Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Zverev: Harapan Tenis Jerman dan Kejenakaan Ruang Ganti Grand Slam
6 Juni 2018 21:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Langkah Alexander Zverev (21 tahun) di Prancis Terbuka 2018 memang terhenti di perempat final, tapi kejenakaannya di ruang media Roland Garros belum selesai dibicarakan.
ADVERTISEMENT
Zverev yang ternyata bernama panggil Sascha ini memasuki turnamen dengan status mentereng. Ia menyandang predikat sebagai petenis peringkat tiga dunia. Ia menjadi petenis termuda di antara nama-nama masuk dalam 10 besar ATP. Karena Roger Federer tidak ikut bertanding di Roland Garros, ia memasuki turnamen sebagai unggulan kedua.
Wimbledon 2015 menjadi kompetisi perebutan Grand Slam pertama milik Zverev. Keberhasilannya mencapai babak 16 besar pada turnamen Aegon Open Nottingham di tahun yang sama membuat peringkatnya melejit menjadi 74 dunia. Karena peringkat ini pula, ia berhasil masuk kualifikasi petenis peringkat 100 besar di Wimbledon.
Langkah Zverev di WImbledon 2015 tidak panjang. Setelah berhasil mengalahkan petenis asal Rusia, Teymuraz Gabashvili, dalam pertandingan lima set, ia gagal melangkah ke babak ketiga karena berhasil dikalahkan oleh Denis Kudla.
ADVERTISEMENT
Nama besarnya mulai dibangun pada 2017. Terlebih setelah ia berhasil mengalahkan Andy Murray di babak ketiga Australia Terbuka. Unggul 7-5 di set pertama, Murray berhasil menyamakan kedudukan lewat kemenangan 7-5 di set kedua. Pertandingan pun berlanjut hingga set keempat.
Yang mengerikan, Zverev harus berhadapan dengan Roger Federer di babak perempat final. Terkecuali keluarga dan tim Zverev, orang-orang akan menjagokan Federer sebagai juara. Dan memang itulah yang terjadi.
Walaupun tak berhasil menang melawan Federer, Zverev menjadi favorit baru di ranah tenis. Ia pun memasuki Amerika Serikat Terbuka sebagai petenis peringkat enam dunia.
Zverev sudah akrab dengan tenis sejak bayi. Bahkan, hari kelahirannya dekat dengan permainan tenis. Walaupun tercatat sebagai petenis asal Jerman, sebenarnya Zverev orang Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Kedua orang tuanya adalah petenis profesional, Alexander Zverev Sr. dan Irina Zverev. Ibunya dikenal sebagai petenis peringkat empat di negaranya, sementara sang ayah masuk dalam peringkat 200 besar dunia.
Pada 1991, keduanya mengajak Mischa Zverev, kakak Zverev, pindah ke Jerman. Lantas, mantan petenis Uni Soviet ini mengambil profesi sebagai pelatih untuk klub tenis UHC Tennis Hamburg.
Zverev lahir pada 20 April 1997. Kata ibunya, itu hari Minggu. Sehari sebelumnya, semacam tak ada tanda-tanda Zverev akan segera lahir. Itulah sebabnya, Irina dan Mischa memutuskan untuk main tenis biasa.
Karena merupakan keluarga petenis, acara bermain tenis bersama itu sudah menjadi kegiatan rutin. Bila keluarga lain berakhir pekan dengan piknik entah ke mana, mereka menghabiskan akhir pekan dengan mengayun raket di lapangan tenis dekat rumah.
ADVERTISEMENT
Tak disangka-sangka, keesokan harinya Irina harus dilarikan ke rumah sakit. Tanda-tanda kelahiran Zverev sudah begitu terasa. Entah permainan tenis itu yang memmpercepat kelahiran Zverev atau memang sudah seperti itu waktunya, yang jelas, Zverev benar-benar lahir setelah ibu dan kakaknya asyik bermain tenis.
Mischa dan Zverev terpaut tiga tahun. Menuruta cerita ayahnya, Zverev kerap menangis bila menyaksikan sang kakak pergi untuk mengikuti turnamen. Usia yang masih terlampau kecil membuat sang ayah tak mengizinkan Zverev untuk ikut menonton kakaknya.
