Yannick Noah, si Gila yang Abadi di Roland Garros

21 Mei 2019 20:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yannick Noah di Prancis Terbuka 1983. Foto: Dok. AFP
zoom-in-whitePerbesar
Yannick Noah di Prancis Terbuka 1983. Foto: Dok. AFP
ADVERTISEMENT
Lewat Prancis Terbuka 1983 Yannick Noah membuktikan, kau bisa menduduki takhta juara tanpa harus menjadi tua dan membosankan.
ADVERTISEMENT
Prancis membuka pintunya lebar-lebar untuk tenis. Prancis Terbuka atau Roland Garros yang masuk dalam kalender tahunan kompetisi Grand Slam itu adalah buktinya.
Pada 2019, Roland Garros bahkan sudah berusia 123 tahun. Perubahan demi perubahan dilakukan, penanda lain bahwa mereka sanggup mengemban reputasi sebagai salah satu kompetisi terakbar di jagat tenis.
Yang menjadi persoalan adalah petenis Prancis begitu sulit menutup kompetisi di rumah sendiri, terutama di nomor tunggal, entah itu putra maupun putri, dengan gelar juara. Mary Pierce adalah petenis Prancis terakhir yang menjadi juara di nomor tunggal putri Roland Garros, tepatnya pada 2000.
Roland Garros Stadium, 2017. Foto: Reuters / Gonzalo Fuentes/File Photo
Tapi, Pierce pun tidak bisa disebut sebagai produk asli tenis Prancis. Sebab, sejak kecil ia sudah tinggal di Amerika Serikat. Pierce membela Prancis karena ayahnya berdarah Prancis.
ADVERTISEMENT
Nomor tunggal putra jauh lebih parah. Noah menjadi petenis Prancis terakhir yang menjuarai nomor tunggal putra Prancis Terbuka, tepatnya pada 1983. Sejak itu, tak ada lagi petenis Prancis yang bisa menjadi juara di nomor tunggal putra Roland Garros.
I
Noah lahir di Sedan, Prancis Utara, pada 1960. Tapi, masa kecilnya banyak dihabiskan di Kamerun. Ayahnya, yang orang Kamerun itu, memutuskan kembali ke kampung halamannya sejak 1963 akibat cedera. Ayah Noah, Zacharie Noah, adalah pesepak bola yang sepanjang kariernya hanya membela dua tim: Stade Saint-Germain (1956-1957) dan Sedan-Torcy (1957-1962).
Meski kariernya tak panjang-panjang amat, Zacharie mempersembahkan satu gelar juara untuk Sedan-Torcy: Coupe de France 1961. Ibu Noah, Marie-Claire Noah, pun pernah menjadi kapten Timnas Basket Putri Prancis. Darah olahraga mengalir deras dalam keluarga Noah. Anak laki-lakinya, Joakim Noah, tercatat sebagai pemain Memphis Grizzlies.
ADVERTISEMENT
Arthur Ashe dan trofi juara Wimbledon 1975. Foto: AFP
Tenis tidak berkawan akrab dengan Kamerun. Atletik dan sepak bola menjadi primadona di sana. Entah bagaimana cerita awalnya, yang jelas, pada akhirnya Noah berkawan karib dengan tenis.
Noah mengunduh perkenalannya dengan tenis lewat cara sederhana. Tak ada raket mutakhir, tak ada yang mewah-mewah. Noah memainkan tenis pertamanya saat berusia 11 tahun dengan raket kayu. Pokoknya, selama bisa digunakan untuk memukul bola, masalah beres.
Kesederhanaan ternyata tidak menempatkan tenis Noah pada titik buta para pesohor. Bintang Amerika Serikat, Arthur Ashe, menjadi petenis pertama yang menyadari bakat dan potensi Noah.
Ashe-lah yang mengorbitkan Noah sebagai petenis. Hubungan ini tak berat sebelah. Noah pun turut membantu Ashe memasuki babak baru karier tenisnya.
