news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Wimbledon: Laga 6 Jam 36 Menit dalam Fragmen Tenis Anderson dan Isner

15 Juli 2018 10:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anderson dan Isner di akhir semifinal Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Andrew Boyers)
zoom-in-whitePerbesar
Anderson dan Isner di akhir semifinal Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Andrew Boyers)
ADVERTISEMENT
Untuk sampai ke final Wimbledon 2018, petenis Afrika Selatan, Kevin Anderson, harus menempuh jalan panjang. Laga semifinal melawan John Isner dihadapinya dalam waktu 6 jam 36 menit.
ADVERTISEMENT
Center Court All England Tennis Lawn and Croquet Club menuai sejarah. Pertandingan memperebutkan tiket ke babak final nomor tunggal putra yang berlangsung pada Jumat (13/7/2018) itu menjadi pertandingan yang memakan waktu terpanjang di lapangan tersebut. Laga lima set itu tuntas dengan skor 7-6(6), 6-7(5), 6-7(9), 6-4, 26-24 bagi kemenangan Anderson.
Ini tidak menjadi laga terpanjang yang pernah dilalui oleh Isner, petenis asal Amerika Serikat itu. Delapan tahun sebelumnya, tepatnya di Wimbledon 2010, Isner sudah melakoni laga gila melawan Nicolas Mahut yang berkebangsaan Prancis, selama 11 jam 5 menit, yang berlangsung selama tiga hari.
Hanya, pertandingan babak pertama nomor tunggal putra itu tidak berlangsung di Center Court, tapi di Court 18. Maklum, Mahut waktu itu menjejak ke Wimbledon sebagai petenis non-unggulan. Bagaimanapun, Center Court hanya digunakan untuk laga puncak dan pertandingan petenis-petenis unggulan atas.
ADVERTISEMENT
Pertandingan Anderson melawan Isner itu hampir mencapai puncaknya menjelang pukul 20:00 waktu London. Langit meredup, tanda bahaya yang mengkhawatirkan bagi pertandingan di lapangan terbuka. Di set kelima gim 49 saat kedudukan 0-15 (Anderson-Isner), Anderson tergelincir ke belakang lapangan. Ia terjatuh, penonton jadi gaduh memberi semangat.
Namun, ketika bola yang dilesakkan Isner mencapai tengah lapangan, Anderson tak ada bedanya dengan Rocky Balboa yang bangkit di atas ring tinju, mengambil raket dengan tangan kiri dan mengembalikan serangan Anderson dengan pukulan forehand-nya untuk memenangi poin. Di atas lapangan rumput Wimbledon, ada yang lebih ajaib ketimbang cerita rekaan Hollywood.
Anderson tetap ketinggalan 0-30, tapi keberuntungan bagi Anderson datang dalam rupa unforced error pada servis Isner yang melaju dengan kecepatan 142 meter per jam. Namun, servis kedua Isner-lah yang menjadi momentum Anderson. Satu lesakan yang lahir dari pukulan forehand mengawai kegagalan Isner mengamankan three break point.
ADVERTISEMENT
Set kelima menjadi yang paling brutal. Berlangsung selama 2 jam 50 menit. Tenis nomor tunggal adalah pertandingan yang membuat para pemainnya begitu mirip dengan gladiator. Bertanding satu lawan satu disaksikan entah berapa ribu pasang mata.
Orang-orang di tribune penonton laga ini berteriak, mulai dari "Kami tidak ingin 70-68, John!" hingga "Kami mau menonton Rafa!" Apa boleh buat, kegigihan Isner meladeni perlawanan Anderson membawa ingatan Wimbledon pada laga delapan tahun silam. Ketangguhan yang memaksa para penonton untuk bersabar menanti laga Rafael Nadal melawan Novak Djokovic di semifinal selanjutnya.
John Isner di semifinal Wimbledon 2018. (Foto: Ben Curtis/Pool via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
John Isner di semifinal Wimbledon 2018. (Foto: Ben Curtis/Pool via Reuters)
Di set akhir ini, sebelum gim ke-49, Isner menyelamatkan empat break point lewat lesakan ace. Tadinya, ia berencana menyelamatkan break point kelima dengan servis dan pukulan voli. Sayangnya, skenario ini tak berhasil. Upaya pertama berubah wujud menjadi unforced error, upaya kedua membikin skor bergeser menjadi 15-40 karena pukulan backhand Isner membentur net.
ADVERTISEMENT
Lantas, pertandingan menjadi milik Anderson dalam seketika. Isner kepayahan, larinya sudah tak cepat lagi. Entah dari mana Anderson yang berusia 32 tahun ini mendapat tenaga tambahan. Perubahan yang begitu drastis itu mengingatkan kita pada fragmen kala T'Challa meminum ramuan dari tumbuhan berbentuk hati asli Wakanda yang mengubahnya menjadi pahlawan super bertajuk Black Panther.
