Lekuk Masa Lalu Tari Gandrung

2 Oktober 2017 14:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tari Gandrung Banyuwangi di Istana Negara (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Tari Gandrung Banyuwangi di Istana Negara (Foto: Dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tari Gandrung nampak sedang naik daun.
Tarian yang berasal Banyuwangi ini telah meramaikan perayaan kemerdekaan Indonesia di Istana Merdeka tahun ini. Ada sekitar 216 orang pelajar mementaskan tari Gandung Kreasi bernama Jejer Kembang Menur yang memukau semua penonton dan tamu kehormatan.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir juga gandrung menjadi salah satu festival rutin dari 72 festival di Banyuwangi yang memikat hati banyak wisatawan. Festival Gandrung Sewu atau seribu gandrung tahun ini akan dilaksanakan pada 8 Oktober mendatang.
Tari Gandrung merupakan salah satu genre seni pertunjukan rakyat. Kesenian sejenis gandrung bisa kita jumpai seperti Ketuktilu dan Jaipong di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di daerah Banyumas, dan Joged Bumbung di Bali.
Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: YouTube)
zoom-in-whitePerbesar
Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: YouTube)
Gandrung, dalam bahasa Jawa, berarti kedanan, kesengsem, tergila-gila, atau cinta habis-habisan. Tarian ini lahir di masyarakat agraris suku Osing sebagai perwujudan kecintaan yang begitu mendalam pada Dewi Sri atas segala berkahnya.
Pada mulanya, tari yang diperkirakan lahir pada tahun 1700an ini dibawakan oleh anak laki-laki berusia 7-14 tahun. Di atas usia tersebut, mereka sudah tidak mau menjadi gandrung baik karena malu dan ditertawakan teman-teman atau tak ada lagi yang mau menari bersama.
ADVERTISEMENT
Para penari gandrung laki-laki ini didandani menyerupai perempuan dengan kain panjang dan penutup dada, dilengkapi dengan penutup kepala serupa mahkota serta anting-anting besar dan gemerincing gelang. Tak lupa selendang yang dijepit pada kendit (ikat pinggang) dan kipas di genggaman jemari tangan.
Salah satu seni pertunjukan rakyat ini dulu kala biasa dibawakan di bawah terang sinar bulan purnama. Para penonton akan duduk mengelilingi sang gandrung yang menari sambil menembang, hingga datang ajakan gandrung untuk menari bersama.
Potret Penari Gandrung Masa Lalu (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Penari Gandrung Masa Lalu (Foto: Wikimedia Commons)
Kelompok gandrung dan pengiringnya ini akan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain dengan imbalan beras atau barang kebutuhan lainnya.
Pada 1890an, gandrung laki-laki mulai pudar. Berbagai argumen, seperti dikutip dari Jurnal Kajian Seni UGM, menyatakan punahnya gandrung laki-laki terjadi semenjak pengaruh Islam mulai menyebar. Salah satunya menyoal larangan laki-laki yang menyerupai perempuan.
ADVERTISEMENT
Gandrung laki-laki ini benar-benar lenyap pada 1914, yakni ketika Marsan, satu-satunya penari Gandrung yang tersisa, meninggal dunia. Jika biasanya laki-laki menjadi gandrung hingga umur 14 tahun, maka Marsan memilih seumur hidupnya menjadi gandrung hingga maut menjemput di usia empat puluh.
Gandrung wanita kemudian makin populer sejak 1910an.
Potret Penari Gandrung Masa Lalu (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Penari Gandrung Masa Lalu (Foto: Wikimedia Commons)
Tari gandrung wanita banyak dipentaskan di acara-acara hajatan, seperti sunatan atau kawinan. Gandrung akan menari mulai dari pukul 21.00 malam hingga pukul 04.00 pagi.
Selama tujuh jam pementasan, tari Gandrung terbagi dalam tiga tahap. Pertama jejer gandrung yakni tahap awal gandrung masuk dan meminta izin pada tuan rumah. Saat itu gendhing podho nonton dilantunkan lalu ditutup dengan gendhing kembang menur.
ADVERTISEMENT
Tahap kedua disebut repenan atau ngrepen. Di tahap ini gandrung, diantar oleh gedhog, akan turun menyambangi meja para tamu dan menyanyikan gendhing yang diminta para tamu.
Usai menyanyikan permintaan gendhing dari para tamu, gandrung memasuki tahap ketiga yang disebut paju gandrung. Di tahap ini, gandrung akan mengajak para tamu, yang kemudian disebut pemaju, menari bersama secara bergililiran. Goyangan pantat, bahu, dan dada terus menantang para tamu untuk menari. Di tahap inilah tari Gandrung dianggap erotis.
Tarian ditutup dengan seblang shubuh di mana gandrung akan berpamitan dengan gerakan penuh penghayatan sambil menembang. Gerakan yang dilakukan bermakna pemujaan terhadap Dewi Sri dan seringkali memiliki kesan mistis.
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mak Temu dan Penari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan)
Tari Gandrung tersebut dikenal dengan nama Gandrung Terob. Jenis tarian itu tengah menghadapi masa kepudarannya. Sementara yang tengah berkembang sekarang adalah ragam Gandrung Kreasi.
ADVERTISEMENT
“Yang susah sekarang itu mencari calon penari Gandrung Terob. Kalau penari gandrung sanggar—penari yang belajar tari di sanggar untuk keperluan pentas festival atau kalau ada pagelaran yang disponsori negara—jumlahnya ratusan. Tapi, yang mau jadi Gandrung Terob, itu sangat sedikit,” ujar Temu Mesti, Maestro Gandrung, sambil mengelus dada seperti dikutip dari laman institut studi budaya matatimoer.or.id.