Atmosfer Italia di Gondola Ride, The Venetian Macao

14 September 2019 15:39 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Langit-langit digambari awan cerah tapi tidak panas karena di dalam ruangan ada AC. Foto: Tio/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Langit-langit digambari awan cerah tapi tidak panas karena di dalam ruangan ada AC. Foto: Tio/kumparan
“Gimana Macao? Mana oleh-olehnya?”
Sudah biasa bagi mereka yang baru pulang bepergian, terlebih dari luar negeri, menerima pertanyaan-pertanyaan zalim nan tak tahu diri macam itu. Entah apa yang salah pada kepala orang-orang Indonesia. Menanyakan kabar, pengalaman, atau menyenangkan-tidaknya perjalanan temannya selalu jadi nomor dua setelah pertanyaan soal oleh-oleh.
Menyebalkan, memang, tapi sudah biasa. (Soal budaya minta oleh-oleh yang bikin repot ini bisa kamu baca di sini)
“Ha! Enak saja,” jawabku sambil mengelus-elus pelipis, sama sekali tak memandangnya. Saat nongkrong di sela-sela jam istirahat kantor ini, mataku biasa tak lepas dari layar handphone. Aku tahu itu kebiasaan buruk, mengobrol tanpa melihat lawan bicara dan malah menonton layar handphone, tapi ada hal lain yang kupikirkan—MU kapan menangnya sih?
“Lah, lu kagak bawa apa-apa?” tanya sahabatku itu.
Johanes namanya. Merepotkan sekali dia ini. Mungkin mulai sekarang statusnya kuturunkan jadi “teman” saja alih-alih “sahabat”.
“Emang mau bawa apaan?" jawabku asal saja. Sebetulnya, banyak hal bisa dibawa jadi oleh-oleh. Aku malas saja.
Johanes klepas-klepus saja di beranda kantor. Rokok filter putih di sela-sela jempol dan telunjuknya digulung-gulung, macam takut papirnya lepas dan dedaunan kering di dalamnya ambrol sedikit-sedikit. Ia geleng-geleng, sadar temannya ini masa bodoh dengan konsep oleh-oleh. “Emang di Macao kagak ada apa-apaan? Yang lucu gitu kek.”
Mataku baru lepas dari layar handphone.
“Nah,” aku mulai menyeringai, “kalau yang lucu ada.” Aku tahu yang dia maksud dengan lucu dan yang kumaksud dengan “lucu” berbeda. Aku tak ambil pusing.
“Lu pernah denger ada orang Italia namanya Gregory?”
Replika Venesia di dalam Venetian Macao. Foto: Tio/kumparan
Macao sebenarnya kecil saja. Kecil sekali, malah. Luas totalnya cuma 115 kilometer persegi. Jakarta Selatan saja luasnya 141 kilometer persegi. Padahal, penduduk Macao luar biasa besar untuk luas sekecil itu, yaitu sekitar 671 ribu orang (awal 2019). Jumlah penduduk yang besar dan luas yang kecil itu membuat Macao menyandang status daerah terpadat di dunia.
Meski kecil, Macao menyimpang banyak sekali hal untuk bisa ditemukan. Apabila Macau yang menempel pada China daratan di utara banyak menawarkan repertoar memori masa lalu, Macau di bagian selatan (Taipa, Coloane, dan Cotai) menampilkan lebih banyak gemerlap hura-hura masa kini dan janji kemewahan di masa depan. Semua serba besar, serba mewah, dan kadang-kadang terasa berlebihan.
Tentu saja yang paling terkenal adalah sederet hotel dan pusat hiburan yang hampir selalu ada di setiap resort. Setidaknya, terdapat enam grup utama yang memiliki resort-resort di Macao, seperti:
Namun, selain daya tarik pusat hiburan, pusat perbelanjaan dan resort-resort yang ada di Macao juga terus tampil ekstra untuk merebut perhatian wisatawan yang berkunjung.
Wynn Palace di Cotai Strip, misalnya. Untuk menarik lebih banyak pengunjung, Wynn Palace menyediakan cable car sebagai akses masuk gratis pengunjung pejalan kaki. Dalam lima menit waktu di cable car, pengunjung bisa sekalian menikmati pertunjukan air mancur yang digelar pada beberapa waktu tertentu.
