Kisah Deka yang Memilih Hidup Tenang Tanpa Media Sosial

27 April 2019 11:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Produser TV, Dian Eka. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Produser TV, Dian Eka. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Long dress warna pastel yang anggun sudah dipakai oleh Dian Eka. Dia dandan maksimal. Di Minggu sore itu, Deka ini ada janji arisan dengan teman-temannya di sebuah restoran di kawasan Sudirman, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Deka menyapa dua temannya yang tiba lebih dulu. Teman-teman menyambut hangat. Mereka berbincang santai, tapi, perbincangan awal itu berlangsung hanya beberapa saat, karena dua teman melanjutkan kesibukannya dengan smartphone untuk mempublikasi foto-foto yang baru diambil. Termasuk, foto makanan.
Deka memilih menikmati makanan yang sudah ada di meja. Ia jauh dari kesibukan mengedit foto, menulis caption, dan terus-menerus membuka smartphone untuk melihat respons pengguna media sosial seperti Like, Comment, atau tambahan Follower.
Jalan yang dipilih Deka terkait media sosial berbeda dengan teman sebayanya. Ia tidak menggunakan media sosial. “Waktu zaman muda dulu, zaman SMA, SMP, kuliah, zaman-zamannya media sosial kaya Friendster, Twitter, Facebook tuh mulai booming, enggak pernah tertarik sih,” ungkapnya kepada kumparan, Minggu (21/4).
Produser TV, Dian Eka. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Deka melawan arus. Bagi generasi milenial, media sosial sudah menjadi kebutuhan hidup untuk menunjukkan eksistensi sampai sekadar untuk menghabiskan waktu. Fenomena ini memunculkan pelesetan "sandang, pangan, casan," yang merepresentasikan kebutuhan milenial terhadap sumber listrik untuk mengisi daya baterai smartphone. Salah satu aktivitas utama yang dilakukan milenial di smartphone, tentu saja berselancar di media sosial.
Dalam riset Global Digital Reports 2019 yang dirilis oleh platform analisis HootSuite dan agensi pemasaran We Are Social pada akhir Januari 2019, penduduk Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 3 jam 26 menit untuk aktif di media sosial.
Menahan diri dari bayang fana media sosial
Bagi Deka, tidak ada yang salah dengan keputusannya hidup tanpa media sosial. Ia tetap bekerja, berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya, serta pergi liburan tanpa harus memikirkan harus posting foto apa. “Fine-fine saja, sih. Maksudnya, semua menyenangkan-menyenangkan saja,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Ada prinsip yang dipegang Deka untuk memilih tidak ikut terhanyut dalam gemerlapnya dunia media sosial: tidak semua hal dalam hidupnya harus disebar ke banyak orang, dan ia tidak mau mengikuti orang lain yang menggangap media sosial itu sebagai tempat membangun citra.
Perempuan 34 tahun ini merasa beruntung tidak terjebak dalam candu media sosial, apalagi kecanduan membuka media sosial dalam durasi yang panjang sampai buang waktu sia-sia. Dia pun jauh dari kesibukan membandingkan dirinya dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian dalam jurnal berjudul "Current Directions in Psychological Science”, psikolog dari Duke University, Jenna Clark, menemukan bahwa media sosial telah dipandang sebagai sarana perbandingan diri. Hal ini membuat pengguna media sosial bisa menjadi pribadi yang iri, dan sering membandingkan kehidupan dengan orang lain.
Produser TV, Dian Eka (kanan) saat makan malam bersama keluarga. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dengan prinsip tidak menggunakan media sosial, Deka lebih memilih bertemu langsung dengan orang yang ingin mengenal dirinya, tanpa harus melihat media sosial. Coba saja ketik nama Dian Eka di mesin pencarian Google. Viola, tidak satu pun jejak digitalnya terpampang dalam hasil pencarian “mbah” Google yang dikenal tahu segalanya.
ADVERTISEMENT
Menolak anti-media sosial
Pilihan Deka untuk tidak menggunakan media sosial tidak lantas membuatnya menjadi anti-media sosial. Deka sadar betul bahwa media sosial adalah suatu alat yang harus dia pakai untuk menunjang pekerjaannya sehari-hari sebagai jurnalis di divisi hiburan.
Ia tetap memiliki akun media sosial untuk memantau tren dan lalu lalang informasi yang bertebaran. Akun Instagram ini dibuat secara paksa oleh teman-temannya. Akun tersebut tidak secara berkala mempublikasi konten dan sampai sekarang belum ada konten apa pun di sana.
“Kadang-kadang, ya, stalking-stalking dikit. Buat cari informasi yang update di dunia hiburan,” katanya.
Deka juga tidak menampik jika di masa depan, mungkin saja dirinya akan aktif menggunakan media sosial. Godaan untuk mengunggah sesuatu dan berbagai kepada orang lain di media sosial juga pernah dirasakannya.
Produser TV, Dian Eka (kedua kanan) saat swafoto bersama keluarga. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut Sosiolog Roby Muhamad, saat ini manusia memang kodratnya sudah tidak bisa lepas dari media sosial. Dari sisi kebutuhan, media sosial sudah menjadi wadah pas yang untuk memenuhi kebutuhan psikologi manusia, baik informasi, legitimasi, dan aktualisasi diri.
Di sisi lain, manusia punya sifat dasar untuk memperhatikan orang lain. Media sosial kemudian bisa jadi tempat untuk saling menonton di antara manusia ini.
Media sosial sudah mengambil posisi menyediakan kebutuhan manusia akan informasi yang bisa diperoleh dengan cepat, gratis, dan dalam jumlah banyak. Tetapi di sisi lain, menurut Roby dari sudut pandang sosiologi, menggunakan media sosial ini tidak melahirkan jaringan sosial baru. Ia hanya memindahkan satu bentuk interaksi ke medium yang lain.
Ilustrasi sosial media. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Teknologi media sosial kemudian juga memberi kontribusi ekonomi bagi sejumlah pihak. Individu yang pandai membangun personal branding dapat menghasilkan banyak uang dari media sosial. Platform ini juga dimanfaatkan korporasi untuk memasarkan produk atau jasanya.
"Teknologi enggak bisa selalu disalahkan. Tentu ada pro-kontra. Kita jangan lupa berapa banyak orang yang tertolong banyak dari media sosial terutama soal ekonomi. Berapa dampak ekonomi yang ditimbulkan dari sana meningkatkan penghasilan. Orang pikir, ya, narsis-narsis saja, tetapi ini menurut sebagian orang adalah mata pencarian," tutur Roby.
Kembali ke riset Global Digital Reports 2019. Dari total 268,2 juta penduduk di Indonesia pada tahun 2018, ada sekitar 150 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasi media sosial sudah sangat tinggi sekitar 56 persen.
ADVERTISEMENT
Deka mungkin menjadi bagian 44 persen orang yang belum atau tidak secara aktif menggunakan media sosial. Media sosial baginya bukan musuh. Ia masih bersentuhan dengan media sosial. Dia hanya memilih untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Secara tatap muka. Itu membuat Deka bahagia.
Simak ulasan lengkap konten spesial Melawan Candu Media Sosial di kumparan dengan topik Melawan Candu Media Sosial