Citra Benazir, Pernah Dipanggil Lesbian karena Berambut Pendek

5 Agustus 2018 11:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Body Issue: Citra Benazir (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Body Issue: Citra Benazir (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
ADVERTISEMENT
Cukup lama tinggal di luar negeri membuat Citra Benazir harus mengalami culture shock ketika ia kembali ke Indonesia saat memasuki kelas 2 SMP.
ADVERTISEMENT
Citra harus menghadapi kenyataan bahwa negara tempat kelahirannya, tidak begitu ramah dengan kehadiran dirinya. Hal itu terlihat ketika teman-teman sekolahnya tidak dapat menerima penampilan Citra yang tomboy dan apa adanya.
Perempuan lulusan Seton Hall University di New Jersey, Amerika Serikat ini terpaksa harus membenci sekolah karena merasa tidak nyaman dengan sikap dan perilaku teman-teman sekolahnya yang cenderung membully.
Citra adalah salah satu dari delapan perempuan yang berbagi kisah kepada kumparanSTYLE mengenai body diveristy atau isu seputar tubuh yang pernah ia alami. Kepada kami, ia bercerita tentang pengalamannya bertahan menghadapi masa-masa sulit saat sekolah di mana ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan yang membuatnya merasa sangat tertekan.
“Dari kecil saya memang sudah merasa berbeda dari anak-anak perempuan lainnya. Saya merepresentasikan diri saya berbeda. Saya sangat tomboy, tidak suka memperhatikan penampilan,” ungkap Citra saat ia mengunjungi kantor kumparan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Karena saat itu Citra baru pindah dari luar negeri, ia harus banyak beradaptasi, mulai dari bahasa, mata pelajaran, hingga cara bergaul. Menurut Citra, cara bergaul di Jakarta dengan di luar negeri sangat berbeda.
Sebelum kembali ke Indonesia, ia tinggal di Ukraina. Di negara tersebut, ia terbiasa dengan teman-teman yang tidak pernah membedakan gender saat bergaul. Karena dirinya tomboy, Citra lebih memilih berteman dengan anak laki-laki dan itu merupakan hal normal. Namun ketika hal tersebut ia lakukan di Indonesia, ternyata muncul berbagai anggapan negatif.
“Kalau dulu di luar negeri, laki-laki dan perempuan bermain bersama, tidak terpisah membentuk kelompok masing-masing. Jadi saya terbiasa dan lebih nyaman bermain dengan laki-laki. Namun ketika di Indonesia, ternyata budayanya tidak seperti itu. Ketika saya main dengan laki-laki, anak-anak perempuan menganggap saya cari perhatian atau menyukai mereka, padahal saya hanya berteman biasa. Saya banyak dibully karena hal itu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perbedaan stigma pergaulan tersebut membuat Citra menutup diri terhadap pertemanan di sekolah. Ia juga merasa tidak nyaman dengan komentar teman-teman perempuannya tentang penampilan Citra saat itu. Mereka seperti tidak bisa menerima dirinya yang berpenampilan tomboy, berambut pendek, memakai pakaian yang longgar dan suka berolahraga.
Mereka ingin Citra berpenampilan sama seperti mereka, memakai rok ketat, sepatunya flat shoes, dan rambutnya panjang. Hal itu membuatnya merasa tidak nyaman karena Citra sama sekali tidak ingin mengubah penampilan hanya karena ia dipandang berbeda dari yang lain.
Karena pandangan yang berbeda itu, Citra jadi sering meninggalkan sekolah karena merasa tertekan. “Jika sudah tidak tahan, saya akan lari keluar sekolah, pulang naik bajaj. Sampai di rumah saya akan langsung masuk kamar dan mengunci pintu,” ceritanya.
Body Issue: Citra Benazir (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Body Issue: Citra Benazir (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
Dianggap Lesbian
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil bertahan dari anggapan-anggapan buruk dan bullying dari teman-temannya, ternyata penderitaan yang dialaminya tidak berhenti pada masa sekolah menengah pertama saja. Bullying tersebut berlanjut dan bahkan lebih parah.
Dalam ceritanya, Citra mengaku tidak pernah membenci penampilan atau bentuk tubuhnya. Ia justru mengaku bangga memiliki paha dan betis yang besar karena ia senang berolahraga.
Ia menerima bentuk tubuhnya apa adanya. Hingga suatu ketika, saat Citra memasuki bangku SMA, ada seorang anak laki-laki yang menyebarkan fitnah tentang dirinya dan penampilannya.
Saat itu, Citra masih berpenampilan tomboy dan berambut pendek. Dan salah satu teman laki-lakinya menyebar berita bohong bahwa perempuan berambut pendek itu haram hukumnya dalam agama Islam. Ia juga mengatakan kepada semua teman-teman di sekolah bahwa Citra adalah seorang lesbian karena rambutnya pendek.
ADVERTISEMENT
“Seluruh sekolah mengetahui cerita tentang saya adalah seorang lesbian karena saya memiliki rambut pendek. Awalnya saya hanya cuek saja, tetapi kemudian saya tidak tahan karena setiap saya lewat, mereka memanggil saya dengan kata lesbi. Akhirnya saya melaporkannya ke pihak sekolah,” ungkap perempuan yang saat ini berprofesi sebagai aktivis perempuan itu.
