Kisah Perjuangan Rakyat Blambangan dalam Tari Gandrung Sewu

8 November 2017 12:14 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tari Gandrung dikenal sebagai ikon kesenian dan budaya Banyuwangi. Keberadaannya kian populer setelah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan pagelaran tahunan yang bertajuk "Festival Gandrung Sewu".
ADVERTISEMENT
Festival Gandrung Sewu pertama kali digelar pada tahun 2012. Nama sewu dipilih karena para penari yang tampil menari Gandrung berjumlah seribu orang atau lebih. Acara tahunan ini menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik lokal maupun asing, di kabupaten berjuluk "Sunrise of Java" tersebut.
Tari Gandrung yang dibawakan dalam Festival Gandrung Sewu memiliki perbedaan dengan Tari Gandrung klasik. Tari Gandrung klasik diperkirakan lahir sejak 1700an. Tarian ini berasal dari Suku Osing, suku asli Banyuwangi. Tari Gandrung ini pada mulanya dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Dewi Sri setelah masa panen.
Para penari gandrung sewu (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Dahulu, Tari Gandrung dibawakan semalam suntuk hingga subuh. Dalam pementasannya, Tari Gandrung terbagi dalam empat bagian yakni jejer gandrung, rapenan, paju gandrung, dan seblang subuh. Tari Gandrung ini disebut juga tari Gandrung Terob.
ADVERTISEMENT
Sementara yang dipentaskan dalam festival Gandrung Sewu adalah tari Gandrung Kreasi. Gandrung Kreasi bisa dipadukan dengan drama teatrikal. Seperti yang dipentaskan dalam Festival Gandrung Sewu. Tari Gandrung dimainkan dengan perpaduan koreografi dan aksi teatrikal yang terbagi ke dalam beberapa fragmen. Oleh karenanya, setiap pagelaran festival Gandrung Sewu pasti mengusung tema tertentu.
Dari enam kali penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu, masing-masing memiliki tema yang berkaitan satu sama lain. Tema yang diangkat merupakan kisah-kisah perjuangan rakyat Banyuwangi di masa lalu.
Festival Gandrung Sewu di Pantai Boom Banyuwangi (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Awal mula tari Gandrung dan perlawanan rakyat Blambangan
Tahun 2012, Festival Gandrung Sewu mengambil tema Jejer Gandrung yang berkisah tentang sejarah kelahiran Tari Gandrung. Jejer Gandrung sejatinya merupakan bagian awal atau pembuka pertunjukan Tari Gandrung Terob yang menyajikan tari lincah dengan menonjolkan gerak pinggul dan getar jari.
ADVERTISEMENT
Pementasan dibuka dengan cerita penjajah VOC yang memperbudak Banyuwangi. Rakyat Banyuwangi disiksa dan para penjajah berpesta dengan iringan penari Gandrung. Cerita berlanjut dengan perlawanan rakyat hingga penjajah berhasil diusir dari tanah air.
Pada tahun 2013, Festival Gandrung Sewu mengusung tema Paju Gandrung. Sama seperti Jejer Gandrung, Paju Gandrung juga merupakan bagian dari tahapan dalam Tari Gandrung Terob. Dikutip dari publikasi ilmiah UMS, Paju adalah babak yang sepenuhnya diisi dengan tari, nyanyi, dan ngrepen (ajakan penari pada tamu) yang melibatkan penonton secara aktif. Para penonton yang ikut aktif menari bersama para penari Gandrung disebut pemaju.
Dalam Paju Gandrung Sewu, fragmen pertama menampilkan Seblang, disusul kemudian Gandrung Marsan (penari Gandrung laki-laki). Dalam fragmen ini, digambarkan penari Gandrung menari hingga tengah malam dan para pemaju akan menari sambil memberi saweran pada para penari. Fragmen ini menceritakan kehidupan penari Gandrung di masa lalu.
Festival Gandrung Sewu di Pantai Boom Banyuwangi (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Di tahun 2014, Festival Gandrung Sewu memilih tema Seblang Subuh. Sama seperti Jejer Gandrung dan Paju Gandrung, Seblang Subuh merupakan tahapan dalam Tari Gandrung Terob. Seblang Subuh adalah babak akhir dalam tahapan Tari Gandrung Terob.
ADVERTISEMENT
Kali ini Gandrung Sewu menceritakan asal-usul Gandrung pada masa pemerintahan Bupati Banyuwangi kelima, Pringgokusumo.
