Renitasari Adrian: Bermimpi Dunia Seni Indonesia Bisa Sehebat Broadway

18 April 2018 17:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Renitasari Adrian (Foto: dok. pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Renitasari Adrian (Foto: dok. pribadi)
ADVERTISEMENT
Di kalangan seniman dan budayawan Indonesia, nama Renitasari Adrian tentu tak asing lagi di telinga.
ADVERTISEMENT
Mojang Bandung berusia 44 tahun ini terkenal memiliki kecintaan mendalam terhadap budaya Indonesia. Secara khusus, Renita terpanggil untuk berkontribusi memajukan dunia seni pertunjukan teater Indonesia.
Karier cemerlangnya sebagai Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation membuktikan komitmen Renita. Dengan segenap waktu dan tenaga yang dimiliki, melalui Bakti Budaya Djarum Foundation, ia menggagas konsep Galeri Indonesia Kaya yang berlokasi di Grand Indonesia, Jakarta untuk mewadahi seniman teater Tanah Air agar terus berkarya.
Sepak terjang Renita sebagai seorang profesional, istri, sekaligus ibu memuluskan jalan co-host program televisi IDENESIA ini menerima berbagai penghargaan bergengsi. Renita terpilih sebagai Woman Of The Year 2016 oleh Herworld Indonesia, Women's Obsession Awards 2017 oleh Obsession Media Group.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ia berhasil menempatkan diri dalam daftar 10 Most Powerful Businesswoman ole majalah Indonesia Tatler. Ia bersanding bersama Menteri Susi Pudjiastuti, Imelda Harsono, Sonia Lontoh, hingga Grace Tahir.
Oleh karena kontribusinya yang luar biasa terhadap perkembangan budaya dan teater Tanah Air, kumparanSTYLE (kumparan.com) pun memilih Renita sebagai salah satu Kartini masa kini yang patut untuk dijadikan panutan.
Kepada kumparanSTYLE, Renita berbagi rasa cinta dan dedikasinya terhadap dunia seni pertunjukan dan budaya Indonesia. Ia juga berbagi mimpi besarnya agar dunia pertunjukan Indonesia tak kalah hebat dibanding Broadway dan bisa membangun sebuah gedung seni besar di Jakarta.
Simak perbincangan hangat kumparanSTYLE bersama Renitasari Adrian dalam program 'Inspirasi Kartini' berikut ini.
Renitasari (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Renitasari (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Sudah belasan tahun melanglang buana di dunia public relations (sempat bekerja di Hotel Panghegar dan Carlsberg), dan sekarang menjabat sebagai Program Director di Bakti Budaya Djarum Foundation. Apa yang sesungguhnya membuat Anda akhirnya terpanggil untuk bekontribusi melestarikan budaya Indonesia?
ADVERTISEMENT
Saya rasa kita semua sebagai warga negara yang baik, tentunya ingin Indonesia suatu hari jadi negara yang sangat kuat. Salah satu kekuatan yang tak pernah bisa hilang adalah budaya. Karena yang namanya minyak atau batubara, one day it's gonna be finish. Tapi yang namanya budaya akan tetap selalu ada. Cuma bagaimana caranya kita mengolahnya jadi kekinian. Tetap fresh dan dinikmati oleh anak muda.
Saya sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini, meski pada awalnya saya tercengang-cengang karena membayangkan bahwa saya harus belajar lagi tentang budaya Indonesia dari nol, seperti kita sekolah dulu.
Tapi di satu sisi saya merasa terpanggil dan merasa bersyukur untuk dipercaya menjalankan misi ini. Saya berusaha menyebarkan virus cinta budaya ini kepada semua orang yang saya temui. Kepada tim saya, kepada media, atau kepada siapapun yang saya temui. Karena, kalau bukan kita, siapa lagi?
ADVERTISEMENT
Kontribusi apa saja yang sudah Anda lakukan untuk melestarikan budaya Indonesia?
