Tentang Big Sam, tentang Kesederhanaan

11 April 2017 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tentang Big Sam, tentang kesederhanaan. (Foto: Matthew Childs/Reuters)
Usai dipermalukan Islandia pada Euro 2016 lalu, sebuah fakta yang coba sekian lama ditutupi oleh Inggris akhirnya muncul juga ke permukaan: Mereka memang tidak sebagus yang mereka pikir. Itulah mengapa, FA kemudian memilih untuk menunjuk Sam Allardyce sebagai suksesor Roy Hodgson.
ADVERTISEMENT
Dasar penunjukan Big Sam -- sapaan Allardyce -- ketika itu jelas. Keberhasilannya menyelamatkan Sunderland dari degradasi dianggap sebagai sebuah keajaiban tersendiri. Inggris yang memang membutuhkan keajaiban pun akhirnya mau meminta tolong kepada mantan bos Bolton Wanderers ini. Mereka sadar bahwa mereka bukan timnas kelas dunia dan rekam jejak Allardyce yang apik bersama tim semenjana dianggap sebagai perpaduan yang pas.
Terlepas dari fakta bahwa perkawinan itu hanya berlangsung seumur jagung, satu hal yang tidak berubah adalah reputasi Allardyce. Itulah mengapa, meski perceraiannya dengan Tiga Singa dinodai skandal, dia tak lantas kekurangan peminat.
Akhir Desember 2016 lalu, sekitar tiga bulan usai diberhentikan sebagai manajer timnas, Allardyce dikontrak oleh Crystal Palace. Ketika itu, tim asal London tersebut memang sedang butuh keajaiban. Dengan koleksi 15 poin dari 17 laga, posisi mereka di Premier League terancam. Alhasil, Alan Pardew pun dipecat meski pada musim lalu berhasil membawa mereka lolos ke final Piala FA.
ADVERTISEMENT
Keajaiban memang tidak langsung datang. Butuh lima pertandingan sebelum Palace meraih kemenangan perdana mereka di bawah Big Sam. Bahkan, setelah itu pun mereka kembali kalah dua kali.
Baru pada 25 Februari lalu keajaiban itu mulai tampak. Dari enam pertandingan, Palace lima kali menang, termasuk ketika melawan Chelsea dua pekan lalu dan Arsenal, Selasa (11/4) dini hari WIB. Kini, walau masih berada di papan bawah, jarak dengan penghuni zona degradasi sudah semakin jauh saja.
Sebagai seorang pelatih, Allardyce adalah apa yang disebut sebagai puritan sepak bola Inggris. Bersama Tony Pulis, dia disebut-sebut sebagai palang pintu terakhir tradisi kick and rush yang kian tergerus cara bermain kontinental. Arsene Wenger, sebagai salah satu peletak fondasi sepak bola daratan itu, tak pelak menjadi salah satu musuh besar Allardyce.
ADVERTISEMENT
Well, sebenarnya, Allardyce tidak pernah memusuhi Wenger. Justru sebaliknya, Wenger-lah yang menurut Allardyce memulai perseteruan itu.
"Pernah suatu kali dia (Wenger) menolak bersalaman denganku di Highbury karena kami bermain imbang," tulisnya dalam Big Sam, The Autobiography.
Citra kedua manajer ini memang bertolak belakang. Jika Wenger -- terlepas dari apa yang terjadi musim ini -- adalah sosok yang dianggap cerdas dan modern, maka Allardyce adalah sosok yang lugu dan kuno. Wenger identik dengan sepak bola menyerang yang sedap dipandang mata, sementara Allardyce kerap diasosiasikan dengan sepak bola defensif yang membosankan.
