Pada Hangat Senado Square, Pada Ramah Warteg Barokah

15 September 2019 7:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jalanan di Macao. Panas betul. Foto: Tio/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jalanan di Macao. Panas betul. Foto: Tio/kumparan
Apa yang kau nanti-nanti ketika tengah bertualang ke suatu tempat?
Hal-hal menakjubkan, tentu saja. Mereka bisa mewujud ke miliaran bentuk berbeda, dari gemerlap kebaruan yang belum mampir di tempat asal; liku sejarah yang menggiring nasib tempat tujuan travelling-mu menjadi cantik seperti sekarang; santapan yang segar dan yang membuai; asing budaya yang jadi nafas kehidupan; sampai sudut-sudut jelita di mana kau bisa jadi model sementara dan berharap beberapa follower-mu menyukainya.
Namun, satu pula yang dinanti-nanti adalah rumah. Tempat kau kembali ke mereka yang terkasih. Tempat rebah yang tak selalu lebih empuk namun akan selalu lebih nyaman. Pula tempat bercerita kepada mereka yang betul-betul mendengarkan dan tak perlu memaksa kita berpikir dua kali untuk alih bahasa.
Dan kali ini, saat terpisah dari rombongan wisata saya di Macao, 3.248 kilometer jauhnya dari Stasiun Pasar Minggu, rumah menyapa di Senado Square. Rumah kali ini, meski baru, menawarkan nyaman yang sama menyenangkannya. Rumah kali ini bahkan punya nama. Tercetak besar-besar di spanduk di muka bangunan, adalah: Wahrung Barokha, Makanan Khas Jawa.
Tentu saja, maksudnya adalah Warung Barokah. Entah si empunya yang tak teliti ketika memesan plang besar di muka kelontongnya, atau tukang bikin plang di Macao yang tak akrab dan asal tebak saja saat menerima pesanan Wahrung Barokha. Apa boleh buat, nama tersebut jadi terlihat lucu di mata-mata yang selama ini akrab.
Wahrung Barokha di Macao. Typo, tentu saja. Maksudnya adalah Warteg Barokah. Foto: Tio/kumparan
Tapi selain nama di plang yang terlihat ganjil, segala di dalam ruangan selebar 4x8 meter itu betul-betul familier. Berada di tempat ini, hampir membuatku seperti berada di sebuah warteg di Depok, atau Plumpang, atau Pecenongan. Tidak ada Macao di sana, tidak ada bekas-bekas okupasi Portugal selama 500 tahun sampai 20 tahun yang lalu. Yang aku temui adalah rumah, dan seperti anak baik yang baru pulang les sore-sore, aku beruluk salam.
Assalamualaikum!
Di balik meja, di ujung belakang ruangan, duduk di situ laki-laki yang kutaksir berusia awal 30an. Rambutnya pendek di sekitar telinga, sementara sedikit panjang dan berwarna merah di bagian sisanya. Sambil melepaskan lengket matanya dari layar handphone, ia berdiri perlahan dan berseru malu-malu sedikit kaget.
Waalaikumsalam!
Aku menawarkan nama dan ia membalas. “Bayu,” katanya.
Bayu, koki, kasir, sekaligus teman ngobrolmu saat mampir di Warteg Barokah di Macao Foto: Tio/kumparan
Bayu sendirian berjaga warung siang itu. Sesekali pelanggan datang, mencomot Cola (yang oleh warga Macao lebih mirip dirapal ‘kolok’ ketimbang ‘kola’) atau air mineral yang masingnya bernilai 5 MOP (sekitar Rp 9.000). Terik Senado Square pada paruh akhir Agustus yang mencapai 36 derajat Celcius ditambah kelembaban Macao yang tak kurang dari 86 persen membuat apa saja yang cair dan berembun jadi terlalu menarik untuk dilewatkan.
Sedang Bayu sendiri anteng di balik meja. Ia berasal dari Malang, Jawa Timur, dan baru 10 bulan tinggal di Macao menjaga warung dengan label halal itu. Meski belum setahun, beberapa frasa dalam bahasa Kanton sudah mulai ia kuasai. Terlebih menyangkut soal angka, soal duit, soal berapa yang harus dibayar dan dikembalikan.
“Kalau cuma harga-harga gitu bisa (bahasa Kanton). Kalau soal uang cepet (pahamnya),” ujar Bayu bercanda, matanya menutup sebagian saat tawanya ambyar berderai-derai.
