Memaknai Sumpah Pemuda Lewat Napak Tilas di 3 Museum di Jakarta Ini

1 November 2018 7:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Museum Sumpah Pemuda  (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
ADVERTISEMENT
90 tahun sudah gaung sumpah pemuda menemani langkah putra-putri Indonesia. Sejarah mencatat bahwa putra-putri Indonesia pernah bersumpah bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dilakukan pada 28 Oktober 1928 silam, putra-putri bumi pertiwi merumuskan sebuah kesepakatan yang diberi nama putusan pemuda-pemuda Indonesia. Surat keputusan inilah yang kemudian berubah menjadi Sumpah Pemuda yang kamu kenal saat ini.
Tidak seperti saat ini, Sumpah Pemuda dapat kamu dengar kumandangnya secara lantang di upacara bendera yang dilakukan di lapangan atau sekolah. Sumpah Pemuda dulunya dibacakan dalam kondisi penuh kekhawatiran, karena para pembicara sekaligus perumusnya berada dalam pengawasan Polisi Rahasia Belanda.
Museum Sumpah Pemuda  (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Masih dalam waktu yang sama, setelah Sumpah Pemuda dibacakan, seorang pemuda bernama Wage Rudolf Soepratman berdiri dan memainkan lagu Indonesia Raya. Ia memainkan lagu ciptaannya tersebut menggunakan biola miliknya, secara solo, dihadapan para hadirin yang hadir di Kongres Pemuda II.
ADVERTISEMENT
Di balik ceritanya yang fenomenal, tahukah kamu bahwa gedung yang menjadi lokasi diikrarkannya Sumpah Pemuda, dahulu merupakan sebuah rumah kos? Ya, kediaman yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda itu, dulunya merupakan rumah milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong.
Museum Sumpah Pemuda  (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Bertempat di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat, rumah kos-kosan Sie Kong Liong awalnya hanya menampung para pelajar yang berasal dari Jawa saja, sampai akhirnya ia menerima seluruh siswa dari berbagai latar belakang, suku, ras, dan tempat asal untuk 'menginap' di rumahnya. Hal ini karena rumah miliknya berada dekat dengan gedung STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), yaitu sekolah kedokteran milik Belanda yang diperuntukkan bagi pribumi.
Bersama Archipelago Internasional, kumparanTRAVEL dipandu Jakarta Good Guide menyusuri jejak sejarah Sumpah Pemuda di tiga museum yang berlokasi di Jakarta. Ketiga museum itu antara lain Museum Sumpah Pemuda, Museum M.H Thamrin, dan terakhir Museum Kebangkitan Nasional.
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Letak ketiga museum ini bukan hanya berdekatan, tapi juga memiliki benang merah antar satu dengan yang lainnya. Farid, pria berjambang yang menjadi pemandu kumparanTRAVEL mengatakan bahwa Museum Sumpah Pemuda, M.H Thamrin, dan Kebangkitan Nasional memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
"Di Museum M.H Thamrin itu dulu banyak organisasi-organisasi yang berkumpul untuk berbagi ide, diskusi, dan sebagainya. M.H Thamrin bisa dibilang sebagai sosok pemersatu bangsa Indonesia juga, karena dia tergabung pada Volksraad atau yang sekarang ini kita kenal sebagai DPR, yang mewakili suara rakyat saat itu. Sedangkan Museum Kebangkitan Nasional itu dulunya sekolah kedokteran yang jadi tempat berdirinya organisasi Boedi Oetomo," jelasnya.
Ingin tahu lebih banyak tentang ketiga museum tersebut? Berikut penjelasannya:
1. Museum Sumpah Pemuda
Mengunjungi Museum Sumpah Pemuda (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mengunjungi Museum Sumpah Pemuda (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Menurut cerita Farid, awalnya Sumpah Pemuda sama sekali tidak mengandung kata 'Sumpah', melainkan menggunakan kata 'Putusan'. Keputusan yang dirumuskan dalam Kongres Pemuda II yang dihadiri pembicara ternama, sepertu Moeh. Jamin, Purnamawulan, Sarmidi Mangunsarkoro, Ramlan, Theo Pegemanan, dan Mr. Soenario itu menjadi titik terang pergerakan pemuda Indonesia, yaitu menemukan arah dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Gedung Museum Sumpah Pemuda berwarna putih dengan sentuhan warna hijau di kusen jendela, pintu, dan daun pintunya. Sedangkan perabotannya yang didominasi kayu diberi warna cokelat tua, sesuai dengan warna aslinya.
Museum Sumpah Pemuda  (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Di Museum Sumpah Pemuda, kamu bisa menemukan sebuah ruangan yang didominasi pajangan berlatar merah dengan tulisan berwarna putih. Isinya berbagai kata-kata mutiara menarik milik para pahlawan yang berbau Nasionalisme.
Misalnya saja sebuah ujaran berbunyi, "Memperoleh Indonesia merdeka adalah kewajiban yang terluhur buat anak negeri Indonesia," yang dikeluarkan oleh PPPI pada 20-23 September 1911. Selain itu, masih ada pula foto para pejuang, diorama, dan patung replika wajah para pejuang yang merumuskan Sumpah Pemuda.