Ya sudah, Zverev harus mengalah dan tinggal di rumah. Tapi ternyata, ia tak benar-benar di rumah. Saat ayah dan kakaknya sibuk bertanding, Zverev mendapatkan sesi latihan dari ibunya.
Walaupun memasuki Prancis Terbuka tahun ini sebagai unggulan kedua, jalannya kompetisi tidak pernah benar-benar mudah untuk Zverev. Setelah mengalahkan Ričardas Berankis di babak pertama dalam tiga set langsung 6-1, 6-2, 6-2, Zverev melakoni pertandingan lima set tiga hari berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Di babak kedua, ia bertemu dengan Dusan Lajovic. Tertinggal 2-6 di set pertama, Zverev menyamakan kedudukan lewat kemenangan 7-5 di set kedua. Kembali kalah di set ketiga, Zverev berhasil memenangi set keempat dan kelima 6-1, 6-2.
Keesokan harinya, Zverev harus melakoni laga serupa. Pertandingan melawan Damir Dzumhur kembali harus berjalan dalam lima set. Begitu pula dengan laga babak keempat melawan Karen Khachanov.
Menyaksikan bagaimana Zverev bertanding mengupayakan kemenangan seperti ini bukan perkara baru. Di Kejuaraan Montreal 2017 saat berhadapan dengan Richard Gasquet, ia melakoni 49 reli demi menyelamatkan match point.
"Oh, itu semua didapatnya dari istri saya. Semangat Sascha --nama panggilan Zverev-- adalah turunan ibunya," seperti jawab Zverev Sr. saat ditanya tentang laga 49 reli itu.
ADVERTISEMENT
Di masa kejayaannya, Irina memang terkenal sebagai petarung. Seperti kebanyakan petenis yang gemar menyisir area net point, Irina pun demikian. Hanya, dibandingkan dengan para lawannya, Irina juga cenderung kuat dalam permainan baseline. Konon, permainan baseline andalan Zverev itu juga didapatnya dari Irina.
Sebagai petenis, Zverev terkenal dengan permainan baseline yang tangguh. Servis-servis cenderung mematikan. DIbandingkan pukulan forehand, Zverev lebih dikenal sebagai pemain yang menggunakan double backhand. Bagi sebagian orang, gaya pukulannya ini mengingatkan akan legenda tenis Bjorn Borg.
Lucunya, walau terkenal sebagai petenis tangguh semasa masih aktif bermain, Irina mengaku bahwa ia sering terlampau takut untuk menyaksikan Zverev berlaga, termasuk saat sang anak bertanding di kompetisi Grand Slam melawan petenis-petenis kawakan macam Murray atau Federer.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya saya tidak pernah sanggup menyaksikan Sascha bertanding. Waktu ia bertanding di Australia Terbuka (2017), saya memang ikut ke Australia, tapi saya tidak ikut ke stadion. Saya memilih untuk tinggal di hotel dan berjalan-jalan dengan Lovik (nama anjing poodle peliharaan keluarga Zverev)."
Membicarakan Zverev di Prancis Terbuka 2018, maka pembicaraan akan mengarah kepada kedua hal. Pertama, keberhasilannya mencapai babak perempat final Grand Slam untuk pertama kalinya. Kedua, kejenakaannya di ruang ganti saat berhadapan dengan aksen Yorkshire.
Dalam konferensi pers pasca-laga melawan Lajovic, Zverev harus meladeni sejumlah pertanyaan wartawan. Lantas, seorang jurnalis yang berbicara dengan aksen Yorkshire mendapat giliran untuk memberondong Zverev dengan pertanyaan khas konferensi pers setelah laga.
Alih-alih menjawab dengan lugas, Zverev justru mengaku kesulitan untuk menerjemahkannya dan menyatakan kekagumannya pada aksen tersebut. Dalam wawancara tersebut, Zverev bertanya pada sang wartawan dari mana ia berasal. Sambil tertawa, si wartawan menjawab bahwa ia memang berasal dari wilayah Yorkshire.
ADVERTISEMENT
"Jika mereka mengadakan suatu turnamen di sana (Yorkshire -red), saya pasti akan ikut-serta hanya karena saya menyukai aksen ini. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang Anda katakan, tak satu kata pun, tapi ketidakmengertian saya itu bukan hal penting," tutur Zverev yang disambut dengan tawa para pewarta.
