Macao, di Mana Timur dan Barat Bertemu

6 September 2019 17:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Riuh wisatawan di Reruntuhan St. Paul. Destinasi wajib saat kamu jalan-jalan ke Macao. Foto: Tio/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Riuh wisatawan di Reruntuhan St. Paul. Destinasi wajib saat kamu jalan-jalan ke Macao. Foto: Tio/kumparan

Enam malaikat kecil bermain-main di antara manis bunga krisan dan peony. Enam singa mengaum di sudut rumah Bunda Maria.

This is Macao,” Fok Constantino memulai ceramahnya, “where East meets West.”
Sepanjang akhir pekan lalu, atas undangan dari Macao Government Tourism Office (MGTO), kumparan berkesempatan untuk menjelajah dan melihat langsung pesona wisata yang ada di Macao selama lima hari lima malam lamanya.
Pada hari pertama, Sabtu (24/8), kami berjalan kaki mengunjungi hampir 18 destinasi wisata; dari Mount Fortress, kemudian turun ke barat laut menuju reruntuhan St. Paul, menuju Kuil A-Ma di barat daya, kemudian kembali menuju utara melewati Moorish Barrack, Gereja St. Augustine, dan mengakhiri lebih dari 15.000 langkah kaki di Gereja St. Joseph pada Rua (Jalan) de Seminario.
Fok adalah tour guide kami di Macao. Ia warga Macao sedari lahir, namun juga punya kewarganegaraan lain yaitu Portugal. Kewarganegaraan ganda adalah hal yang lumrah bagi Macanese, warga Macao yang punya darah turunan China plus Portugis yang menduduki Macao sejak abad 16.
Di mana Timur dan Barat bertemu? Hm, klise sekali, pikir saya.
Slogan “where east meets west” tentu bukan milik Macao semata. Hal yang sama dikatakan pada Istanbul. Pula pada Hong Kong. Pula Azerbaijan. Saya curiga, dengan pelayaran ratusan tahun yang dilakukan bangsa Eropa ke hampir semua bangsa di belahan Timur Jauh selama ratusan tahun, jangan-jangan semua orang di mana sejarah Eropa masih terasa dan budaya lokal kembali menyeruak bisa mendaku bahwa “di mana Timur dan Barat bertemu” adalah milik mereka.
But clichés became clichés for a reason. Klise bisa menjadi sebuah klise, Terry Pratchett—rekan Neil Gaiman dalam menulis Good Omens yang juga novelis Inggris dengan lebih dari 45 karya—bilang, karena “...they are the hammers and screwdrivers in the toolbox of communication.” Klise selalu digunakan dalam berbagai model komunikasi. Dan mengapa mereka selalu digunakan? Lebih sering daripada tidak, karena mereka mengandung sebuah kebenaran.
Bangunan bergaya Portugis di Macao. Foto: Tio/kumparan
Misalnya saja: ketika kamu menjejakkan kaki di, katakanlah, antara satu dari 66 anak tangga menuju Reruntuhan Gereja St. Paul. Kamu yang jengah dengan ramai orang yang terlalu sibuk ber-selfie ria, memilih mendekat dan mengamati bagaimana detail pahatan-pahatan di façade berusia 370 tahun itu. Jika jeli, kamu akan menemukan bahwa “pertemuan antara Timur dan Barat” yang diulang-ulang itu bukan cuma omong kosong pemandu wisata semata.
Reruntuhan Gereja St. Paul bisa dibilang adalah tengara paling penting dan paling terkenal bagi pariwisata Kota Macao. Gereja itu dibangun dalam waktu 38 tahun, dari 1602-1640 oleh pendeta-pendeta Jesuit yang mengembara ke Timur Jauh untuk menyebarkan ajaran Katolik. Dibangun di atas sebuah bukit di balik Mount Fortaleza, bangunan St. Paul merupakan gereja terbesar di Asia saat itu, membuatnya mendapat julukan “Vatikan dari Timur Jauh”.
Sayangnya gereja yang dipercaya didesain pastur Jesuit dari Italia bernama Carlo Spinola itu terbakar di malam nahas pada 1835. Saat itu taifun besar tengah melanda Macao dan petir yang menyambar membumihanguskan struktur gereja yang sebagian besar terbuat dari kayu. Kini yang tersisa hanyalah 66 buah lantai granit dan sebuah façade indah yang terbagi menjadi lima jenjang.
Façade St. Paul. Kau bisa lihat kepala singa China di sudut-sudut facade, juga Maria berpedang yang melawan naga berkepala tujuh. Foto: Tio/kumparan
Pada puncak façade, sebuah patung merpati dikelilingi pahatan matahari, bulan, dan bintang menjadi simbol roh kudus. Di bawahnya, sebuah patung Yesus dikelilingi pahatan batu dari elemen-elemen penyaliban, macam tiang, paku, cambuk, sampai mahkota duri.