Fokusnya dari Bakti Budaya Djarum (yang saya kelola) memang di seni pertunjukan (teater). Mengapa? Karena sebuah seni pertunjukan akan melibatkan lintas profesi. Mulai dari penari, penyanyi, penulis skrip, teknis multimedia, dan segala macam. Jadi misinya bukan melestarikan budaya, tapi bagaimana supaya teman-teman seniman, khususnya di seni pertunjukan bisa mempunyai ruang untuk berekspresi. Jadi selain memberi tontonan yang menghibur masyarakat, tapi juga bernilai positif.
Kami membantu menyiapkan, memfasilitasi panggungnya, membantu mereka untuk mempromosikan acaranya, kami juga belajar mengemas sebuah tontonan jadi kekinian juga. Karena kita harus lihat kondisi sekarang ini, masyarakat suka yang keren-keren. Sementara budaya Indonesia ini kan sangat beragam. Kalau kita enggak pintar mengemasnya, ya akan jadi sesuatu yang usang. Ya balik lagi, ilmu saya dipakai untuk mengatur seni pertunjukan menjadi sesuatu yang menarik. Kami juga berusaha merangkul teman-teman seniman untuk bersama-sama memajukan dunia pertunjukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apa tujuan utamanya? Dan apa yang menjadikan seni pertunjukan Indonesia jadi begitu istimewa di mata Anda?
Yang lebih utama adalah ingin memberikan panggung. Karena kalau seniman tidak dikasih panggung, mereka juga tidak dapat income. Dari sana, yang senior juga bisa melakukan regenerasi terhadap junior, penonton yang tidak punya pengalaman menonton pertunjukan secara live jadi nonton. Karena film dan pertunjukan adalah dua hal yang berbeda. Film melalui proses editing, tapi pertunjukan itu now, live. Pada saat kita nonton pertunjukan, you can feel the music. Bahkan kalau ceritanya sedih kita bisa ikutan nangis.
Dari tahun 2010, kami banyak mendukung kelompok tari, seniman yang besar di Indonesia yang konsisten berproduksi. Teater Koma misalnya, sekarang usianya sudah lebih dari 35 tahun. Lalu ada lagi kelompok Mas Butet Kertaredjasa. Kelompok Mas Butet punya nama kegiatan 'Indonesia Kita', setahun bisa empat sampai lima kali pertunjukan. Lalu ada kelompok Titi Mangsa, kelompok Happy Salma, biasanya itu mengangkat dari sastra Indonesia. Lalu ada kelompok Mas Garin Nugroho juga, dan banyak kelompok seniman lainnya.
ADVERTISEMENT
Anda juga menjadi penggagas yang mendirikan Galeri Indonesia Kaya. Bisa cerita sedikit soal hal ini?
Ini merupakan baby project saya, bisa dikatakan sebagai ide saya dari nol yang terwujud dan bisa dinikmati oleh masyarakat. Saya memulai perencanaanya dari awal. Ide yang saya sampaikan ke Djarum Foundation ditanggapi dengan positif, mereka sangat mendukung apa yang saya sampaikan sehingga terciptalah ruang publik ini dari 2013. Setiap tahun sudah dikunjungi banyak orang. Tahun lalu saja sudah dikunjungi 450 ribu orang. Hampir setiap hari ada pertunjukan di sini, kalau Sabtu dan Minggu ada pertunjukan yang kami kurasi. Jadi dalam satu bulan kami sudah punya tema program yang mengangkat kepulauan-kepulauan yang ada di Indonesia. Kami juga mengangkat seniman daerah untuk bisa tampil di sini. Dan ini gratis. Yang nonton gratis, yang pentas mau pakai tempat ini juga gratis.
ADVERTISEMENT
Ada workshop tari juga setiap bulan, lima kali pertunjukan belajar menari langsung sudah bisa tampil. Yang ikut macam-macam, mulai dari ibu rumah tangga, pelajar, profesional, pekerja. Jadi tempat ini memang berfungsi sebagai ruang publik untuk masyarakat yang ingin memakai tempat ini untuk berkesenian.
