Dipanggil Mas Boy Akibat Berkumis, Ini Kisah Yunnica Lawan Rasa Minder

9 Agustus 2018 12:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yunnica Sri Hapsari  (Foto: Dok. Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yunnica Sri Hapsari (Foto: Dok. Garin Gustavian Irawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, bertemu dengan perempuan berkumis dan bertubuh kekar agaknya masih jadi pemandangan asing dan membingungkan. Dianggap tak lazim, perempuan berkumis kerap jadi korban bullying dan bahan candaan di lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Tumbuhnya kumis pada perempuan disebabkan oleh Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau ketidakseimbangan hormon. Dalam kasus ini, perempuan mengalami hiperandrogen atau hormon testosteron berlebih dalam tubuhnya.
Sebagai efeknya, tumbuh kumis (hirutisme) dan otot pun mem.besar. Tubuh jadi terlihat kekar dan mirip lelaki.
Hal inilah yang terjadi pada Yunnica Sri Hapsari (24).
Sejak remaja ia menyadari pertumbuhan tubuhnya tidak sama dengan dengan teman-teman perempuannya. Badannya tampak lebih kekar dan berisi, apalagi di bagian bahu, lengan dan betis. Bulu-bulu di tubuhnya pun tumbuh lebih lebat dari teman-teman perempuannya. Ia bahkan memiliki bulu lebih tebal di bagian atas bibir, seperti laki-laki pada umumnya. "Ini karena saya mengenakan jilbab saja, tapi kalau enggak, orang bisa lihat bahwa saya juga punya jakun," ceritanya kepada kumparanSTYLE.
ADVERTISEMENT
Karena kondisi fisiknya yang seperti laki-laki ini, Yunnica yang kini berprofesi sebagai auditor sempat dijuluki 'Mas Boy' semasa SMP dan SMA.
Tumbuh berbeda dengan perempuan pada umumnya, rasa minder pun menggegoroti diri Yunnica. Terbersit rasa iri saat melihat teman-temannya mengalami siklus mens teratur dan memiliki tubuh yang mungil. Kelebihan hormon pria yang dialami Yunnica juga membuatnya khawatir akibat siklus menstruasi yang tidak teratur. Berbeda dengan perempuan pada umumnya, Yunika hanya datang bulan beberapa kali dalam setahun.
Butuh enam tahun lamanya hingga Yunnica akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri. Yunnica belajar untuk mencintai segala kekurangan dan kelebihan yang ada dalam dirinya saat memasuki bangku kuliah.
Untuk Anda yang mungkin sedang bergumul dengan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau hiperandrogen, simak kisah menarik Yunika mengatasi rasa minder dan krisis identitasnya dalam sesi interview berikut ini!
Yunnica Sri Hapsari  (Foto: Dok. Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yunnica Sri Hapsari (Foto: Dok. Garin Gustavian Irawan/kumparan)
Kelebihan hormon membuat tampilan fisik Anda sedikit berbeda dengan perempuan pada umumnya. Tumbuh kumis dan berotot, tentu sering dijadikan bahan candaan, bahkan dibully semasa sekolah. Bisa ceritakan sedikit pengalaman Anda?
ADVERTISEMENT
Saya pertama dibully saat SMP, saat pertama kali menstruasi. Banyak anak cowok yang minta saya mencukur kumis, karena katanya aneh anak cewek berkumis. Terus saat itu saya masih polos, beneran ikuti saran mereka untuk cukur kumis. Terus akhirnya malah nambah. Dan saat teman-teman sadar, langsung ditertawai satu kelas. Saat itu saya langsung down.
Pas SMA saya punya julukan 'Mas Boy'. Karena tenaga saya kebetulan beda dari perempuan lainnya. Perempuan lain mungkin lebih manja dan girly, saya lebih ke tomboy, bahkan saya merawat diri pun enggak.
Dijuluki Mas Boy, apa yang Anda rasakan saat itu? Dan bagaimana cara menanggapinya?
Dipanggil Mas Boy ya sakit hati banget. Berpikir memangnya setomboy dan seberotot itukah saya?
