Isu Pekerja Anak di Industri Fashion Dunia

27 November 2018 15:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Anak-anak kecil memintal kapas di India. (Foto: AFP/JOHN MACDOUGALL)
Bithi tampak tertunduk sibuk di hadapan mesin jahit berwarna kelabu. Tiap jarum di mesin itu berdengung, berdecit menusuk serat-serat kain dengan kecepatan tinggi.
ADVERTISEMENT
Bersama 20 perempuan lainnya di sebuah ruangan bertembok putih di pinggiran kota di Bangladesh, ia sibuk menjahit bagian kantong celana jeans dengan seksama.
"Ada 60 kantung dalam sejam," ujar gadis berusia 15 tahun tersebut tak bergeming dari mesin jahitnya.
Bithi adalah satu dari jutaan anak di seluruh dunia yang menjadi pekerja anak di sektor tekstil global bernilai USD 284 miliar. Mereka menjadi pekerja informal di pabrik garmen, tanpa jaminan, tanpa asuransi dan minim perlindungan.
Pekerja anak seperti Bithi, biasanya menjalankan tugas mulai dari menjahit kancing, menyulam, memotong benang dan melipat pakaian.
"Di hari pertama bekerja, saya merasa tersiksa dan merasa bahwa itu bukanlah hal yang seharusnya saya lakukan. Saat itu saya masih terlalu kecil dan bekerja dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua. Di hari itu saya menangis terus," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Kisah Bithi ini diungkapkan dalam tulisan yang diterbitkan oleh World Vision, yakni lembaga non profit keagamaan yang bergerak di bidang kemanusiaan dengan fokus pelayanan kepada anak-anak.
Bithi mulai bekerja sejak masih berusia 12 tahun. Ia terpaksa bekerja karena kondisi keluarganya yang miskin. Sementara ayahnya sakit, hanya bisa terbujur kaku di tempat tidur, ibunya mengirimkan Bithi untuk bekerja di pabrik garmen yang memasok pakaian ke perusahaan fashion dunia yang menyasar pasar di negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Kanada, AS dan Eropa.
Bithi adalah salah satu contoh dari sekian banyak pekerja anak yang dipekerjakan di industri garmen. Masih banyak Bithi-Bithi lainnya yang menjadi sekrup-sekrup penggerak rantai supply chain dunia. Jumlahnya pun terus berlipat ganda, terlebih lagi di negara dunia ketiga.
Ilustrasi seorang anak India dan ibunya (Foto: Shutterstock)
Berbagai pihak yang concern terhadap persoalan ini pun melakukan banyak cara untuk menghilangkan praktik pekerja anak dalam industri fashion.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Kailash Satyarthi, seorang pemenang nobel dari India. Ia memimpin perjuangan untuk mengeluarkan anak-anak di bawah umur di berbagai industri di India. Melalui perjuangannya yang gigih, setidaknya lebih dari 80.000 anak yang bekerja di pabrik-pabrik di India terselamatkan.
Perjuangannya ini pun difilmkan oleh seorang produser film dokumenter Derek Doneen berjudul The Price of Free. Film dokumenter ini berhasil meraih penghargaan Best Documentary Film pada ajang Sundance Film Festival awal tahun ini. Rilisnya film dokumenter ini setidaknya merupakan sebuah upaya untuk membangun diskusi publik terkait mata rantai supply chain industri dunia yang melibatkan sekitar 150 juta pekerja anak.
Andil industri fast fashion dalam melibatkan pekerja anak
Tak dapat dipungkiri, industri pakaian ready-to-wear dunia kini didominasi oleh bisnis berkonsep fast fashion. Lini pakaian seperti H&M, Zara, Topshop, Mango, Stradivarius dan semacamnya merupakan beberapa contohnya. Mereka berlomba-lomba menghadirkan tren fashion terkini ke gerai mode mereka yang tersebar di seluruh dunia dalam jumlah masif dan dalam tempo yang secepat-cepatnya. Anda bisa melihatnya sendiri, setiap minggu butik-butik ready to wear hampir selalu memiliki koleksi baru.