Menu Warteg Barokah. Tak beda jauh dengan warteg di depan kantormu. Foto: Tio/kumparan
Tak butuh waktu lama, perhatianku mau tak mau ditarik ke sederet menu yang dihidangkan pada balik bufet kaca di belakang Bayu. Lampu neon hampir sepanjang semeter berpendar-pendar, memastikan makanan tetap hangat—juga agar semua mata tertuju ke situ.
Di situ segala macam ada. Sayur rebung, ayam kari, oreg tempe dan teri, kentang balado, sampai sayur buncis yang ditumis bersama potongan wortel dengan ukuran potong tanggung. Sementara di etalase-etalase warung, aneka macam penganan kecil khas Indonesia, bermacam bumbu masak instan, kopi dan teh instan macam di warung burjo, sampai cat rambut berbagai warna bisa kau temui.
“Trus kalau lalapan itu ada lalapan bandeng, lele, gurami, ayam. Kalau lalapan itu langsung aku gorengin. Kalau gitu (disajikan matang), nggak enak kalau nggak fresh,” kata Bayu mewartakan menunya hari ini.
Aneka rupa dagangan di Warteg Barokah, Macao Foto: Tio/kumparan
Menu komplit warungnya tak mahal untuk ukuran Macao. Hanya dengan 35 HKD, kau bisa menyantap nasi campur berisi sayur yang kau pilih sendiri, oreg tempe, dan juga lauk berupa ayam atau macam lain pun boleh. Ia menawari makan, sayang aku yang sudah kenyang terpaksa menolak. Aku hanya mengambil dua kotak jus apel kecil, masing seharga 5 HKD saja.
Aku sempat bertanya, bagaimana Bayu bisa mendapatkan segala macam bahan makanan yang menjadi bahan jualannya. Ia bilang, sebetulnya gampang saja. Ia mendapat semuanya dari Hongkong—satu setengah jam perjalanan menggunakan feri atau hanya 40 menit lamanya melalui Hong Kong-Zhuhai-Macao Bridge.
Setiap pagi, Bayu sendiri yang memasak menu yang dijajakan Warung Barokah hari itu. Ia dibantu tantenya, yang bersama anaknya punya hak milik warung itu. Saat itu, tantenya tak ada di warung, ia sedang berbelanja dan memang biasa bolak-balik Hongkong-Macao.
Jajanan di Warteg Barokah, Macao Foto: Tio/kumparan
Meski kontras dengan sekitarnya, Bayu sendiri bilang bahwa warteg di Macao bukanlah hal asing. Banyak, katanya. Dan mungkin memang demikian. Aku melihat satu lagi warteg dengan menu ayam geprek, soto ayam, bahkan sate kambing di kawasan Senado Square saja.
“Yang banyak itu di daerah Sam Can Tang. Kalau sampeyan ke sana, wes pasti ketemu orang Indo. Banyak di sana,” ujar Bayu. Sam Can Tang adalah distrik lain di Macao di sekitaran Rotunda de Carlos da Maia. “Ada yang PRT, ada yang jualan. Maksudnya ikut kerja orang di toko. Terus ada di hotel. Kalau anak Bali tuh rata-rata di hotel.”
Namun meski tak terletak di wilayah padat WNI, Bayu mengaku warungnya toh baik-baik saja.
“Banyak sih orang Macao. Misalnya yang dulu pernah punya PRT orang Indonesia, trus biasanya suka beli rendang, terus tempe juga. Jadi datang ke sini lagi, datang ke sini lagi,” katanya.
Bayu berpose di depan warungnya Foto: Tio/kumparan
Kami kemudian mengobrol sebentar, aku sambil menyeruput jus apel yang baru saja dibayar, dan Bayu yang sedikit salah tingkah karena tak biasanya didatangi turis dari Indonesia. Kami saling menanyakan asal dan pekerjaan, obrolan kuno soal cuaca, dan basa-basi perbandingan pengalaman menjadi miskin di Indonesia dan di Macao.
Sayangnya, aku harus beranjur. Tak seharusnya aku terlalu lama berada di rumah. Rombongan sudah mencari dan kami bersepakat bertemu di St. Dominic Church di muka Senado Square. Mengambil foto sebentar, aku berpamitan kembali pada Bayu dan berjanji akan menemuinya lagi. Lain kali, aku bilang, aku akan mencoba rendang buatannya. Ia sepakat, sambil tertawa yang membuat matanya menutup sebagian.