ADVERTISEMENT
Perempuan ditonjok biasanya sakit, saya enggak. Jadi dulu ada yang bandel, mukulin badan saya kayak samsak. Dia bilang ‘lo kan beda dari cewek lain, dipukulin enggak sakit. jadi enggak apa-apa dong gue pukul’. Paling terpuruk sih di situ. Tapi setelahnya saya jadi terpacu terus memperbaiki diri, belajar lagi supaya bisa seperti perempuan lain.
Bisa ceritakan lebih detail soal diri Anda semasa sekolah?
Pokoknya saya lebih boyish, hobinya main bola dan temannya banyakan laki-laki. Karena memang kalau main sama perempuan saya merasa minder, beda sendiri. Saya merasa mereka lebih mungil dan sensitif. Kalau saya lebih santai dan enggak baperan.
Dengan tampilan fisik yang dulunya maskulin dan kepribadian tomboy, Anda lebih banyak bergaul dengan anak lelaki?
ADVERTISEMENT
Iya. Saya merasa bercanda sama laki-laki lebih enak. Efek positifnya, candaan yang bersifat bullyan kasar akhirnya jadi enggak mempan ke saya.
Dari situ saya berpikir bahwa saya memang punya kekurangan, tapi dengan kekurangan ini saya bisa berkomunikasi dengan nyaman dengan lawan jenis. Lebih simpel, enggak ribet. Dari awalnya dibully malah jadi akrab.
Jika melihat diri Anda yang sekarang, rasanya tak ada yang menyangka bahwa dulu Anda pernah tomboy, bahkan dibully semasa sekolah. Bisa ceritakan hal apa yang membuat Anda bertransformasi jadi diri Anda yang sekarang?
Pas kuliah, bentuk badan saya yang cukup kekar sudah enggak terlalu kelihatan ya, karena mulai pakai hijab. Banyak yang kaget melihat bentuk tubuh saya yang dulu, kalau diperhatkan bahkan betis saya bertelur (besar). Kalau dulu, saat stres saat dibully saya jadi larinya ke makanan agar tak sedih. Untuk mengalihkan perhatian. Saya pikir-pikir lagi itu sama sekali enggak mengobati, bukan solusi. Akhirnya pas kuliah di jurusan farmasi, teman saya banyak yang cewek. Jadi saya terbawa-bawa.
Yunnica Sri Hapsari  (Foto: Dok. Yunnica Sri Hapsari )
zoom-in-whitePerbesar
Yunnica Sri Hapsari (Foto: Dok. Yunnica Sri Hapsari )
Jadi bisa disimpulkan, sahabat Anda semasa kuliah berperan besar membantu Anda melawan rasa minder? Juga mengarahkan Anda hingga bertransformasi jadi secantik sekarang.
ADVERTISEMENT
Iya. Mulai yang namanya dibaweli, discrub, benar-benar merasakan yang namanya dirawat sesama perempuan. Akhirnya dari situ saya sadar, walau saya banyak kekurangan, banyak juga yang peduli. Selama empat tahun kuliah saya punya support system yang luar biasa.
Melihat teman saya ada juga yang gemuk dan mengalami kelebihan hormon, saya tahu bahwa saya enggak sendirian.
Saya bersyukur punya teman yang saling melengkapi. Ada yang membantu diet, menyabarkan saya, ada lagi yang menenangkan dan memotivasi. Bahkan kaki saya yang berotot dan buluan bisa dijadikan bahan candaan. Kalau lihat kaki bapak-bapak, mereka bisa tertawa terus bilang 'yun, itu mirip kaki lo!', terus kita ketawa bareng, seru-seruan. Ada juga yang bawel soal baju. Saya dulu hanya pakai kaus dan jins, saya diajak belanja dan dipilihin harus pakai apa. Saya berasa punya stylist pribadi.
ADVERTISEMENT
Dengan PCOS yang Anda miliki, secara medis ada kemungkinan untuk sulit memiliki keturunan. Bagaimana Anda dan pasangan menyikapi hal ini?
Tentu. Waktu awal-awal pasangan sempat bertanya, ‘kok kamu beda ya dari perempuan lainnya’, ‘kok kayaknya kamu enggak pernah mens ya’, bahkan dia sampai bingung dan nanya saya lagi hamil atau enggak. Akhirnya saja jelaskan, lalu tanya pendapat dia soal hal ini.
