Di Taipa House, Macao, Si Pengembara Menemukan Gemerlap Kota

18 September 2019 17:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Wanderer di Taipa House, Macao Foto: artmacao.mo
zoom-in-whitePerbesar
The Wanderer di Taipa House, Macao Foto: artmacao.mo
Kau sedikit tergagap saat mereka mengajakmu turun dari minibus. Dalam 15 menit perjalanan tadi, dari Coloane menuju Taipa, lehermu lunglai dan yang disangganya cuma menyender saja ke kaca.
Sejuk pendingin ruangan dan hujan di luar menculik pikiranmu. Keduanya mengajak khayalmu berkelana ke secangkir teh hangat di teras, terjun bebas ke dalam kuah soto favoritmu di Tanjung Barat, menjatuhkanmu pada padang berangin yang samar-samar kau ingat dari lembah Saladah. Lalu gerimis.
Kepalamu basah dan kau tersadar dan dari sebuah kelana kau turun pada kelana lainnya. Satu rekan menepuk pundakmu, memberi tahumu untuk berhati-hati karena jalan licin dan kau masih harus berjalan sekitar 300 meter. Kau sebenarnya sudah tahu karena jalan berbatu itu masih basah dan sepatumu berdecit-decit protes tak terbiasa kena air.
Yang kemudian menyambutmu adalah laki-laki kurus bertopi bowler yang tampak salah kostum di Macao yang lembap. Tubuhnya yang sedikit bungkuk terbalut mantel gelap yang ditutup rapat hingga menyisakan simpul dasi saja di bawah leher. Kau berjalan dan laki-laki yang sama hadir kembali. Kau beranjur dan yang kau temui masih laki-laki dengan figur yang sama.
Belakangan, kau tahu mereka adalah laki-laki yang berbeda.
—— Yang kau temui pertama mungkin adalah Alberto Caeiro, penyair kampung yang tak kenal pendidikan yang menumbuhkan gagasan-gagasannya dalam bait-bait bebas;
—— Yang kedua mungkin adalah Ricardo Reis, fisikawan pecinta Horace yang menulis ode-ode formal segala rupa dari rumus di kepalanya;
—— Bisa jadi yang ketiga Alvaro de Campos, teknisi kapal yang tinggal di London dan memuja Walt Whitman;
—— Juga mungkin saja yang keempat atau di antara deret-deret figur laki-laki keras dari fiber itu adalah Rafael Baldaya, astrolog sekaligus penulis buku “Kitab Penyangkalan” dan “Prinsip Metafisika Esoterik”.
—— Atau mungkin saja 72 nama lain, yang bekerja sebagai penerjemah, sosiolog, filsuf, atau apa saja. Mereka semua berdiri menunduk, laki-laki kurus dengan topi bowler yang tampak salah kostum di Macao yang lembap.
Belakangan, kau tahu mereka adalah laki-laki yang sama: Fernando Pessoa.
Fernando Pessoa di jalan-jalan Lisbon Foto: Wikimedia Commons
Bila Indonesia punya Chairil Anwar, China punya Li Bai, maka Portugal punya Pessoa. Tak cuma seorang penyair, laki-laki kelahiran Lisbon, 13 Juni 1888 itu juga merupakan seorang penulis, kritikus sastra, penerjemah, dan juga filsuf.
Pessoa juga secara konstan dijuluki sebagai salah satu penyair dalam bahasa Portugis terbesar sepanjang masa. Dalam The Western Canon, kritikus Harold Bloom memasukkannya dalam kategori 26 penyair yang bertanggung jawab membangun standar tinggi sastra dunia Barat.
Dan berbicara soal Fernando Pessoa berarti berbicara soal nama-nama. 76 nama, lebih tepatnya.
Heteronym, sebut Pessoa. Ia gagal mafhum pada siapapun yang menganggap nama-nama tersebut hanya sebagai alias atau nama pena semata. Setiap nama punya jiwa masing-masing, punya latar belakang masing-masing, punya pekerjaan, pendidikan, dan hidup masing-masing, tuntut Pessoa. Karenanya, ia mampu menjelajahi betul setiap sudut pengetahuannya yang bejibun, melompat dari satu bab ke bab lain dan terjun sangat dalam tanpa terlihat pretensius.
The Wanderer di Taipa House, Macao. Sampai 6 Oktober 2019 nanti, The Wanderer masih akan tetap di Taipa Village sebagai rangkaian dari Art Macao 2019. Foto: artmacao.mo
Fernando Pessoa muda tampak seperti anak penyakitan. Teman SMP-nya di Durban, Afrika Selatan menggambarkan Pessoa sebagai “...bocah kurus, pucat, dan sepertinya memiliki tubuh yang gagal berkembang sempurna.” Namun, pada umur sedini itu pula, teman-temannya sudah sadar bahwa Pessoa bukanlah bocah yang bakal jadi manusia serampangan macam yang lain.
