. Podium demi podium menjadi prasasti yang menandai kedatangannya di setiap turnamen.
Tidak ada yang tahu bakal seperti apa nasibnya di Changzhou. Yang pasti, kini matanya menatap lekat-lekat rumahnya sendiri, Tokyo. Di situlah dewa-dewi Yunani membangun panggung yang mulia, pentas masyhur bernama Olimpiade.
***
Kento Momota akan bertanding melawan Tommy Sugiarto di babak kedua China Terbuka 2019 pada Kamis (19/9/2019).
ADVERTISEMENT