Selain Wynn, dua yang paling terkenal dalam menyajikan wahana untuk wisatawan, bisa dibilang, adalah Parisian dan Venetian Macau. Untuk Parisian, kamu akan disuguhkan pemandangan Menara Eiffel mini, separuh tingginya dari yang ada di Paris, yang dapat kamu masuki sampai ke puncaknya di lantai 37. Menara ini buka setiap hari dari pukul 11.00 hingga 23.00 waktu setempat, dengan harga tiket 108 MOP (Macanese Pataca) atau senilai Rp 195 ribu.
Sementara itu, Venetian Macau, yang lebih dahulu masuk ke benak orang-orang Indonesia karena jadi tempat syuting Meteor Garden, menjadikan gondola ride ala Venesianya sebagai daya tarik utama.
Saat menyusuri sungai di dalam gedung Venetia Macau dengan gondola, kamu akan dipandu oleh seorang gondolier berkostum lengkap dengan kaus belang-belang dan topi jerami. Tiket naik per orang dewasa senilai 135 MOP, atau hampir Rp 240 ribu.
Di situlah, pada gondola ride yang bergoyang kiri kanan macam mau limbung itu, pertemuanku dengan Gregory si Italia ganjil itu terjadi.
Pak Gregory sedang hepi. Foto: Tio/kumparan
“Gregory bukan nama Italia, kali,” sambar Johanes.
Seringaiku semakin lebar. “Persis, Jo. Persis. Lu pinter juga kadang-kadang,” Johanes mengumpat pelan melihatku tertawa.
Pertengahan bulan lalu, aku bersama lima wartawan dari Indonesia berkeliling di Kota Macao selama lima harmal lewat undangan dari Macao Government Tourism Office (MGTO) Indonesia. Pada hari ketiga, kami mencoba wahana gondola ride yang memang jadi daya tarik utama Venetian Macau.
Setelah membeli tiket, kami mengantre di barisan di depan butik di Gondola Shop nomor 832. Di situ, saat mengantre, seorang gondolier laki-laki berkulit putih yang tampak berumur akhir 40-an itu menyapa kami.
Ciao!
Kami yang kikuk menjawab halo hai hey dengan bersahut-sahutan. Untungnya, Anggoro, PR and Communications MGTO yang turut menyertai kami, sigap bertanya ke si gondolier tadi.
Hei, what’s your name?
My name’s Gregory.”
Oh, Gregory. Where are you from? Not Italy, eh?”
Sadar atau tidak, mungkin karena senewen kami ragukan ke-Italia-annya bahkan sebelum naik gondola, volume suara Pak Gregory sedikit mengencang, “Of course I’m from Italy!” Kemudian ia mulai meracau, buon giorno dan bla bla bla dalam bahasa Italia.
Baiklah, Signore Gregory, kami paham maksud Anda. Kemudian, salah satu dari kami bertanya pada Fok Constantino, tour guide kami selama di Macao yang selalu ikut ke mana pun kami pergi.
Is he really Italian?
“Nah,” mukanya memberengut, mencibir, “That’s b******t. Maybe he’s from Russia. So many here.”
Wisatawan dari Indonesia berfoto dengan Pak Gregory yang mengaku sebagai orang Italia. Foto: Tio/kumparan
Johanes tampak tak puas dengan ceritaku. Rokoknya yang baru habis separuh ditandaskannya ke asbak. Sejurus kemudian, ia menyulut lagi rokok yang baru. Kelakuan orang memang aneh-aneh.
Fyuuh, asap dikeluarkannya dari hidung. “Tapi kenapa lu bisa yakin dia bukan orang Italia? Maksud gue, iya sih Gregory bukan nama khas sana. Cuma, bisa aja kan?” tanya Johanes lagi. Sudah Johanes, wartawan pula. Sudah merepotkan, banyak tanya pula. Aku tahu ia tak akan berhenti bertanya sebelum ceritaku memuaskan.
“Ada lagi, Jo.”
Kami sudah berada di atas gondola. Satu perahu kecil itu bisa muat bertujuh. Meski seperti didorong dengan tongkat oleh si gondolier, perahu jelas meluncur menggunakan tenaga mesin—aku bisa mendengar suaranya samar-samar.
Beberapa menit berlalu, Signore Gregory mulai mengeluarkan trik andalannya untuk menghibur wisawatan. Dengan tongkatnya, Gregory yang berdiri mulai mengayun-ayunkan tubuhnya. Sekonyong-konyong, perahu kecil itu mulai goyang kiri kanan macam mau terjungkir.