“Semua mengakuinya sebagai bocah yang brilian. Tanpa kemampuan berbicara bahasa Inggris sebelumnya, ia menguasainya dengan amat cepat. Bahkan, untuk umurnya yang belia, dia telah berpikir begitu jauh dan dalam,” kata Clifford E. Geerdts dalam surat-suratnya yang turut dicetak dalam Escritos Autobiográficos, Automáticos e de Reflexão Pessoal (2003). “Dalam salah satu suratnya padaku, dia pernah mengeluh tentang, ‘beban spiritual dan material yang seperti terus memusuhi(nya).’”
Masa hidup Pessoa dihabiskan berpindah-pindah. Dari Portugal ke Durban, Afrika Selatan mengikuti ayah barunya; kembali ke Portugal; kembali lagi ke Afrika Selatan kali ini di Pretoria; dan akhirnya menetap di Lisbon.
Satu hal yang menjadi ciri khasnya, terutama di Lisbon, Pessoa tak pernah bermukim terlalu lama pada satu tempat. Dari 1905 hingga 1920, ia tinggal di 15 lokasi berbeda di Lisbon, berpindah dari satu apartemen ke apartemen lain dan terus ber-flaneur ria tergantung nama mana yang ia ingin hidupi (dan juga tergantung kondisi finansial pula masalah personalnya yang memang erat pada dirinya yang flamboyan).
Maka, kau tak jadi kaget saat kemudian memahami mengapa Wong Ka Long, seorang pematung Macao membuat puluhan patung Pessoa, menebarnya di seluruh kompleks Taipa House yang merupakan replika kehidupan Portugis ratusan tahun lalu, dan menamai patung-patung yang dipertunjukkannya sebagai “The Wanderer”.
Mustahil untuk menghadirkan Fernando Pessoa yang punya 76 heteronim dalam satu wujud patung. Mereka adalah Pessoa namun juga bukan Pessoa dalam waktu yang sama. Sementara, menjulukinya The Wanderer adalah upaya paling masuk akal menarik esensi dari tubuh dan pikiran Pessoa yang mengembara dari satu tempat ke lainnya, dari satu bahasa ke lainnya, dan dari satu jiwa ke jiwa lainnya.
The Wanderer di Taipa House, Macao Foto: artmacao.mo
Kau kemudian memahami mengapa Kota Lisbon menjadi rumah sekaligus semesta kelana Fernando Pessoa. Tapi, di sudut Taipa Village yang basah dan lembap itu, pengembaraanmu belum selesai.
Masuk ke Taipa House Museum, sebuah rumah Portugis yang dilestarikan oleh Pemerintah Macao tetap orisinil sampai saat ini, Pessoa macam menyerahkanmu pada Francesco Lietti untuk ganti berkelana di kota-kota lain lewat lukisannya yang murah humor namun terasa nostalgis.
Pameran lukisan Francesco Lietti di Taipa House, Macao Foto: Tio/kumparan
Dan kali ini Lietti mengajakmu ke Hong Kong. Lewat pendar warna yang agresif kau temui terpampang di pigura-pigura, kau diajaknya menyelami kota Hong Kong dan Macao lewat pilihan paduan warnanya yang bergeletar, riuh, hangat, juga menawan.
Lietti jatuh hati pada Hong Kong dan Macao di sebuah musim panas pada 2005. Ia kagum dengan hadirnya warna-warni saling silang, dengan aroma kuat memabukkan, dan sisa-sisa dan janji-janji yang menuntut keterbetahan. Tak genap setahun, pada 2006, Lietti kembali dan tak pernah berpaling lagi.
Pameran lukisan Francesco Lietti di Taipa House, Macao Foto: Tio/kumparan
Lahir di Lecco, tepi selatan Danau Como di Italia, Francesco Lietti mempertaruhkan masa depannya dengan berkuliah arsitektur di Milan. Baru setelah itu ia belajar di École des Beaux Arts di Paris dan Clerkenwell College of Printing.
Pameran lukisan Francesco Lietti di Taipa House, Macao Foto: Tio/kumparan
Kini lukisannya terpajang di puluhan koleksi privat di berbagai penjuru dunia. Saat tak melukis di studionya, Lietti mungkin bisa kau temui menjelajah berbagai kota besar di Asia atau berkendara motor di bukit-bukit di Hong Kong, satu jam perjalanan dari Macao, berharap menangkapi pembacaan baru terhadap sebuah kota.
Pameran lukisan Francesco Lietti di Taipa House, Macao Foto: Tio/kumparan
Meski begitu, di tiga-empat episode, Lietti juga mencoba mengguratkan warna-warna lain di Asia. Hijau Vietnam dan kilau Bali, silau emas di Rajasthan, biru teluk di Filipina jadi beberapa destinasi yang berakhir pada kanvas Lietti yang memang kaya dengan tema kehidupan kota dan perjalanan.
Pameran lukisan Francesco Lietti di Taipa House, Macao Foto: Tio/kumparan
Dus, pada gelaran Art Macao di Taipa Village itu, Lietti punya tempat spesial. Bersanding dengan Pessoa, Lietti mengajak siapapun yang tiba untuk kembali tersesat ke perkotaan dan sudut-sudut cerita yang tak ada habis-habisnya.
Pameran lukisan Francesco Lietti di Taipa House, Macao Foto: Tio/kumparan
🚢 🚢🚢 🚢🚢🚢
Ingin tahu wisata Macao lebih jauh? Kunjungi: jelajahmacao.com