Pertunjukan kolosal ini diawali dengan munculnya beberapa laki-laki yang membawa penjor atau tiang bambu. Mereka diceritakan sebagai mantan prajurit Kerajaan Blambangan yang merupakan cikal bakal Banyuwangi. Mereka lalu menasbihkan diri sebagai Gandrung Marsan (Gandrung laki-laki).
Dalam perkembangannya, Gandrung Marsan lama kelamaan punah dan digantikan oleh Gandrung Semi (Gandrung Perempuan).
Kemunculan Rempeg Jogopati dan siasat melawan Belanda
Jika pada tahun-tahun sebelumnya tema Festival Gandrung Sewu diambil dari tahapan-tahapan tari Gandrung Terob, maka pada Festival Gandrung Sewu 2015, tema yang diusung adalah Podo Nonton. Podo Nonton sejatinya merupakan gending yang dimainkan saat pertunjukkan Jejer Gandrung.
Tema ini diangkat karena syairnya mengandung makna heroisme dan perjuangan yang sangat berat dari rakyat Banyuwangi ketika melawan penjajahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Pagelaran kali ini menceritakan kondisi Banyuwangi sekitar tahun 1771 yang subur dan makmur. Namun tiba-tiba, Belanda datang dan memporak-porandakan desa dan hasil tani milik rakyat.
Dalam kondisi yang tertindas, para petani bangkit dan melakukan perlawanan hingga pecah perang awal antara rakyat Banyuwangi dan penjajah kolonial. Dalam masa itu muncul sosok yang menjadi pemimpin perlawanan terhadap penjajah yakni Rempeg Jogopati.
"Podo Nonton sengaja diangkat untuk mengingatkan masyarakat akan perjuangan para pendahulu kita di masa lalu. Bagaimana dulu perjuangan penduduk Banyuwangi yang awalnya puluhan ribu, karena perang berkurang menjadi hanya ribuan. (Pagelaran ini) Meyakinkan kita, asal dengan niat dan perjuangan yang tulus, penderitaan awal akan melahirkan kesejahteraan yang kini kita nikmati semua,” ujar Plt. Kepala Dinas Pariwisata M Y. Bramuda seperti dilansir situs resmi Pemkab Banyuwangi.
Festival Gandrung Sewu di Pantai Boom Banyuwangi (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Beranjak ke tahun 2016, dipilih tema Seblang Lukinto. Seblang Lukinto secara cerita merupakan kelanjutan dari Festival Gandrung Sewu tahun sebelumnya dengan mengisahkan kebangkitan sisa-sisa prajurit Rempeg Jogopati untuk kembali mengangkat senjata melawan penjajah
ADVERTISEMENT
“Pada saat tokoh penggerak perlawanan terhadap penjajah, Rempeg Jogopati jatuh, prajuritnya tercerai berai di beberapa wilayah di Banyuwangi. Sehingga upaya mereka untuk melawan VOC terhenti. Untuk mengumpulkan kembali pasukan yang terpisah-pisah itu, orang-orang yang merupakan bekas prajurit Rempeg Jogopati membentuk kelompok seni. Mereka menyanyikan tembang Seblang Lukinto secara berkeliling atau mengamen,” beber Bramuda.
Jika dilihat dari definisi nama Seblang Lukinto, Bramuda mengatakan, seb artinya meneng atau diam, dan lang diambil dari kata langgeng artinya selawase atau selamanya. Sedangkan Lukinto merupakan kata dari bahasa Sansekerta yang artinya “dirahasiakan”. Jika keduanya digabungkan maknanya menjadi rencana yang harus dirahasiakan selamanya.
Festival Gandrung Sewu di Pantai Boom Banyuwangi (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Di tahun 2017, tembang gending yang biasa digunakan sebagai pengiring tari Gandrung dipilih kembali menjadi tema, kali ini Kembang Pepe. Kembang Pepe pun menjadi kelanjutan dari cerita di tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kembang Pepe menitikberatkan penggunaan Tari Gandrung sebagai siasat untuk melawan penjajah. Tari Gandrung dipentaskan bersama dengan pertunjukan Barong untuk membuat tentara Belanda lengah. Mereka dibuat terbuai, larut lewat tarian dan suguhan minuman-minuman keras. Di saat itulah, tentara-tentara Belanda diserang.
"Tari Gandrung sebagai seni tradisi rakyat memang dalam sejarahnya memiliki peran penting sebagai siasat melawan Belanda," ujar Bramuda.
Kisah itu ditampilkan oleh sebagian penari Gandrung yang memakai topeng Barong dalam pertunjukkan tahun ini.