Cerita 3 Jurnalis Perempuan Mengenai Tantangan Bekerja di Lapangan

18 Maret 2019 12:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
(kiri ke kanan) Hanna Farhana Fauzie, Maria Rita Hasugian, dan Adek Berry. Foto: Avissa Harness/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
(kiri ke kanan) Hanna Farhana Fauzie, Maria Rita Hasugian, dan Adek Berry. Foto: Avissa Harness/kumparan
ADVERTISEMENT
Dulu pekerjaan di lapangan mungkin sangat didominasi oleh laki-laki, termasuk dunia jurnalistik. Perempuan dianggap terlalu rapuh jika harus dikirimkan untuk meliput perang, meliput olahraga, atau meliput di daerah-daerah berbahaya.
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalannya waktu, perempuan terus membuktikan bahwa mereka juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Begitu juga di dunia jurnalistik, banyak perempuan yang berani terjun ke lapangan dan melakukan segala hal yang juga dilakukan oleh laki-laki. Seperti yang dilakukan oleh tiga jurnalis perempuan, Maria Rita Hasugian dari Tempo, Hanna Farhana Fauzie dari Koran Sindo, dan Adek Berry fotografer perang di AFP.
Ketiga perempuan ini mendobrak stigma yang mengatakan bahwa perempuan tidak bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki. Dengan keberanian dan passion, mereka mampu menghadapi tantangan yang mereka temui saat bekerja menjadi jurnalis di daerah konflik dan meliput olahraga.
Dalam acara Successes and Challenges of Women in Journalists in Indonesia yang digelar oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di @America, Pacific Place, Jakarta Selatan, Selasa (12/3), kumparan berkesempatan untuk mendengar ketiganya berbagi mengenai tantangan apa saja yang mereka hadapi. Seperti apa penuturan mereka? Simak ulasannya berikut ini.
ADVERTISEMENT
Maria Rita Hasugian, Wartawan Tempo
Maria merupakan wartawan perempuan Tempo yang meliput daerah-daerah konflik, seperti di Ambon, Timor Timur, hingga konflik di Myanmar. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah saat Maria harus memproduksi berita ketika berada di tengah deraan tembakan.
“Karena saya adalah wartawan tulis, saya harus bisa melaporkan berita secara tepat bagaimanapun situasinya meskipun sedang berada di tengah deraan tembakan di sekeliling kita. Biasanya ketika kami sudah terlihat membuat berita, pasukan musuh sebisa mungkin akan mengganggu kita agar berita yang dibuat tidak akurat dan bisa dituntut. Dan sangat sulit sekali untuk melewati itu,” tutur Maria saat menghadiri acara Successes and Challenges of Women in Journalists in Indonesia di @America, Pacific Place, Jakarta Selatan, Selasa (12/3)
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Maria juga harus melewati kesulitan ketika terjebak selama satu bulan di Ambon. Sebuah tugas liputan yang membuatnya trauma berat hingga saat ini.
“Saya terjebak selama satu bulan waktu itu di Ambon dan itu membuat saya trauma. Karena setiap hari saya melihat orang meninggal di depan saya, mayat bergeletakan, pasukan kesana kemari membawa kepala, ada juga yang dibunuh dengan tubuhnya dirobek, ususnya terurai. Gambaran itu sampai saat ini tidak bisa saya lupakan,” ceritanya.
Kala itu Maria akhirnya keluar dari zona berbahaya bersama dengan kolonel musuh yang membantunya. Ia pun bebas dan berhasil menyelamatkan data berita yang ia simpan di telapak kakinya.
Adek Berry, Jurnalis Foto AFP
Wartawan foto perang, Adek Berry. Foto: Maria Sattwika D/kumparan
Sudah hampir 20 tahun Adek Berry menekuni bidang fotografi. Ia juga pernah menjadi satu-satunya perempuan yang mewakili AFP untuk memotret sebuah acara besar di London. Daro 37 shooter atau jurnalis foto, hanya Adek Berry satu-satunya perempuan yang bertugas saat itu.
ADVERTISEMENT
Di AFP, Adek banyak ditugaskan untuk mengunjungi berbagai tempat konflik, bencana alam, olimpiade, hingga peristiwa-peristiwa penting lainnya.
Bagi Adek, tantangan terbesar yang ia hadapi sebagai jurnalis perempuan adalah ketika mendapatkan kabar buruk dari rumah. “Dulu pernah waktu saya berlayar dari Bira naik kapal pesiar milik Prancis. Saat itu signal sangat sulit. Dan ketika ada signal, saya mendapat kabar kalau anak sakit panas. Seketika perasaan dan pikiran menjadi tak karuan. Kalau kabar dari keluarga itu no news is good news. Beda halnya dengan di luar, bad news is good news. Jadi untuk menghadapinya saya harus menenangkan diri dan berusaha untuk tetap profesional. Terus berkabar dengan keluarga,” ungkapnya.
Salah satu foto Adek Berry yang memenangkan penghargaan dalam kategori Best of Photojournalism di National Press Photographers Association (NPPA) di Amerika Serikat tahun 2007. Foto: Adek Berry/ AFP
Selain itu, tantangan lainnya yang dihadapi oleh Adek adalah dirinya sendiri. Ia kerap menantang kemampuannya sendiri dengan tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah didapatkan. Untuk menyesuaikan dengan teknologi, Adek pun mulai belajar membuat video, belajar menggunakan drone, sehingga ia bisa menghasilkan tiga produk saat liputan, yaitu foto, berita tulisan, dan video. Karena menurut Adek, ketika sudah menjadi jurnalis senior dan memiliki banyak pengalaman, seseorang tidak boleh merasa puas dan berhenti belajar.
ADVERTISEMENT
“Ketika sudah menjadi jurnalis Anda tidak boleh merasa sudah bisa, sudah cukup, sudah mampu. Dengan begitu kita bisa merasa terus tertantang untuk mencari tahu apa yang terjadi dan bertanya. Itulah mengapa setiap berangkat liputan, saya selalu menekankan pada diri saya untuk harus memulai dari nol,” tutur Adek.
Hanna Farhana Fauzie, Jurnalis Olahraga Koran Sindo
Hanna Farhana Fauzie (kedua dari kiri), Maria Rita Hasugian (kedua dari kanan), dan Adek Berry (kanan). Foto: Avissa Harness/kumparan
Menjadi wartawan olahraga merupakan sebuah panggilan bagi Hanna Farhana Fauzie. Sebagai seorang jurnalis perempuan, ia pernah mendapat label ‘Delicate’ dari banyak orang dan dinilai tidak pantas meliput olahraga.
“Olahraga memang sangat kental dengan laki-laki. Selama ini yang saya lakukan adalah yakin akan kemampuan sendiri dan menunjukkan kalau perempuan juga bisa (meliput olahraga),” ungkapnya.
Menurut Hanna, salah satu keunggulan perempuan adalah mampu melakukan multitasking. “Karena sekarang media cetak juga memiliki platform online, jadi selain menyiapkan berita panjang untuk dicetak, saya juga harus menulis berita online. Kemudian saya juga pernah melakukan siaran TV karena media tempat saya bekerja memang sangat besar dan saya harus bisa melakukan itu,” ceritanya.
ADVERTISEMENT
Baginya, dibutuhkan keyakinan diri atas kemampuan yang dimiliki dan percaya diri untuk menghilangkan keraguan yang selama ini muncul. “Sebagai perempuan kita tidak boleh kalah dengan laki-laki dan harus mampu mengerjakan pekerjaan seperti yang diharapkan oleh kantor dan diri sendiri,” tutupnya