Menstruasi: Kata yang Masih Tabu untuk Diungkapkan

2 Maret 2019 17:14 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Menstruasi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Menstruasi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
"Ya, saya tahu apa itu (menstruasi). Tapi saya malu, saya tak bisa mengatakannya," ungkap seorang gadis berselimut merah yang duduk di atas kasur dalam film dokumenter pendek yang baru saja memenangi Oscars 2019, Period. End of Sentence.
ADVERTISEMENT
Pandangan dan dogma tabu terhadap menstruasi divisualisasikan secara jelas dalam dokumenter singkat karya Rayka Zehtabchi dan Melissa Berton tersebut. Period. End of Sentence. berdurasi selama 26 menit yang ditayangkan di Netflix sejak April 2018 lalu bercerita bagaimana sekelompok perempuan di Hapur, India berusaha membuka tabu seputar menstruasi dengan membuat pad atau pembalut yang kemudian mereka jual pada perempuan di sekitar desa mereka.
Tabu mengenai menstruasi membuat banyak dari mereka tidak pernah mengenal pembalut dan tidak tahu bagaimana mengatasi darah menstruasi yang tidak dapat dihindari. Beberapa dari mereka mengaku tidak mengerti apa dan dari mana proses menstruasi terjadi. Bahkan ada yang menganggap bahwa menstruasi adalah suatu penyakit yang menimpa perempuan dan sesuatu yang buruk.
Anak perempuan India di dokumenter Period. End of Sentence. Foto: Netflix
“Kami tidak berdoa kepada Tuhan kami saat menstruasi. Menurut tetua di lingkungan kami, Tuhan tidak akan mendengar doa perempuan yang sedang menstruasi,” ungkap salah satu perempuan.
ADVERTISEMENT
Masih terdapat banyak ungkapan-ungkapan memilukan dari para perempuan yang diwawancara untuk dokumenter tersebut. Yang paling menyedihkan adalah mengenai kenyataan bahwa menstruasi menyebabkan banyak anak perempuan di Hapur harus berhenti sekolah. "Setelah menstruasi, saya mencoba untuk tetap melanjutkan sekolah, namun semakin lama semakin sulit. Akhirnya saya memutuskan untuk putus sekolah," cerita perempuan muda bertudung kuning yang tak disebutkan namanya tersebut.
Film dokumenter Period. End of Sentence. memenangkan Oscars 2019. Foto: Netflix
Seorang perempuan lain bercerita bahwa ketika menstruasi, ia harus berjalan jauh dari rumahnya di malam hari hanya untuk mengganti kain ‘penyumbat’ darah agar tidak terlihat oleh orang lain, terutama laki-laki. Tak sedikit dari mereka yang kemudian memilih untuk putus sekolah karena menstruasi sangatlah merepotkan untuk dijalani. Kenyataan inilah yang menginspirasi para pembuat film untuk memberi judul dokumenter tersebut Period. End of Sentence., dengan alasan, bahwa 'period' (ungkapan: titik) seharusnya jadi akhir kalimat saja, bukan justru akhir bagi pendidikan seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Hapur, India, hanyalah contoh kecil dari banyak daerah di beberapa negara yang masih menganggap menstruasi tabu untuk diperbincangkan. Tidak hanya di Asia, namun masyarakat Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa, serta negara-negara Timur Tengah juga masih menganggap bahwa menstruasi adalah sesuatu yang harus disembunyikan. Tetapi uniknya, pandangan tentang menstruasi ini justru bertolak belakang dengan beberapa negara di Afrika, yang mengobservasi menstruasi dalam pandangan yang positif, jauh dari konotasi kotor dan menjijikan.
Makna Menstruasi dalam Berbagai Kebudayaan
Ilustrasi perempuan di India. Foto: Shutterstock
Secara biologis, menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada setiap perempuan yang memasuki usia pubertas. Tetapi kondisi alamiah ini belum bisa diterima secara alami oleh sebagian besar masyarakat, sehingga muncullah tabu mengenai menstruasi. Kondisi ini sangat kental terjadi di negara-negara Asia.
ADVERTISEMENT
Di India masih banyak yang menganggap bahwa menstruasi adalah hal yang harus ditutupi dan dirahasiakan, dan menurut studi di 2014 dari International Journal of Medicine and Public Health, periset menemukan bahwa setidaknya 42 persen perempuan di India tidak mengerti bagaimana menstruasi bisa terjadi dan merasa takut ketika mereka mengalami menstruasi pertama kali.