Mirip Black Panther yang dikenal sebagai pahlawan super kulit hitam pertama, Anderson menjadi petenis pria asal Afrika Selatan pertama yang mencapai final Wimbledon era terbuka. Namun, bila dirunut sejak awal gelaran Wimbledon, Anderson bukan yang pertama.
Pada 1921, saat Wimbledon belum sampai pada era terbuka, sudah ada Brian Norton yang mencapai final. Sayangnya, di laga final ia kalah dalam pertandingan lima set (6–4, 6–2, 1–6, 0–6, 5–7) melawan petenis asal Amerika Serikat, William Tatem Tilden II, yang berjuluk 'Big Bill'.
ADVERTISEMENT
Kevin Anderson di semifinal Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Tony O'Brien)
zoom-in-whitePerbesar
Kevin Anderson di semifinal Wimbledon 2018. (Foto: REUTERS/Tony O'Brien)
"Pada awalnya, saya sempat merasa bahwa laga ini akan berakhir dengan imbang. Namun, ini pertandingan tenis. Dalam tenis, harus selalu ada yang menang. Tidak boleh seri. Saya sendiri tidak paham mengapa saya yang menjadi orang yang beruntung itu," ujar Anderson.
"John (Isner) memberikan perlawanan yang luar biasa. Ia petenis hebat. Saya mengucapkan terima kasih untuk permainan hebatnya di lapangan ini. Saya tahu ia akan kembali ke Wimbledon dengan daya yang lebih hebat," tutur Anderson dalam wawancara seusai laga, seperti dikutip dari The Guardian.
Anderson dan Isner adalah kawan lama. Mereka kerap bertemu dalam sirkuit (kompetisi tenis dalam format series) semasa kuliah. Pertemuannya dengan Isner di laga ini ibarat reuni, keduanya bertemu dalam satu lapangan tenis yang sama 14 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Tidak ada perayaan liar dari Anderson walau ia menorehkan sejarah baru untuk Afrika Selatan setelah 97 tahun. Sebagian karena kelelahan, sebagian karena simpati karena ia menunda asa kawan lamanya untuk menjejak ke puncak Wimbledon.
Tenis bukan olahraga yang megah, tapi ia adalah tentang manusia. Kata Andre Agassi, tenis adalah olahraga yang menjadi miniatur dari kehidupan manusia itu sendiri. Ucapannya masuk akal. Lihatlah istilah-istilah yang ada dalam pertandingan tenis. Advantage, service, fault, break, maupun love.
Semua orang tak perlu menjadi hebat dulu untuk menerima hal-hal tadi, karena toh, mereka ada dalam kehidupan sehari-hari manusia. Namun, hal-hal itulah yang membentuk manusia menjadi utuh, menjadi sosok yang hebat, tapi beradab.
Anderson melangkah ke final Wimbledon 2018. (Foto: Glynn Kirk/Pool via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Anderson melangkah ke final Wimbledon 2018. (Foto: Glynn Kirk/Pool via Reuters)
ADVERTISEMENT
Dalam tenis, poin dikumpulkan menjadi gim, gim dimenangi menjadi set, set dituntaskan menjadi pertandingan, pertandingan dihadapi menjadi turnamen. Setiap tingkatan dalam turnamen tersebut mengingatkan kita pada detik yang menjadi menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, lalu berjalan seterusnya hingga menjadi masa.
Lantas, pilihannya ada di tangan para pelakonnya, kita para manusia. Menjadikannya sebagai cerlang atau gelap yang teramat sangat.
Tenis adalah olahraga hitam atau putih, kalah atau menang. Tak ada abu-abu, tak ada seri. Namun, itu adalah hasil yang sejatinya tak pernah menjadi urusan manusia. Yang penting, keduanya memilih untuk turun arena, lalu menolak untuk meringkuk di hadapan kelelahan dan tunduk pada kegagalan.
Atas pilihannya itu, Anderson tak cuma mendapatkan tiket yang mengantarkannya pada perlawanan Djokovic di laga final tunggal putra. Apa boleh buat, Nadal kandas di tangan Djokovic. Anderson juga diperhadapkan dengan pilihan untuk mempemalukan lawan atau memperlakukan lawan dengan hormat.
ADVERTISEMENT
Sepintas, ganjaran untuk Isner terasa lebih berat. Langkahnya terhenti, walau ia mendapat elu-elu dan penghormatan dari seantero stadion. Lantas, serupa Anderson, Isner juga diperhadapkan dengan pilihan berikutnya, terhenti untuk selamanya atau terhenti untuk sementara.