ADVERTISEMENT
Tahun-tahun setelahnya, Noah turun arena tanpa meninggalkan raket kayunya.
II
5 Juni 1983, Noah bertemu dengan Mats Wilander di laga final tunggal putra Prancis Terbuka. Lawannya ini bukan petenis sembarangan. Wilander menutup Prancis Terbuka 1982 dengan gelar juara, capaian yang menjadi trofi Grand Slam pertamanya.
Yannick Noah (kiri) dan Mats Wilander (kanan) di akhir laga final Prancis Terbuka 1983. Foto: DOMINIQUE FAGET / AFP
Pertandingan ini bukan sekadar partai puncak. Ini menjadi kesempatan emas bagi Prancis untuk memutus puasa gelar selama 37 tahun di rumah sendiri. Yang diinginkan Noah cuma satu: Lewat rangkaian pukulan backhand-nya, lewat servis demi servis, dunia melihat bahwa tenis Prancis belum tamat.
Philippe Bouin, jurnalis tenis asal Prancis untuk harian L’Équipe, duduk di tribune, menyaksikan Noah menuntaskan asa sejuta umat Prancis dengan cara yang menyenangkan. Dalam wawancaranya bersama Reeves Wiedeman untuk Grantland, Bouin masih ingat betul semeriah apa suasana kala itu.
ADVERTISEMENT
“Saya sedang mengerjakan statistik pertandingan, jadi tekun betul dengan catatan sendiri. Tapi, suasana waktu itu lagi heboh-hebohnya. Kalau kalian melihat foto tajuk utama L’Equipe, kalian akan sadar, saya satu-satunya orang di stadion itu yang tidak meloncat di tribune saat match point. Mau bagaimana lagi? Saya benar-benar sibuk dengan catatan pertandingan,” kenang Bouin.
Tak cuma lapangan tenis, panggung hiburan pun dijajal oleh Yannick Noah. Foto: BERTRAND GUAY / AFP
Noah adalah anomali. Gelar juara yang direngkuhnya tak memantik kekesalan pada lawan-lawannya yang datang mengemban misi serupa. Wilander, contohnya.
Dalam wawancaranya, Wilander yang menelan kekalahan 2-6, 5-7, 6-7 (3-7) di partai puncak itu, menyebut bahwa Noah begitu berbeda dibandingkan petenis-petenis yang biasa ditemuinya.
Tekniknya terkesan amburadul, tapi melahirkan pesona. Tenisnya tak sempurna, tapi riang dan hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam tenis yang kental dengan tradisi dan penghormatan setinggi langit akan tatanan, Noah terlihat asing. Di atas lapangan, Noah terlalu agresif, meledak-ledak, percaya diri, dan urakan.
“Saya ingin menjaga kegilaan saya,” seperti itu jawaban Noah ketika ditanya mengapa ia acap tampil beda.
Di jagat tenis Prancis--bahkan dunia--yang kaku, petenis-petenis nyeleneh memang sukar diterima. Cari saja komentar-komentar bernada ejekan yang dialamatkan kepada Venus Williams dan Serena Williams. Baca saja rangkaian catatan soal Suzanne Lenglen yang rasanya ditulis sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Noah tidak terlihat sebagai petenis biasa. Rambut yang gimbal membuat terlihat mencolok. Bahkan pada 2000-an awal, ia sempat lebih dikenal sebagai penyanyi reggae ketimbang petenis.
Noah bahkan pernah diganjar hukuman larangan bertanding karena dinyatakan positif menggunakan kokain. Dengan entengnya, Noah berkata bahwa kokain itu masuk ke dalam tubuhnya lewat ciuman.
ADVERTISEMENT
Yannick Noah merayakan gelar juara Grand Slam pertamanya di Prancis Terbuka 1983. Foto: Dok. AFP
Kegigihan Noah untuk mempertahankan kegilaannya juga terlihat jelas dari permainannya. Di tengah-tengah dunia yang begitu memuja efektivitas pukulan forehand, Noah bertaruh dengan pukulan backhand-nya.