Kemudian data lainnya menyebutkan bahwa sekitar 88 persen perempuan India menggunakan benda-benda seperti jerami dan pasir sebagai pembalut, dan baru di 2011, menurut survei AC Nielsen, 12 persen perempuan di India mulai menggunakan pembalut saat menstruasi. Kurangnya pemahaman tentang menstruasi ini juga menyebabkan 20 persen anak perempuan di India terpaksa keluar sekolah ketika mereka mencapai masa pubertas, dengan alasan merepotkan.
ADVERTISEMENT
Pada 1991, Pengadilan Tinggi Kerala, India, membatasi perempuan dalam rentan usia 10 hingga 50 tahun untuk memasuki Kuil Sabarimala, karena mereka berada pada usia menstruasi. Namun, pada 28 September 2018, Mahkamah Agung India akhirnya mencabut larangan tersebut dan menyatakan bahwa pelarangan itu merupakan diskriminasi bagi perempuan dan tidak konstitusional.
Infografik Anggapan Tabu Menstruasi Foto: Sabryna Putri Muviola/ kumparan
Indonesia sendiri pun terkadang masih menganggap menstruasi menjadi hal tabu untuk diperbincangkan secara terbuka. Tanpa disadari, kita seringkali mengganti kata 'menstruasi' dengan kata ganti tersirat lainnya ketika membicarakan menstruasi di ruang terbuka atau di sekitar lawan jenis, mulai dari istilah 'sedang datang bulan', 'sedang dapet', hingga 'halangan'
Menurut data UNICEF pada Mei 2017, setidaknya 17 persen anak perempuan di Indonesia mengaku pernah diejek oleh sesama murid, terutama laki-laki, saat mengalami menstruasi. Hal tersebut membuat anak perempuan memilih membolos sekolah untuk menghindari perlakuan tersebut. Tak hanya itu, UNICEF Indonesia juga menyampaikan bahwa 28 persen perempuan melewatkan sekolah dan bekerja karena periode menstruasi mereka.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan negara-negara Asia, di Zambia, Afrika, menstruasi dianggap sebagai tanda bahwa seorang perempuan sudah siap melakukan hubungan seks dan menikah. Menstruasi juga jadi ukuran bahwa perempuan sudah siap melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Namun, meski dilihat dalam perspektif yang positif, di Afrika menstruasi juga masih menjadi hal yang tabu jika didiskusikan dengan laki-laki.
Anggapan tabu seputar menstruasi semakin 'didukung' oleh iklan-iklan pembalut di televisi. Menstruasi seringkali divisualisasikan oleh cairan biru-- bukan merah-- untuk menggambarkan daya serap dari produk yang diiklankan. Seolah menyiratkan bahwa cairan merah sebagai deskripsi darah adalah sesuatu yang harus dihindari dan tidak bisa diungkapkan atau digambarkan secara langsung dan apa adanya.
Perempuan Menstruasi Dianggap Tidak Suci
Perempuan berdemonstrasi di Kerala, India . Foto: AFP
Selain kebudayaan, pandangan agama juga memiliki pengaruh yang besar terhadap stigma menstruasi. Hampir seluruh kepercayaan memiliki peraturan dan perlakuan khusus bagi perempuan yang sedang berada dalam siklus bulanan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di agama Islam, perempuan yang sedang menstruasi diperbolehkan untuk tidak melakukan salat dan dibebaskan dari kewajiban berpuasa di bulan Ramadan. Mereka pun disarankan untuk tidak memasuki tempat salat seperti Masjid tanpa tujuan yang penting. Namun, tetap diperbolehkan untuk menghadiri kajian agama dan festival umat Islam seperti Idul Fitri. Perempuan yang sedang menstruasi juga tidak diperbolehkan melakukan hubungan seks, karena berisiko menimbulkan penyakit. Setelah periode menstruasi selesai, perempuan diharuskan untuk mandi junub atau mandi wajib secara menyeluruh, agar dapat melanjutkan kewajiban ibadah mereka seperti biasa.
Menstruasi dalam pandangan agama. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Dalam aturan Kristen dan Katolik kuno, saat melangsungkan misa (ibadah), perempuan yang sedang menstruasi tak dianjurkan untuk menerima komuni (ritual memakan hosti atau roti sakramen suci yang diberkati, untuk mengenang sewaktu Tuhan Yesus membagi roti sebelum disalib). Aturan ini masih dijalani oleh sebagian orang di beberapa negara seperti Yunani, Rusia, dan negara dengan mayoritas penganut agama Kristen Orthodox.
