Bincang Karier: Cara Marissa Anita Menjalani Dua Profesi

30 Januari 2019 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Marissa Anita. (Foto:  Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Marissa Anita. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Cantik, pintar, selalu ceria, dan penuh passion adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Marissa Anita. Lewat pribadinya yang hangat, ia mampu mengemas sebuah wawancara dengan tokoh besar menjadi topik yang ringan dan menyenangkan untuk ditonton.
ADVERTISEMENT
Kemampuan itu tentunya ia peroleh lewat kerja keras dan pengalamannya menjadi jurnalis selama kurang lebih 10 tahun.
Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga Tionghoa, keluarga tidak berekspektasi tinggi pada Marissa. Ia dibebaskan untuk melakukan apapun yang ia suka tanpa ada halangan dari keluarga.
Karena itu, ia pun semakin yakin dan kemudian memutuskan sekolah S2 jurusan jurnalistik di University of Sydney dan melanjutkan ke jurusan digital media di Loughborough University di Inggris.
Marissa yang mengawali kariernya sebagai wartawan berita di Metro TV tidak pernah bermimpi menjadi jurnalis. Kala itu cita-citanya sederhana sekali, ingin jalan-jalan ke luar negeri gratis dan mempelajari kehidupan manusia.
Lewat jurnalistik, rasa ingin tahunya bisa tersalurkan dan ia bisa mempelajari banyak hal tentang kehidupan lewat kisah-kisah narasumber dan peristiwa yang ia liput. Mulai dari meliput peristiwa di lapangan, hingga menjadi news anchor, semua ia jalani dengan penuh passion dan dedikasi.
ADVERTISEMENT
Kini sosoknya semakin dikenal publik karena tak hanya menjadi jurnalis, ia juga menjalani profesi sebagai seorang aktris. Perempuan 35 tahun ini berperan dalam sejumlah film, seperti Istirahatlah Kata-Kata (Wiji Thukul), Galih dan Ratna, dan yang terbaru adalah Folklore: A Mother’s Love yang tayang di stasiun TV internasional, HBO.
Jika jurnalistik mengajarkannya untuk mengasah empati, lewat peran Marissa belajar untuk mendalami emosi. Alasan itu yang membuat Marissa tidak dapat memilih salah satu dari kedua profesinya.
Kepada kumparanSTYLE, Marissa Anita berbagi tentang alasannya menekuni dunia jurnalistik dan bagaimana ia memandang hidup setelah mempelajari tentang digital media. Penasaran seperti apa? Mari simak penuturannya berikut ini.
Memiliki pendidikan awal di bidang seni liberal, apa yang mendasari keinginan Anda untuk mengambil pendidikan master di bidang jurnalistik?
ADVERTISEMENT
Sebagai anak tengah dan satu-satunya perempuan, dalam tradisi keluarga Tionghoa, anak perempuan itu tidak terlalu penting. Sehingga tidak ada banyak ekspektasi untuk saya sebagai anak perempuan.
Mungkin karena hal itu juga saya jadi bisa menjalankan apapun yang saya suka. Menjadi jurnalis tidak pernah menjadi mimpi saya. Tapi sejak dulu saya memang dibilang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Saya suka bertanya dengan orang, belajar tentang kehidupan dari cerita orang lain, dan saya bisa mengetahui itu lewat wawancara, bertanya kepada orang-orang yang berpengalaman.
Dituntut untuk selalu tampil di depan layar kaca, ditonton banyak orang, dan mewawancarai tokoh-tokoh besar. Pernahkah Anda merasa tidak percaya diri? Bagaimana cara mengatasinya?
Kebetulan saya tidak pernah merasa tidak percaya diri ketika sedang berada di depan kamera. Karena prinsip saya adalah setiap kali saya di TV fokusnya bukan saya, tetapi orang yang saya wawancara. Saat saya sudah fokus bertanya, saya akan lupa jika disana ada kamera. Saya selalu menanamkan pikiran bahwa fokus utamanya bukan saya, jadi saya tidak pernah merasa harus terintimidasi dengan adanya kamera. Intinya adalah semua akan baik-baik saja jika kita bisa fokus dengan apa yang sedang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Apa kunci sukses Anda dalam berkarier?
Berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain. Saya juga menerapkan konsep self-love. Kuncinya adalah kita harus bisa menghargai diri sendiri dan memahami siapa kita sesungguhnya. Ketika sudah nyaman dan mengenali diri sendiri dengan baik, kita tidak akan pusing memikirkan yang lain. Pikiran menjadi lebih jernih dan bisa lebih kreatif.
Kita jadi lebih tahu apa yang akan dikejar dan akan melakukannya dengan maksimal. Itu yang mendasari alasan saya untuk hanya menekuni dua bidang saja, seni peran dan jurnalistik. Karena saya tahu dalam dua bidang itu, saya bisa melakukan yang terbaik.
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi selama berkarier, baik sebagai jurnalis dan pemain film?
Dua dunia itu sebenarnya saling berhubungan dalam hidup saya. Kedua profesi tersebut memiliki benang merah yang sama, yaitu storytelling. Kalau ditanya apakah ada tantangan yang membuat saya tidak termotivasi melakukan keduanya, hampir tidak ada. Karena jika menemukan tantangan, saya malah semakin penasaran dan ingin mendalami. Because the point of living for me is to feel alive. Dan ketika saya mendalami perasaan manusia, baik itu ketika menjadi jurnalis atau saat bermain film, itu yang membuat saya merasa hidup.
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mengalami kegagalan? Jika pernah, bagaimana cara mengatasinya?
Tentu saja pernah. Terutama dalam hal mencintai diri sendiri. Misalnya ketika saya memiliki proyek dan saya merasa itu tidak berjalan dengan maksimal dan tidak sesuai dengan ekspektasi, saya bisa ‘mencambuk’ diri sendiri. Dalam artian saya bisa menyalahkan dan memaki diri sendiri karena tidak mampu melakukan yang terbaik. Saya sering sekali melewati masa-masa itu. Tetapi saya menyadari bahwa menyalahkan diri sendiri bukanlah hal yang baik. Saya jadi semakin merasa sulit untuk bangkit lagi.
Biasanya jika sudah begitu, saya akan berfokus pada pikiran-pikiran positif di kepala saya, menghilangkan pikiran negatif, dan memaafkan diri sendiri. Saya memang tidak bisa menyelesaikan proyek dengan baik, tapi saya bisa mencobanya lagi dan selanjutnya harus lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu penulis konten di Greatmind, Anda menulis dan membuat video tentang passion. Bisa dibilang saat ini Anda sudah menemukan passion di dunia jurnalistik dan seni peran. Bagaimana cara Anda mempertahankannya?
Untuk mempertahankannya, kita harus tahu apakah kita bisa melakukan pekerjaan tersebut hingga 10 tahun ke depan. Jika ya, maka itu memang benar-benar passion. Menurut saya, saat ini ada banyak sekali referensi yang kadang justru membingungkan.
Saran saya untuk bisa menemukan passion, apabila Anda sudah tahu apa yang diinginkan, jangan terlalu banyak lihat kanan dan kiri. Harus fokus pada satu hal yang benar-benar disukai. Kemudian dipikirkan baik-baik dan tanyakan pada diri sendiri apakah memang itu yang diinginkan.
Apakah Anda termasuk orang yang suka memberi tantangan kepada diri sendiri untuk bisa terus sukses dalam berkarier?
ADVERTISEMENT
Saya menantang diri seringnya dengan melakukan sesuatu yang baru. Seperti sekarang saya bergabung dengan Greatmind, sebuah start-up media kecil yang masih baru dan memiliki misi yang sesuai dengan saya. Prinsip saya adalah apapun yang saya pilih, harus sesuai dengan apa yang saya percaya. Karena kalau hanya ikut-ikutan saja itu tidak akan membuat saya bahagia. Tujuan saya adalah berusaha untuk mendorong masyarakat untuk pelan-pelan dalam melakukan segala sesuatu di tengah dunia yang sedang berjalan sangat cepat ini.
Marissa Anita. (Foto:  Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Marissa Anita. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Selama berkarier baik di bidang jurnalistik dan seni peran, apakah Anda memiliki seorang mentor atau inspirasi?
Salah satu influence saya saat kuliah adalah Oprah Winfrey. Saya suka sekali dengan Oprah karena ia bisa membicarakan semua topik dengan siapa saja. Mulai dari wawancara narapidana, selebriti, hingga masyarakat umum dengan kasus dan kisah hidupnya. Selain itu, ada beberapa sosok filsuf, salah satunya adalah Alain de Botton yang membuat The School of Life, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan. Karena buat saya filosofi itu penting untuk membantu saya lebih memahami dan menjalani kehidupan. Termasuk dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
Anda melanjutkan studi master tentang digital media. Bisa ceritakan tentang hal tersebut?