ADVERTISEMENT
Fast Fashion memiliki target untuk memenuhi pasokan busana tiap gerainya di berbagai belahan negara dalam waktu singkat dengan biaya produksi rendah. Oleh karena itu, mereka mencari pekerja yang dapat dibayar murah dari negara dunia ketiga seperti Kamboja, Myanmar, India, Bangladesh hingga Indonesia. Perempuan dan anak-anak pun menjadi sasaran pekerja mereka. Pada 2014, lebih dari 405 perusahaan fashion dunia mengimpor bahan tekstil dan pakaian jadi dari hasil tangan anak-anak seperti Bithi.
Fast Fashion menjadi pujaan dan dipuji sebagai model bisnis yang inovatif berkat manajemen supply chain-nya yang membuat jaringan produksi dan distribusinya efektif serta efisien.
Namun, di balik keajaiban industri fast fashion, pernahkah terbesit di benak Anda siapa yang membuat pakaian atau celana jeans yang Anda kenakan?
ADVERTISEMENT
Jangan-jangan salah satu dari pakaian yang Anda kenakan saat ini dijahit oleh pekerja anak di bawah umur di Bangladesh? Terbesitkah dalam benak Anda bagaimana nasib pekerja anak tersebut? Di usia yang seharusnya mereka menikmati bangku sekolah malah diperas tenaganya sebagai pekerja di pabrik-pabrik untuk kebutuhan kita tampil fashionable.
Di 2016 lalu, BBC melakukan investigasi terkait praktik tidak etis yang dilakukan industri garmen di Turki. Dalam investigasi tersebut ditemukan brand seperti ASOS dan Marks & Spencer teridentifikasi melibatkan pekerja anak dalam pemenuhan bahan bakunya. Ditemukan anak berusia 7 hingga 8 tahun dikerahkan untuk menjahit celana pendek produksi dua label besar asal Inggris tersebut. BBC menemukan pekerja anak diperas untuk bekerja hingga 60 jam perminggu dan mereka tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Isu melibatkan pekerja anak lainnya juga datang dari lini fashion yang berbasis di Spanyol, Zara. Melansir Daily Mail, ditemukan 15 pekerja anak dari Bolivia dan Peru yang bekerja di pabrik-pabrik garmen yang memasok bahan pakaian Zara yang berlokasi di Brasil. Terungkap pekerja anak tersebut bekerja lebih dari 16 jam perhari di lingkungan kerja yang tidak sehat dan berbahaya dengan bayaran 171 - 288 Dolar AS perbulannya (Rp 2,4 juta). Angka tersebut jauh dari upah minimum resmi di Brasil yang mencapai 341 Dolar AS perbulan atau setara dengan Rp 4,9 juta.
Toko Zara di Grand Indonesia. (Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan)
Melansir The Telegraph, Inditex (raksasa fashion yang menaungi Zara, Stradivarius, Bershka, Pull&Beat) mengatakan bahwa 15 pekerja anak tersebut dipekerjakan secara ilegal oleh subkontraktor tanpa sepengetahuan Inditex.
ADVERTISEMENT
Begitupun pabrik-pabrik garmen di Myanmar juga terciduk mengerahkan pekerja anak yang berusia 14 tahun untuk bekerja selama lebih dari 12 jam sehari guna memenuhi permintaan pasar dari brand-brand dunia seperti H&M, Marks & Spencer, Tesco, Primark, New Look, GAP dan lain-lain.
Skandal pekerja anak pun juga pernah menghinggapi Adidas. Menurut pemberitaan dari The Guardian pada tahun 2000an, perusahaan sepatu tersebut tertangkap basah memasok bahan jadi dari dua pabrik yang mempekerjakan buruh anak. Bahkan salah satu pabrik pemasoknya berasal dari Indonesia.