Renitasari (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Renitasari (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Luar biasa. Setelah Galeri Indonesia Kaya, apakah ada rencana atau project lain?
Tahun ini Galeri Indonesia Kaya punya ‘adik,’, yaitu sebuah taman di Semarang yang difungsikan sebagai taman budaya. Namanya Taman Indonesia Kaya. Kami membangun sebuah panggung dengan konsep outdoor. Tanah itu milik pemkot Semarang, tapi kita bangun sehingga bisa jadi milik masyarakat Semarang. Untuk pertunjukannya akan kami kurasi dan insyaallah akan launching setelah lebaran. Nantinya juga akan dijadikan sebagai panggung untuk teman-teman seniman Jawa Tengah. Jadi mereka bisa manggung di sana dulu supaya punya kepercayaan diri untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Dari sana ke sini (Galeri Indonesia Kaya Jakarta), dari sini kita bawa ke panggung yang lebih besar seperti Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kalau New York bisa punya Broadway, harusnya Jakarta juga bisa. Apalagi orang Indonesia very talented. Suara bagus, tarian beragam banget. Kalau kita lihat di industri kreatif film Indonesia kan sudah maju, sudah mencapai jumlah penonton yang tinggi. Harusnya dunia pertunjukan suatu hari juga bisa begitu. But, it takes time. Yang namanya membangun itu kan enggak bisa instan.
Bagaimana pendapat Anda soal komposisi seniman di Indonesia? Sudah seimbang antara perempuan dan laki-laki?
Belum. Laki-laki masih tetap dominan. Pemain perempuannya bisa dikatakan itu-itu saja. Itu juga yang saya dan tim selalu pesankan agar jumlah penampil antara laki-laki dan perempuan kalau bisa harus seimbang. Banyak nama muda yang muncul di sini, tapi mungkin yang konsisten menekuni di jalur seni pertunjukan masih minim. Pemainnya masih itu-itu lagi.
ADVERTISEMENT
Apa yang jadi penyebabnya?
Mungkin dalam industri kreatif, kebanyakan yang muda-muda mencari jalan instan ke televisi, sinetron, atau film. Sementara dalam pertunjukan harus menghapal skrip berlembar-lembar dan harus tampil live, tidak ada editing. Jadi memang harus nyari yang benar-benar suka.
Secara nilai komersil, film dan pertunjukan juga sangat jauh. Karena itu, sekarang kami lagi mencoba menaikkan demand-nya. Penonton sama kita masih 'disuapin' gitu ya, supaya mereka senang nonton pertunjukan. Karena jika penonton semakin bertambah, permintaan juga naik, para pemain film akhirnya akan melirik dan tertarik untuk tampil di pertunjukan. Mereka bisa melihat ada masa depan di dunia pertunjukan.
Di Amerika karena Broadway sudah sangat maju, bukan hal yang gampang untuk bergabung dalam sebuah performing arts. Mereka harus melalui serangkaian tes untuk bisa tampil. Tapi di Indonesia kan belum sama situasinya.
ADVERTISEMENT
Ada program khusus yang Anda lakukan untuk mendukung seniman perempuan?
Saat ini kami memiliki program Ruang Kreatif yang sudah berjalan dari tahun lalu. Bentuknya adalah workshop dengan mentor seniman-seniman senior seperti Garin Nugroho, Ratna Riantiarno, Butet Kertaredjasa, Happy Salma dan Maudy Koesnaedi. Mereka melakukan coaching ke kelompok teater yang ingin ikut dari seluruh Indonesia. Pesertanya setiap tahun meningkat terus. Ada dari Papua, Lampung, Bali, Jogja. Jumlah perempuannya sih lumayan.
Dua tahun belakangan ini sudah terlihat peningkatannya. Yang pertama pesertanya di bawah 100, yang tahun terakhir sudah meningkat sampai lebih dari 300. Tapi saya belum cek jumlah perempuan dan laki-lakinya. Cuma secara kasat mata memang laki-laki lebih banyak.