Seketika suasana ruang media mendadak cair. Untuk beberapa saat, tak ada omongan dan pertanyaan yang kelewat serius, yang gemar membicarakan kembali kesalahan di atas lapangan. Masih dalam konferensi pers yang sama, jurnalis tadi bahkan berkata bahwa sejak saat itu, ia akan selalu menghadiri sesi wawancara usai laga Zverev.
"Mulai sekarang, saya akan selalu menghadiri sesi wawancara Anda. Jika Anda memang benar-benar berhasil mencapai final, kita berdua harus memastikan, saya bakal dapat menanyakan satu pertanyaan. Saat ini rasanya saya seperti tidak berkutik," kata si wartawan yang ternyata bernama Jonathan Pinfield dan bekerja untuk LiveSportsFM itu.
ADVERTISEMENT
Pinfield tak sedang beromong kosong. Dalam konferensi pers usai laga melawan Dzumhur dan Khachanov, ia kembali hadir dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja dijawab Zverev dengan cara yang serupa. "Oh, semakin saya mendengar Anda, saya semakin menyukai aksen ini."
Pertandingan melawan Dominic Thiem, yang merupakan sahabatnya sendiri, di babak perempat final tidak berjalan dan berakhir dengan menyenangkan untuk Zverev. Laga lima set dalam tiga hari berturut-turut mau tidak mau memengaruhi kondisi fisiknya. Akibatnya, partai krusial melawan Thiem itu dilakoninya sambil menahan sakit akibat cedera pada otot paha.
Berbeda dengan laga-laga sebelumnya, kali ini Zverev menyerah dalam tiga set. Gim yang dimenanginya pun tak banyak. Perlawanan yang cukup seimbang masih terlihat di set pertama yang ditutup dengan kemenangan 6-4 untuk Thiem.
ADVERTISEMENT
Begitu memasuki set kedua, agaknya cedera Zverev makin menjadi. Di set kedua ia hanya sanggup memenangi dua gim. Set ketiga lebih parah lagi. Ia hanya berhasil mengamankan satu gim.
"Selama pertandingan, saya sebenarnya sudah berpikir untuk keluar. Saya benar-benar memikirkannya, tapi saya juga tidak mau meninggalkan lapangan tanpa menyelesaikan pertandingan di perempat final Grand Slam pertama saya."
"Selama bertanding, saya tahu saya tidak akan memenanginya. Tidak mungkin saya dapat menang. Berjalan saja rasanya sulit sekali. Saya tidak bisa melakoni servis. Saya benar-benar tidak bisa melakukan apa pun."
"Namun, saya tetap ingin menyelesaikan pertandingan. Dan saya tetap ingin memberikan hormat untuk Dominic. Ia layak melangkah ke semifinal dengan laga yang diakhiri dengan kekalahan saya, bukan keputusan saya untuk meninggalkan laga," ungkap Zverev dalam konferensi pers seusai pertandingan.
ADVERTISEMENT
Kompetisi perebutan Grand Slam masih belum berakhir. Juli 2018, para petenis akan berkompetisi di Inggris dalam gelaran Wimbledon yang termasyhur itu. Dibandingkan dengan turnamen Grand Slam lainnya, Wimbledon memang kerap lebih sakral.
Lihatlah sejumlah nama besar yang menolak untuk bertanding di Prancis demi mendapatkan kondisi paling prima di Wimbledon. Atau, tontonlah film-film biografi para legenda tenis. Kebanyakan, mereka menjadikan Wimbledon sebagai tiang pancang kejayaan mereka.
****
Siapa pun yang menonton seperti apa Zverev melakoni tiga pertandingan sebelumnya akan memahami, kekalahan ini bukan perkara yang mudah diterima. Zverev pantas merasa kecewa dengan diri sendiri, persis yang dia ungkapkan seusai laga.
Namun, semengecewakan apa pun hasil pertandingan itu, selalu ada orang yang berhasil membuat Zverev semringah. Bila ditanya siapa orang itu, tentu saja jawabannya sang reporter Yorkshire.
ADVERTISEMENT