Dalam perkuliahan digital media itu ada dua hasilnya, pertama menjadi Master of Science dan Master of Arts, saya mengambil yang arts karena lebih suka mempelajari strateginya.
Fokusnya adalah saya belajar tentang media digital dan juga digital society, salah satunya adalah digital culture. Yang dipelajari adalah bagaimana teknologi dapat mengubah perilaku dan kebiasaan manusia di media sosial. Bidang tersebut membantu seseorang untuk lebih sadar bahwa internet memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan kita.
Bagaimana cara mengimplementasikannya di kehidupan sehari-hari?
Contohnya, sekarang banyak sekali penyebar hoaks dan kita sebagai manusia bisa memutuskan apakah kita ingin terlibat di dalamnya atau tidak. Digital media membuat saya bisa tahu baik dan buruknya industri teknologi, serta bagaimana cara menghindarinya. Saya bisa menularkan itu kepada masyarakat saat ini melalui Greatmind.
ADVERTISEMENT
Lewat tulisan dan video, saya ingin memberitahu bahwa internet memiliki banyak dampak positif tetapi tidak sedikit juga dampak negatifnya. Terutama yang menyangkut ke kondisi psikis seseorang. Oleh karena itu, saya bergabung dengan sebuah institusi agar bisa membantu banyak orang merasa lebih baik akan dirinya sendiri.
Antara karier di dunia jurnalistik dan aktivitas di dunia peran, mana yang lebih membuat Anda bahagia?
Saya bahagia menjalani keduanya dan dua profesi tersebut harus ada dalam hidup saya. Karena meskipun benang merahnya sama, tetapi seninya berbeda. Kalau jurnalistik adalah tempat untuk mengasah empati, film itu adalah tempat saya untuk mendalami emosi. Keduanya membantu saya lebih mengerti tentang kemanusiaan. Membuat saya lebih merasa menjadi manusia seutuhnya. Bagi saya kebahagiaan adalah ketika saya bisa merasakan kehidupan dan menjalaninya dengan penuh perasaan.
Marissa Anita. (Foto:  Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Marissa Anita. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Jika disuruh memilih antara keduanya, Anda akan memilih yang mana?
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa memilih salah satu karena keduanya benar-benar seperti sebuah rajutan dalam hidup saya. Semuanya berhubungan antara jurnalistik dan seni peran. Karena kalau kita hanya melakukan satu kegiatan secara terus menerus, ada saatnya kita akan menghadapi titik jenuh. Ketika masuk dalam fase itu, saya kemudian mulai main film lagi.
Artinya saya melakukan sesuatu yang baru. Begitu juga sebaliknya. Setelah memerankan satu tokoh yang membuat saya tenggelam, jurnalistik membantu saya untuk kembali ke bertemu dengan dunia nyata dan membuat semuanya kembali normal. Keduanya membentuk suatu keseimbangan dalam diri saya.
Jurnalis identik dengan jam kerja yang tidak menentu. Lalu bagaimana cara Anda membagi waktu antara bekerja dan keluarga?
Saya tidak membiarkan diri saya untuk mengerjakan banyak hal sekaligus. Saya suka monotasking. Sehingga waktu untuk keluarga juga lebih banyak. Keduanya harus seimbang. Jadi ketika sudah selesai, saya bisa menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat atau keluarga.
ADVERTISEMENT
Adakah pesan yang ingin Anda sampaikan untuk para perempuan muda yang ingin menjadi jurnalis atau mendalami seni peran?
Bekerja sebagai jurnalis harus memegang integritas, berkomitmen, dan bekerja keras. Jangan mudah ciut kalau mendapat teguran dari atasan atau produser. Mungkin awalnya akan terbawa perasaan, tapi kita harus menyadari bahwa teguran itu bisa mendorong kita untuk menjadi lebih baik.
Apa yang Anda lakukan saat me time?
Di rumah saya suka menonton film di rumah. Saya jarang keluar ke mall atau yang lain karena saya suka sekali menghabiskan waktu di rumah dan membaca buku.
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya di topik sheinspiresme.