Kebanyakan petenis Prancis kala itu punya satu prinsip: Selama kau masih punya cukup waktu untuk menggunakan pukulan forehand walaupun bola jatuh dalam posisi backhand, berputarlah dan keluarkan forehand andalanmu.
Noah berbeda. Saat petenis lain bermain aman, ia menantang risiko. Barangkali, itu pulalah yang membuat tenis Noah lebih dari sekadar kemenangan dan gelar juara, tapi juga ingatan bagi para penyaksinya.
III
Lapangan tanah liat yang dipakai untuk Prancis Terbuka memunculkan efek berbeda. Tanah liat membuat bola memantul dengan lebih lambat sehingga strategi menjadi begitu ditekankan.
ADVERTISEMENT
Rafael Nada menjuarai Prancis Terbuka 2018. Foto: Pascal Rossignol/Reuters
Strategi untuk menyegel kemenangan adalah satu hal. Keberanian untuk membuat permainan menjadi lebih hidup adalah hal lain.
Hal kedua merupakan persoalan yang berulang kali disoroti oleh Noah. Menurutnya, petenis Prancis terlalu takut untuk menjadi diri sendiri. Akibatnya, mereka memang bisa meraih kemenangan, tapi tak sedikit dari mereka yang kehilangan diri sendiri.
“Sewaktu bertanding, saya sering melawan pola pikir yang tidak sesuai dengan kepribadian saya. Ranah olahraga Prancis waktu itu kekurangan imajinasi. Ada banyak orang yang menginginkan saya menjadi seperti Ivan Lendl yang kaku dan menyedihkan,” jelas Noah.
Pendapat Noah ini belakangan diamini juga oleh Bouin. Tenis Prancis tenggelam bukan karena kekurangan atlet hebat, tapi karena kekurangan petenis berambisi.
ADVERTISEMENT
Bagi Bouin, kecenderungan seperti itu tidak datang dengan sendirinya. Itu adalah buah dari kultur orang-orang Prancis yang, katanya, acap memandang ambisi sebagai hal buruk. Stigma negatif sering berkawan dengan orang-orang yang memanggul ambisi.
Yannick Noah dan trofi Prancis Terbuka 1983. Foto: DOMINIQUE FAGET / AFP
Berangkat dari situ muncul satu antidot: Petenis yang punya nama besar di Prancis Terbuka adalah mereka yang memiliki ciri khas.
Rafael Nadal, misalnya. Petenis Spanyol ini sudah menjuarai nomor tunggal putra di keempat seri Grand Slam. Tapi, ia dikenal sebagai 'Raja Lapangan Tanah Liat' karena sudah 11 kali menjadi juara Roland Garros.
Nadal punya permainan yang lebih beringas dibandingkan ketiga personel Big Four: Novak Djokovic, Andy Murray, dan Roger Federer. Permainannya juga dipandang berbahaya bagi dirinya sendiri karena meningkatkan potensi cedera.
ADVERTISEMENT
Tapi, tanpa permainan seperti itu, pertandingan Nadal di Prancis Terbuka akan berjalan membosankan. Tak ada manuver-manuver yang membuat penonton menarik napas dan kecepatan yang membuat laga berlangsung seru. Pun demikian jika orang membicarakan Bjorn Borg.
***
Hanya membutuhkan waktu kurang dari semenit untuk menghafal gelar juara Grand Slam yang diraih Noah. Sepanjang karier, ia cuma dua kali menjadi mengangkat trofi prestisius itu: Nomor tunggal putra Prancis Terbuka 1983 dan ganda campuran Prancis Terbuka 1984.
Tapi, Noah membangun bahteranya sendiri. Saat kekuatan negeri lain menghajar tanpa henti--tak ubahnya air bah yang menenggelamkan petenis-petenis Prancis--Noah tetap hidup. Tenis ala Noah yang riang itu tinggal tetap dalam ingatan orang-orang Prancis.