Beralih sejenak soal gaya busana. Anda terlihat sangat mendukung karya-karya desainer Indonesia. Apa itu bagian dari pekerjaan Anda juga?
ADVERTISEMENT
Saya sangat bangga pakai produk lokal. Setiap ada teman desainer produk lokal yang minta bantuan saya sebagai host acara mereka, sebisa mungkin saya penuhi. Karena itu juga lama-lama sangat lekat dengan imej ‘Indonesia Banget’ dan memang sudah seharusnya kita bangga dengan karya Indonesia.
Namun meski saya selalu mengedepankan pakaian buatan Indonesia atau kain Indonesia sebagai pakaian utama, saya juga tidak memungkiri bahwa saya sering pakai aksesori seperti tas merek internasional. Jadi seperti makanan, pakaian Indonesia adalah main course, aksesori sebagai dessert.
Bagaimana cara Anda untuk menjaga diri agar tetap humble dan tidak cepat berpuas diri?
Saya menjalani hidup benar-benar apa adanya. Saya bukan orang yang ambisius. Sebenarnya tidak mengejar karier dan dari dulu tidak pernah bercita-cita jadi perempuan karier. Awalnya bekerja karena terpaksa karena situasi saya sebagai single parent untuk 2 orang anak, saya tidak punya pilihan. I have to work. Alhamdulillah, dalam pekerjaan, Allah sayang sekali sama saya. Saya tidak terlalu dikasih rintangan terlalu banyak. Namun dalam perkawinan, saya sempat menjalani hal yang tidak seberuntung orang lain.
ADVERTISEMENT
Saya jalani semuanya, let it flow. Karena anak harus sekolah, kita harus bertahan hidup, dan karier membawa saya ke titik ini. Ini semua tidak saya rencanakan. Buat saya (semua pencapaian) ini hanya reward dari Allah karena kesabaran dan kesungguhan saya selama ini bekerja pakai hati.
Renitasari (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Renitasari (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Di usia 44 tahun ini Anda masih kelihatan awet muda dan fit. Ada tips khusus untuk jaga kebugaran dan kecantikan?
Soal fit, saya suka iri sama teman-teman yang bisa punya waktu ke gym, dan bisa posting foto pose yoga.
'Enak banget sih lo', saya bilang begitu sama mereka. I don't have time. Tapi ya sudahlah, ya. Dalam hidup kan kita tidak bisa memiliki semuanya. Jadi tips saya sih be happy saja. Bahagia. Bahagia itu gratis.
ADVERTISEMENT
Tiap pagi saat bangun tidur saya minum air putih yang banyak. Dalam hati saya bertekad apapun yang terjadi hari ini, mau di jalanan macet, mau di kantor menemukan hal yang tidak enak, I have to be happy. That's it.
Sekarang sih di rumah ada alat gym untuk latihan cardio. Saya kadang treadmill 10 menit- 15 menit. Kalau akhir pekan yang kecil mau diajak olahraga bareng, ya kami keliling komplek naik sepeda. Tapi tetap, yang paling utama dari hati, sih. Harus happy.
Bagikan resep bahagia dan hidup positif ala Renitasari Adrian, dong.
Saya orang yang nrimo, sih. Dari dulu saya percaya happiness dan kesedihan itu seperti koin. Dua sisi, bisa kapan saja senang, bisa kapan saja sedih. Jadi kita harus jalani dan terima. Karena saya percaya sekali Allah sudah menyiapkan rencana yang baik untuk kita semua. Pada saat kita dikasih ujian, kita harus lewati ujian itu, badai berlalu nanti akan ada matahari, pelangi. Tapi kalau ada badai lagi, kita harus bisa lebih kuat. Karena kita sudah melewati badai yang sebelumnya. Saya katakan hal seperti itu juga ke anak-anak saya.
ADVERTISEMENT