Pekerja anak, cukup dibayar murah dan tidak banyak menuntut
Menurut data dari UNICEF yang dilansir The Guardian, tercatat 260 juta anak di seluruh dunia yang sempat dipekerjakan. Sedangkan ILO mengestimasikan terdapat 170 juta (sekitar 11% dari total populasi anak di dunia) di antaranya adalah pekerja anak yang memenuhi pabrik-pabrik.
ADVERTISEMENT
Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya penyebab yang paling mendasar dari maraknya pekerja anak tentu terkait dengan persoalan kemiskinan.
Mari kita ambil contoh India. Negara yang terletak di bagian selatan Asia ini merupakan salah satu negara yang mempekerjakan anak dengan jumlah yang besar. Dari 1 miliar lebih penduduk India, 300 hingga 400 juta diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Anak-anak dalam keluarga miskin sulit mengakses pendidikan sehingga minim keterampilan. Alhasil, mereka dijual atau dipekerjakan untuk membantu penghasilan keluarga.
Selain latar belakang kemiskinan, pekerja anak juga banyak direkrut karena dapat diupah murah. Misalnya Rajinder, pemilik sebuah pabrik di India yang mempekerjakan orang dewasa dan anak-anak. "Saya mengupah pekerja 300 rupee (setara dengan Rp 63 ribu perhari), tapi untuk buruh di bawah umur saya cukup bayar 100 rupee (setara dengan Rp 21 ribu per hari). Ini penghematan luar biasa," ujar Rajinder kepada BBC.
Pekerja anak di India. (Foto: Twitter/@KhushiChildCare)
Melansir The Guardian, pengolahan bahan mentah pada industri tekstil membutuhkan low skill yang akan lebih baik jika dilakukan oleh pekerja anak ketimbang orang dewasa. Misalnya saja saat panen kapas; pabrik lebih memilih merekrut pekerja anak karena bentuk kapas amat rapuh jika harus dipetik oleh jari orang dewasa yang cenderung besar. Jari-jari kecil dari pekerja anak-lah yang dapat meminimalisasi rusaknya hasil panen kapas. Tak heran jumlah pekerja anak begitu tinggi, mengingat kapas adalah bahan dasar dalam industri tekstil.
ADVERTISEMENT
Di Asia, alur supply chain kapas terbesar dimulai dari penanaman kapas di Benin, Uzbekistan, kemudian pemintalan benang di India, lalu hasil benang tersebut dikumpulkan dan diolah di pabrik-pabrik garmen di Bangladesh, India, Myanmar, Pakistan, China, Thailand, Indonesia dan lain-lain.
Pada industri kapas, anak-anak dipekerjakan untuk memindahkan serbuk sari dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Mereka bekerja berjam-jam menabur kapas di musim semi dan menyianginya selama musim panas. Pekerja anak mengalami jam kerja yang panjang, rIsiko kesehatan pun menghantui, mereka begitu rentan terhadap paparan pestisida yang berbahaya.
Apa yang dilakukan industri fashion?
Para pelaku industri fashion tentu tidak sama sekali menutup mata akan fenomena ini. Beberapa upaya setidaknya telah dilakukan untuk menciptakan industri fashion yang lebih bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja seperti yang dilakukan H&M yang mengeluarkan koleksi bertajuk Conscious. Rumah fashion asal Swedia ini dalam koleksi Conscious menggunakan material katun organik dan sampah poliester asal lautan yang didaur ulang sebagai bahan dasarnya. Melansir Good on You, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir H&M telah membuat perubahan dalam memasok bahan mentah mereka. Berdasarkan Ethical Fashion Report 2017, H&M menerima skor A+ untuk kode etik pemasokan bahan. Hal tersebut dikarenakan H&M melakukan transparansi dalam melacak pabrik pemasok bahan mentahnya. H&M melakukan pengauditan ke sebagian besar fasilitas supply chainnya selama periode dua tahun ini. Selain itu menurut H&M juga memberikan upah yang layak untuk tiap pekerja yang memasok bahan dasar mereka.