ADVERTISEMENT
Kemudian di agama Hindu, perempuan yang sedang menstruasi diharuskan mengikuti sejumlah aturan. Mulai dari tidak diperkenankan memasuki kuil, memasak, memakai bunga, berhubungan seks, hingga menyentuh laki-laki atau perempuan lain. Sementara di Nepal, seperti dilansir BBC, umat Hindu di Nepal secara tradisional memiliki peraturan untuk mengisolasi perempuan selama menstruasi. Mereka tidak diperbolehkan untuk berada di rumah selama tiga malam. Praktik ini telah dilarang oleh Mahkamah Agung Nepal pada 2005 silam, namun masih tetap berlanjut.
Perempuan di Nepal harus tinggal di Chhaupadi saat mereka menstruasi. Foto: Prakash Mathema/ AFP
Praktik ini disebut dengan Chhaupadi. Tradisi Chhaupadi melarang perempuan Hindu untuk berpartisipasi dalam kegiatan keluarga mereka selama menstruasi, karena dianggap tidak suci. Chhaupadi juga mengharuskan perempuan yang sedang menstruasi untuk tidur di gubuk bernama Chhau Goth yang terletak jauh dari rumah keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi perempuan Hindu di Bali, mereka memiliki aturan yang sama seperti di India. Mulai dari tidak sembahyang, tidak diperkenankan masuk ke pura, membuat banten (sajen), dan di beberapa kasus masyarakat, tidak diperkenankan masuk ke dapur.
Berbeda dengan pemahaman agama lainnya, ajaran Sikh (ajaran yang lahir di India) justru menganggap hal yang sebaliknya. Guru Nanak, pencetus ajaran Sikhism, mengutuk praktik memperlakukan perempuan sebagai seseorang yang tidak suci saat mereka menstruasi. Sehingga, tidak ada aturan apapun yang membatasi perempuan dalam beribadah, karena pada dasarnya menstruasi adalah proses ilmiah, dan bukanlah hal yang dianggap kotor bagi ajaran Sikh.
Upaya Melawan Stigma Negatif Terhadap Menstruasi
Film dokumenter Period. End of Sentence. memenangkan Oscars 2019. Foto: Netflix
Berbagai langkah dan gerakan pun mulai bermunculan untuk melawan stigma tabu tentang menstruasi. Yang baru-baru ini terjadi adalah momen membanggakan bagi Rayka Zehtabchi dan Melissa Berton yang berhasil meraih penghargaan berkat dokumenter pendek yang mereka buat di ajang penghargaan perfilman tertinggi Academy Awards.
ADVERTISEMENT
Selain berusaha menguak tabu, Period. End of Sentence. juga memperlihatkan bagaimana para perempuan di Hapur mulai mengenal pembalut sebagai penunjang saat mereka menstruasi. Beberapa dari mereka bahkan ada yang belajar membuat pembalut sendiri dan menjualnya secara komersial. Jadi, tak hanya sebagai langkah untuk memberikan edukasi bahwa menstruasi adalah hal yang alamiah, namun juga memberdayakan perempuan secara ekonomi.
Kabar baiknya lagi, dokumenter tersebut berhasil memberikan dampak positif bukan hanya pada perempuan Hapur saja, tapi komunitas di sana secara keseluruhan, termasuk laki-laki. Contohnya, mereka ikut mencoba membuat pembalut sendiri bersama para perempuan. Tentu, ini merupakan perubahan budaya yang baru terjadi di wilayah Hapur. Meski belum terbuka secara menyeluruh, namun proyek dan dokumenter tersebut memberikan pandangan baru tentang menstruasi kepada komunitas di Hapur.
Ilustrasi menstruasi Foto: Shutterstock
Selain Period. End of Sentence., ada juga dokumenter lainnya yang berjudul Period: The End of Menstruation. Kemudian seorang aktivitas yang juga feminis, Rachel Kauder Nalebuff, meluncurkan buku berjudul My Little Red Book. Buku tersebut merupakan rangkuman cerita-cerita tentang pengalaman menstruasi pertama para perempuan dari berbagai negara dengan beragam usia.
ADVERTISEMENT
Baik dokumenter, gerakan-gerakan sosial, buku, hingga kampanye tentang melawan tabu menstruasi, semuanya memiliki benang merah yang sama. Bahwa menstruasi hanyalah sebagian dari proses alami yang menandakan seorang perempuan telah memasuki masa pubertas dan beranjak dewasa. Sehingga, bukanlah sesuatu yang seharusnya tabu untuk didiskusikan. Bahkan, perempuan sepatutnya diedukasi tentang menstruasi sejak dini, agar mereka memahami cara mengatasi dan mengerti apa yang terjadi pada tubuh mereka sendiri.