Pada jenjang ketiga, di bawah patung Yesus, Bunda Maria berdiri dikelilingi enam malaikat, dan diapit oleh bunga peony dan bunga krisan. Sementara di jenjang kedua, dipahat besar-besar empat dokter Jesuit termasuk St Ignatius Loyola, salah satu pendiri Ordo Jesuit.
Selain semua detail tersebut, satu hal menjadi perhatian khusus, yaitu pertumbukan pengaruh Eropa dan Asia. Selain pahatan dari unsur-unsur Injil, terdapat pula simbol-simbol China seperti enam patung singa China; sosok Maria yang melawan naga berkepala tujuh; bunga peony yang melambangkan China dan bunga krisan yang melambangkan Jepang; serta sebuah galleon Portugis.
Hal tersebut sebetulnya tidak mengejutkan. Selain Spinola yang mendesain gereja secara keseluruhan, dalam pembuatan dekorasi façade, Portugis mengikutsertakan tenaga dari Jepang dan China.
Pada mulanya adalah perjalanan Jesuit ke Timur Jauh sendiri. Pastor Jesuit, macam Matteo Ricci, memang berhasil masuk ke China bahkan ke wilayah Kota Terlarang. Meski begitu, penyebaran Katolik oleh Jesuit secara umum sangat terganjal dan bisa dikatakan gagal total di China daratan. Maka dari itu, kebanyakan misi Jesuit di abad ke-16 lebih banyak bergerak ke Jepang.
Sisa meriam di Mount Fortress, Macao. Daratan China menyembul di antaranya. Foto: Tio/kumparan
Namun, seperti halnya alur episode sejarah yang tak terduga, penyebaran Kristen di Jepang juga mengalami hambatan. Dikutip dari Macao Magazine, pada 1587, Shogun Jepang Toyotomi Hideyoshi mengusir keluar kelompok misionaris, termasuk menyalib 26 orang Kristen di Nagasaki.
Secara bertahap, Kekristenan dilarang pada 1612 dan sekitar 40 ribu Kristiani dibunuh pada pemberontakan Tokugawa. Hal ini mendorong gelombang besar pengasingan yang banyak menjadikan Macao sebagai tujuan mengungsi. Dari sinilah para pengrajin dan pekerja seni asal Jepang yang bekerja dalam pembuatan St. Paul berasal.
“Bersama para pengungsi Jepang datang pula Giovanni Cola, seorang Jesuit yang menjadi guru seni di Jepang. Meski memang kita tidak tahu secara pasti apa yang dilakukan pengrajin Jepang dalam pembuatan gereja,” ujar Cesar Guillen Nunez, akademisi asal Panama yang telah tinggal di Macao lebih dari 20 tahun.
"Mungkin desain bunga-bunga dilakukan orang-orang Jepang. Pula empat patung—Yesus, Bunda Maria, empat pastor Jesuit, dan burung sebagai simbol Roh Kudus—mungkin dibuat oleh pemahat China ataupun Jepang,” sambungnya. Guillen juga pernah menulis Macao’s Church of Saint Paul, A Glimmer of Baroque in China (2009), sebuah karya autoritatif soal sejarah gereja St. Paul.
Di Macao, penunjuk jalan wajib punya tiga bahasa. China, Portugis, dan tentu saja, Inggris. Foto: Tio/kumparan
Façade St. Paul bukanlah satu-satunya aroma Eropa yang masih tersisa di udara Macao. Beragam arsitektur bergaya Eropa lain sangat lekat di beberapa titik lain. Misalnya saja bangunan-bangunan di Senado Square dan St. Lazarus Quarter yang masuk dalam UNESCO World Heritage pada 2005.
Gaya arsitektur neoklasik Eropa juga terlihat di beberapa rumah kuno yang masih dijaga dan dipergunakan sebagai museum di Taipa Village. Selain itu, apabila kamu menjatuhkan pandangan ke bawah di sekitaran lapang Senado, kamu akan melihat motif mosaik bergelombang yang amat mencolok yang ternyata lazim di daerah-daerah Portugis macam Lisbon.
Dulunya, penggunaan mosaik bergelombang ini memanfaatkan tembikar dan vas-vas yang pecah dalam pelayaran kapal mereka—dari dan menuju Macao.
Mosaik khas Portugal di Senado Square di Macao. Foto: Tio/kumparan
Yang terakhir, tentu yang tak boleh dilewatkan, adalah kuliner khas Portugis di daerah administratif khusus China tersebut. Apalagi kalau bukan penganan yang turun dari surga: Egg Tart Portugis!
Candu egg tart di Lord Stow's Bakery di Macao. Enak! Foto: Tio/kumparan
Resep Egg tart Macao dibuat berdasarkan pastel de nata, penganan tradisional Portugal yang dibawa salah seorang apoteker Portugis yang kangen pada kudapan negeri asalnya. Satu yang paling terkenal—dan terjamin halal—adalah produk Lord Stow Bakery di Pulau Coloane dengan harga 10 MOP (Macanese Pataca), atau sekitar Rp 17.500 per butirnya.
Tentu, itu semua tadi belum segala berbau Eropa yang terdapat di Macao. But you get the idea: the idiom “a place where East meets West” perhaps suits Macao afterall.