Apa yang dialami Citra di sekolah tentu berdampak buruk bagi psikologisnya. Citra sempat merasakan depresi berat. Depresi itu sebenarnya dipicu oleh permasalahan keluarga yang juga harus ia hadapi di rumah. Ditambah dengan aksi bullying yang harus ia terima di sekolah, kondisi psikologis Citra semakin down. Ia bahkan sempat memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri karena masalah-masalah tersebut.
“Di tahun 2013, ada sebuah masalah dari keluarga yang membuat banyak hal di hidup saya menjadi berubah. Membuat saya kadang merasa sangat tertekan dan depresi. Kadang membuat saya memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup. Dulu ketika saya masih di luar negeri, hal itu sangat sulit terkontrol. Saat ini ketika saya tinggal di Jakarta, bisa bertemu langsung dengan keluarga, saya merasa lebih bisa mengontrol diri saya," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dampak dari bullying tersebut juga membuat Citra benar-benar mengubah pandangannya mengenai laki-laki Indonesia. Saat itu ia menjadi trauma dan tidak ingin dekat dengan laki-laki pribumi. Peristiwa buruk yang ia alami itu juga yang membuat Citra akhirnya memilih untuk menjalani kuliah di luar negeri.
Ketika berada di Amerika Serikat, Citra merasa lebih diterima. Ia kemudian bisa bebas menjalani hari-harinya tanpa harus mengalami bullying dari siapapun. Citra yang berada di Indonesia, sangat berbeda dengan Citra yang berada di luar negeri.
“Saat saya di luar negeri, saya menjadi lebih bebas dalam berekspresi. Orang-orang di sana tidak menilai penampilan saya sama sekali. Dan hal itu mendorong saya untuk kemudian meninggalkan gaya saya yang selalu memakai pakaian longgar. Saya bisa menjadi diri saya sendiri tanpa takut akan ada yang mencemooh penampilan saya.”
ADVERTISEMENT
Trauma yang dialami Citra dengan laki-laki Indonesia juga sudah membaik berkat kepindahannya ke luar negeri. “Setelah dari luar negeri, saya memiliki kesempatan untuk bersama dengan laki-laki. Jadi ketika balik ke Indonesia, saya sudah bisa berhubungan baik dengan laki-laki Indonesia dan sampai sekarang kami sudah bersama selama tiga tahun,” ceritanya.
Ia mengatakan bahwa pasangannya bukan laki-laki asli Jakarta, jadi tidak banyak terpengaruh dengan pergaulan Jakarta. Hal itu yang membuat pasangan Citra ini lebih bisa menerima dia apa adanya dibandingkan dengan laki-laki lainnya.
Kini, Citra telah belajar banyak hal dari pengalaman bullying yang ia alami. Ia mengaku menyesal karena terlalu memikirkan komentar orang lain tentang dirinya. “Kejadian itu membuat saya menyadari bahwa pendapat orang lain tentang diri saya di masa lalu, tidak seharusnya menentukan siapa diri saya saat ini. Hal itu pula yang membuat saya akhirnya kembali membuka hati untuk laki-laki Indonesia dan mulai belajar menerima keadaan dan tetap mencintai diri saya yang seperti ini,” kata Citra.
Body Issue: Citra Benazir (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Body Issue: Citra Benazir (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
Tentang Body Diversity
ADVERTISEMENT
Dari pengalamannya tinggal di luar negeri, Citra menyadari ternyata masyarakat Indonesia belum memahami konsep body positivity atau body diversity karena mereka masih senang dengan kebiasaan menilai orang lain dari fisik atau penampilannya.
“Indonesia memiliki manusia yang begitu beragam jika dibandingkan dengan dunia barat. Sayangnya, mereka belum bisa menghargai keberagaman tersebut. Jadi ketika ada seseorang yang berpenampilan berbeda, mereka tidak bisa menerima begitu saja, akan selalu muncul komentar-komentar negatif,” tambah Citra.
Menurutnya, masyarakat Indonesia masih terbelenggu dalam konsep standar kecantikan yang sudah mengakar di masyarakat. Ia memberikan contoh tentang iklan komersial yang beredar di negara ini. “Kulit putih sangat didewakan di Indonesia, iklan-iklan di TV menunjukkan bahwa kulit putih menjadi standar kecantikan yang harus dijadikan panutan. Hal itu yang membuat perempuan Indonesia tidak bisa menerima dirinya sendiri saat mereka memiliki kulit yang lebih gelap. Mereka menganggap dirinya tidak cantik,” ujar Citra.
ADVERTISEMENT
Meskipun kini Citra sudah menjadi pribadi yang lebih baik karena tidak lagi peduli dengan pendapat orang mengenai dirinya, ia tetap masih khawatir dengan tentang paradigma standar kecantikan yang tercipta di masyarakat. Ia takut jika masyarakat Indonesia tidak membuka pikiran mereka mengenai konsep keberagaman, akan ada banyak perempuan muda yang tidak akan tampil percaya diri ketika mereka merasa berbeda.
“Pesan saya untuk perempuan lain adalah, jangan pedulikan apa kata orang tentang penampilan Anda. Jangan menghabiskan waktu untuk mengkhawatirkan pendapat orang lain karena mereka tidak akan selamanya berada di dalam hidup Anda, mereka akan menghilang dengan sendirinya jika Anda tidak mempedulikan mereka. And be the best person you can be,” tutup Citra.
ADVERTISEMENT