Kami yang kaget mulai berteriak kecil, khawatir. Gregory tertawa-tawa. Rombongan kami juga ikut tertawa, layaknya bilang pada Signore Gregory, “Ah, bisa saja kau, Pak Tua.”
Semua gembira. Kecuali aku. Bayangan tertungging padahal tak bisa renang dan membuat kamera pinjaman yang kubawa tercelup air Macao sungguh tak menyenangkan. Aku coba bertanya untuk mengalihkan si Gregory sialan itu dari trik kampungannya.
Hei, Gregory. Why do they throw money into the river?” tanyaku. Rombongan yang sedari tadi juga mengamati bahwa di lantai sungai buatan itu terdapat banyak sekali koin, bahkan uang kertas, jadi ikut mendengarkan.
Gregory, sambil dengan tongkatnya mengarahkan laju perahu, menjawab, “If you have a lot of money, you can throw your money into the river too.” Maksudnya, orang kaya mah bebas.
Menyebalkan betul si Gregory ini. “So no reason, eh?
They make a wish. Maybe they wish they can see me again,” jawabnya, yang diikuti tawa lepas macam dia makhluk paling tampan di dunia. Seketika, mukanya yang bahagia itu terlihat jelek sekali.
“Trus, hubungannya sama dia orang Italia beneran apa bukan di mana?” Johanes terus mendesak. Tak sabaran sekali, aku belum selesai bercerita. Statusnya kini kuturunkan jadi “kenalan”. Aku tak mau punya “teman” macam dia.
“Sebentar dong!”
Uang logam dan kertas yang dibuang wisatawan ke sungai di dalam Venetian Macao Foto: Tio/kumparan
Selain trik goyang-goyang-mau-tenggelam dan jokes-jokes-nya yang tak lucu itu, pengalaman gondola ride di Venetian Macao sebetulnya cukup menyenangkan.
Kamu bisa menjelajah sebagian Venetian dengan perahu, memandangi langit artifisial yang digambari awan dan diberi pendar cahaya dengan cantik, dan kau mengambil beberapa foto yang bisa diunggah ke Instagram.
Bahkan, pada paruh akhir perjalanan, si gondolier di perahumu akan bernyanyi dan coba menghiburmu dengan suara baritonnya yang khas.
Signore Gregory bahkan menyanyi dua lagu di perahu kami. Satu lagu berbahasa Italia yang aku tak bisa pahami dan satu lagi, setelah ia tahu bahwa kami dari Indonesia, adalah…Sempurna dari Andra and the Backbone.
Lagu Sempurna tadi menyeret obrolan rombongan kami dan Gregory kembali ke persoalan daerah asal. Mulanya kami ganti bertanya pada dia, pernahkah dia ke Indonesia, yang dijawab dengan “belum”. “Tahu dari mana lagu Sempurna?” Dia tak jawab.
Kemudian salah satu dari rekan seprofesi kami, Willy, bertanya, kurang lebih, “Pak Gregory Italianya mana?”
I’m from Florence!” katanya.
“Oh, Fiorentina!” Satu orang lain berteriak. Maksudnya ACF Fiorentina, tim bola dari Florence yangberseragam ungu-ungu dan jarang juara itu. Gregory diam saja.
“Batistuta! Batistuta!” seru salah satu dari kami. Gregory masih diam saja. Kami mulai curiga. Orang Florence diam saja soal Gabriel Omar Batistuta?
Kemudian, Willy yang masih belum puas karena kecintaannya pada sepak bola Italia terusik, kembali bertanya. Gigih, dia ini. “Del Piero? Del Piero?” Gregory buang muka.
Do you know Del Piero, Gregory?” Willy bertanya lagi, ia tampak mau sedikit geleng-geleng tapi berhasil menahannya.
Who is he?
Ah.
He’s footballer from Italy! He’s very famous even in our country!” Kami mulai bersungut-sungut.
Signore Gregory, sambil masih berpura-pura mendorong perahu dengan tongkatnya, menjawab pelan saja. “Ah, I don’t know. I’m more a music man myself, no much football.”
Kami mencak-mencak, tapi diam saja daripada ditenggelamkan.
Venetian Macau, tempat si Gregory bekerja. Foto: Wikimedia Commons
“Sampah!” gantian Johanes yang bersungut-sungut. “Mana ada orang Italia nggak tahu Del Piero?”
Persis, Jo. Persis. Kenalanku ini pinter juga kadang-kadang.