Big Sam sukses mengadali Sang Profesor (Foto: Stefan Wermuth/Reuters)
Ketika Chelsea ditahan imbang West Ham United pada Januari 2014, Jose Mourinho pernah mengatakan bahwa sepak bola yang dimainkan Big Sam adalah sepak bola dari abad ke-19. Pernyataan Mou ini, meski ahistoris, agak-agak bisa dimengerti ke mana arahnya. Baginya, Sam Allardyce adalah simbol stagnansi, kalau tak boleh dibilang dekadensi.
ADVERTISEMENT
Namun, kenyataannya adalah Big Sam sebenarnya merupakan seorang realis. Untuk bertahan hidup di Premier League, dia hampir tidak pernah berusaha untuk terlihat pintar.
Allardyce memang pernah memainkan formasi dasar 4-6-0 di West Ham dan berhasil. Ketika itu, awal Oktober 2013, tim West Ham-nya pernah menghantam Tottenham Hotspur asuhan Andre Villas-Boas dengan formasi itu.
Akan tetapi, segala sesuatu yang dilakukan Big Sam semata-mata hanyalah sarana untuk menyelamatkan diri. Enam gelandang itu, alih-alih untuk menguasai bola, dia gunakan untuk merebut bola sesering mungkin. Mereka memang menang 3-0, tetapi apakah permainan West Ham enak ditonton? Ya, jelas tidak, karena bagi Allardyce, ini adalah perlawanan terhadap arogansi sepak bola kontinental.
Kesederhanaan itulah yang membuat Crystal Palace-nya menang atas Arsenal tadi malam. Allardyce tidak perlu juego de posicion untuk mengalahkan Wenger. Instruksinya kepada para pemain pun sangat mudah dicerna. Pertama, bertahanlah dengan baik supaya para pemain Arsenal frustrasi. Kedua, ketika mereka lengah, hajar dengan serangan balik lewat sayap. Itulah mengapa Andros Townsend dan Wilfried Zaha begitu dominan di laga ini.
ADVERTISEMENT
Meski eksekusinya tentu tidak sesimpel itu, tetapi pada kenyataannya, tidak ada filosofi yang ndakik-ndakik dari cara Palace memenangi laga. Pedoman mereka pun hanya satu: Arsenal, khususnya para bek tengah mereka, sedang jelek-jeleknya. Hanya itu.
Nah, meski gaya bermain timnya di lapangan tidak identik dengan kecerdasan, sebenarnya Big Sam adalah salah satu manajer (lokal) paling cerdas di Premier League. Dia adalah salah satu pelopor sains olahraga di persepakbolaan Inggris dan kerap menggunakan inovasi-inovasi baru untuk metode kepelatihan, seperti menggunakan yoga.
Namun, pada dasarnya Allardyce memang mendewakan organisasi dan stabilitas pertahanan. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa dia dulunya adalah seorang bek tengah. Baginya, yang harus dinomorsatukan adalah struktur pertahanan. Setelah itu semua beres, baru segala tetek bengek yang lain boleh dan bisa dipikirkan.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat Allardyce terlihat kolot dan kaku. Anggapan itu muncul semata-mata karena sepak bola yang ditawarkannya tidak menghibur. Selain itu, kelakuan konyolnya seperti mengakali peraturan FA juga membuat citra "ortodoks"-nya semakin kental saja. Alhasil, serevolusioner apapun dirinya, Sam Allardyce tak akan pernah dianggap sebagai sosok pembaharu.
Walau begitu, Allardyce sepertinya tak pernah merasa diperlakukan tidak adil. Sekali-dua kali dia memang pernah merajuk, tetapi seringai khas yang senantiasa dia tebar itu sampai sekarang juga belum hilang, meski kritikan tak jarang menerjang.
Sepak bola Inggris, pada akhirnya memang membutuhkan sosok seperti Big Sam. Dengan segala tingkah polahnya, dia senantiasa mengingatkan orang-orang Inggris bahwa kalau memang tidak mampu memainkan sepak bola yang njelimet, selalu ada ruang bagi kesederhanaan untuk menghadirkan kejutan.
ADVERTISEMENT