Untungnya dia santai dan bilang kalu hubungan kita enggak buru-buru. Dia malah bilang jangan memikirkan hal yang membebani hubungan. Bahkan kalau di masa depan enggak bisa punya anak, dia berbesar hati untuk adopsi anak. ‘Kalau memang enggak dikasih rezeki anak’, kata dia waktu itu.
Jujur waktu itu saya kaget, sih. Terus terang, enggak semua laki-laki bisa nerima seperti itu, kan. Jadi, support system saya kembali lagi ke agama. Dia bahkan menasehati saya, bilang kalau saya jangan berkecil hati. Toh banyak orang yang fisiknya kurang sempurna bisa melahirkan dengan normal. Di situlah kekuatan percaya dan iman.
ADVERTISEMENT
Dia anggap kekurangan saya sebagai kelebihan. Dia bilang ‘kalau laki-laki lain siklus menstruasinya teratur, sering berantem’, jadi dia ambil hal positifnya saya enggak pernah mens, kemungkinan ada drama PMS-nya kecil. hahaha. Akhirnya rasa insecure saya hilang.
Anda sempat menyebut soal jarang menstruasi. Bisa cerita sedikit tentang hal ini?
Saya dalam setahun bisa mens hanya tujuh hari. Jadinya enggak perlu drama-drama seperti perempuan lain. Ambil positifnya lagi, teman-teman yang lain harus stok pembalut, kalau saya enggak, jadi saving cost. Biasanya perempuan juga banyak yang insecure ya kalau telat mens, kalau saya enggak.
Yunnica Sri Hapsari  (Foto: Dok. Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yunnica Sri Hapsari (Foto: Dok. Garin Gustavian Irawan/kumparan)
Bisa ceritakan bagian tubuh mana yang paling Anda suka dan tidak sukai?
Paling suka dengan muka. Karena muka saya enggak terlihat maskulin. Alis saya juga sudah cukup tebal, jadi enggak perlu pakai alis. Jadi antara bareface dan makeup itu enggak jauh beda. Kalau ke kantor saya cuma pakai pelembap dan bedak. Jadi orang juga enggak pangling. Begini saja alhamdulillah ada yang naksir, hahaha.
ADVERTISEMENT
Yang tidak disukai adalah bulu kaki. Karena bulunya lebat dan potongan kaki enggak ada perempuan-perempuannya sama sekali.
Butuh waktu berapa lama hingga Anda bisa menerima dan memandang diri sepositif ini?
Cukup lama, pas SMA. Saya dulu suka iri kalau teman-teman yang lain mens. Tapi banyak juga yang mengingatkan saya harusnya bersyukur karena enggak harus sakit setiap bulan.
Saya baru bisa benar-benar legowo saat kuliah. Ketika melihat teman-teman yang normal pada repot kesakitan sampai enggak masuk. Saya less stress, jadi seperti enggak ada beban. Benefit utamanya adalah saat saya enggak mens, puasanya jadi full dan enggak perlu ganti puasa. Enggak ada utang puasa yang harus diganti di luar bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui proses panjang, bagaimana cara Anda kini memandang segala 'keistimewaan' yang ada dalam diri?
Sekarang sih rasanya alhamdulillah banget. Karena di balik kekurangan saya ada banyak berkah.
Saya bersyukur punya banyak temanyang support dan pasangan yang bisa menerima dengan baik. Pasangan saya percaya bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menyatukan dua hati, bukan hanya bereproduksi. Menikah karena cinta.
Menurut Anda, apakah orang Indonesia kini sudah paham soal konsep body positivity dan menhargai keragaman bentuk tubuh?
Belum. Karena saya kerja di lingkungan yang banyak lelakinya, mereka anehnya sangat memperhatikan bentuk tubuh perempuan. Bisa tiba-tiba nyeletuk 'eh gemukan ya', 'timbangannya pasti naik ya', dan 'kok badannya besar banget'. Banyak kalimat nyinyiran yang menyebalkan. Bahkan ada yang menuduh saya hamil karena enggak mens tiga bulan.
ADVERTISEMENT
Harapan saya, semoga lebih banyak orang yang peka dan menghargai perempuan. Enggak semua perempuan berbadan langsing, memiliki potongan tubuh feminin, tapi kita sebagai perempuan sudah melakukan hal terbaik yang mungkin enggak diketahui orang.