Paris Fashion Week. (Foto: Instagram @parisfashionweek)
Perubahan positif juga turut dilakukan oleh Zara melalui Inditex, menurut data Ethical Fashion Report 2018. Zara telah melakukan audit menyeluruh terkait pabrik pemasok bahan-bahan mereka. Pemasok dan pabrik mitra Inditex diwajibkan untuk mengikuti kode etik mereka. Salah satunya adalah dengan larangan mempekerjakan pekerja anak dan membuat peraturan tertulis terkait larangan kerja paksa dan diskriminasi di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Langkah Adidas dalam memperhatikan jalur supply chainnya juga tercermin dari komitmennya dalam memastikan pekerja dalam rantai pasokannya dibayar dengan upah layak. Tak hanya Adidas, hal senada juga datang dari Nike yang sama-sama berkomitmen membayar upah pekerja yang layak di seluruh rantai pasokan mereka.
Saatnya menjadi konsumen yang peduli terhadap etika di industri fashion
Rumitnya mata rantai produksi (supply chain) industri fashion dari brand-brand multinasional membuat sulitnya penelusuran satu persatu di setiap tahapan proses produksinya.
Data dari Australia misalnya mengungkapkan bahwa 93 persen brand asal Australia tidak mengetahui dari mana asal kapas yang mereka ambil. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai sejauh mana rata-rata konsumen Australia tanpa sadar mendukung langkah-langkah eksploitatif yang menjerat para pekerja di rantai produksi.
ADVERTISEMENT
Namun, kesadaran akan isu ini bisa menjadi tahap awal yang positif untuk menjadi konsumen yang lebih peka dan peduli soal etika di industri fashion.
Kita semua tahu, industri fast fashion berkembang karena adanya permintaan pasar. Semakin banyak Anda berbelanja, industri ini akan terus berkembang. Coba untuk lebih bijak dalam menggunakan dan membeli pakaian Anda. Ketahui dari mana asal pakaian kita, bagaimana proses produksi. Jangan sampai budget minimal yang Anda keluarkan lantas mengorbankan para pekerja yang diupah begitu rendah.
Selain itu sebagai konsumen kita pun harus peka terhadap brand fashion yang kita kenakan. Tak kenal maka tak sayang. Sebagai konsumen yang peduli Anda bisa mengecek website brand fashion yang Anda kenakan untuk melihat kebijakan dan nilai-nilai yang brand fashion anut.
ADVERTISEMENT
Anda misalnya dapat mengunjungi laman www.fashionrevolution.org untuk membaca dan mencari tahu berita yang menyangkut etika di industri fashion.
Fashion Revolution sendiri merupakan gerakan global yang menuntut industri fashion yang lebih adil, bersih, dan transparan. Gerakan ini menuntut dibuatnya undang-undang dan kebijakan yang lebih baik untuk para pekerja industri fashion juga lingkungan di seluruh dunia dan punya misi mengedukasi sebanyak mungkin konsumen.
Melalui tagar #WhoMadeMyClothes, Fashion Revolution menghimpun kesadaran konsumen dan kekuatan organik untuk membuat para pekerja industri fashion juga lingkungan di seluruh dunia menjadi lebih baik.
Selain itu, kini telah tersedia aplikasi bernama Good on You di smartphone Android atau iOS. Aplikasi ini dapat Anda unduh untuk mengecek catatan dan rating seputar ribuan brand dan cara mereka memperlakukan para pekerjanya serta dampak kebijakan perusahaan yang ditimbulkan pada lingkungan dan juga hewan.
ADVERTISEMENT
Langkah awal Anda untuk meningkatkan kesadaran akan isu ini bisa menjadi kontribusi nyata dalam menghapus praktik pekerja anak dalam industri fashion.