Museum Sumpah Pemuda  (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Tak hanya itu saja, kamu akan menemukan sebuah ruangan yang didedikasikan untuk W.R. Soepratman yang berjasa membuat lagu kebangsaan, lengkap dengan diorama yang merekakan kembali adegan dikumandangkannya Indonesia Raya. Ada pula foto-foto beliau sepanjang hidup, biola legendaris miliknya yang ia gunakan untuk memainkan lndonesia Raya, hingga piringan hitam yang dulu ia gunakan untuk merekam lagu kebangsaan dalam dua versi, yaitu versi asli dan keroncong.
ADVERTISEMENT
Menariknya, lagu Indonesia Raya pertama kali direkam oleh seorang Tionghoa bernama Yo Kim Tjan, yang merupakan pemilik toko rekaman Nv Populair dan pendiri Bioskop Roxy, serta Bioskop Ledo. Pada saat itu, hanya Yo Kim Tjan yang bersedia merekamnya, karena perusahaan rekaman lainnya takut ditangkap oleh Belanda.
Museum Sumpah Pemuda  (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Dari kejadian ini, Farid menuturkan bahwa hal itu menjadi masukan penting untuk menyadari bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi masalah bagi Indonesia.
"Untuk saat ini menurutku yang paling penting insight-nya adalah siapa tokohnya, orang di belakang persatuan Indonesia, yang ternyata berasal dari segala jenis suku, agama, ras, dan saat itu mereka tidak membeda-bedakan, mereka bersatu saja. Saat mereka melakukan kongres juga, mereka tidak membeda-bedakan, misalnya orang Katolik di sebelah sini, yang Islam di sebelah sini, yang Tionghoa atau Belanda enggak boleh ikut, karena saat itu ada Douwes Dekker juga," jelasnya.
ADVERTISEMENT
2. Museum M.H Thamrin
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Dari Museum Sumpah Pemuda, kumparanTRAVEL melanjutkan perjalanan menuju Museum M.H Thamrin yang berada di Jalan Kenari II No.15 Jakarta. Museum ini awalnya hanyalah sebuah rumah yang sengaja dibeli oleh M.H Thamrin sebagai base camp pergerakan pejuang Indonesia. Karena dulunya, banyak organisasi yang membuat acara untuk berdiskusi mencari mufakat di tempat ini.
Sayangnya, kondisi ini sering disalahartikan oleh masyarakat sebagai rumah M.H Thamrin. Padahal, sebenarnya rumah pejuang yang memiliki nama kecil Mat Seni ini berada di kawasan Sawah Besar.
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
M.H Thamrin yang memiliki nama panjang Mohammad Hoesni Thamrin berasal dari nama ayahnya, Thamrin Mohammad Thabrie. Nama Thabrie yang disematkan pada ayahnya berasal dari paman, saudara sedarah ibunya yang mengadopsinya sebagai anak, saat kakeknya, seorang pria Inggris bernama Ort yang menikahi neneknya, Noeraini, wanita Betawi yang berkediaman di Batavia, meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan ternyata tak serta merta membuat M.H Thamrin menjadi lupa jati dirinya. Dengan kekayaan yang dimiliki, ia tak hanya membelikan sebuah rumah untuk dijadikan lokasi rapat, tetapi juga tanah untuk masyarakat Indonesia agar dapat bermain sepak bola selayaknya penduduk kolonial.
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Di Museum M.H Thamrin, kamu bisa melihat furnitur asli milik Mat Seni dari rumahnya di Sawah Besar yang memang sengaja disumbangkan sebagai bagian dari museum, seperti kursi tamu, radio, hingga dipan tempatnya menghembuskan nafas terakhir. Ada pula lukisan Mat Seni dengan sang istri, foto semasa hidup, serta sepeda ontel dan delman yang seakan menunjukkan tahun-tahun kehidupan yang dijalani M.H Thamrin.
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Museum M.H Thamrin (Foto: Helinsa Rasputri/kumparan)
Selain itu, di Museum M.H Thamrin juga kamu bisa melihat bentuk kesenian Betawi yang terpajang dengan rapi di ruang belakang, seperti tanjidor, kromong, dan trombone. Dalam ruangan itu kamu akan mendengar lagu-lagu khas Betawi yang disuarakan lewat pemutar musik. Di pojok ruangan, jangan lewatkan juga pilar berisi kosa kata Betawi yang 'wajib' kamu tahu.
ADVERTISEMENT
3. Museum Kebangkitan Nasional
Boedi Oetomo (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Boedi Oetomo (Foto: Istimewa)
Bangunan terakhir yang menjadi akhir perjalanan wisata sejarah kumparanTRAVEL adalah Museum Kebangkitan Nasional. Berlokasi tak jauh dari Museum Sumpah Pemuda, tepatnya di Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh No. 26 Jakarta, Museum Kebangkitan Nasional merupakan Gedung STOVIA yang dibangun sejak 1899 dan rampung pada 1902.
Gedung yang menjadi salah satu bangunan cagar budaya di Jakarta ini dulunya dibangun oleh Hindia Belanda sebagai tempat pendidikan kedokteran kaum bumiputera (pribumi). Nama STOVIA adalah nama pengganti dari Sekolah Dokter Jawa, yang dulunya menjadi nama institusi itu. Gedung STOVIA bukan hanya sekadar institusi pendidikan belaka. Di tempat inilah muncul sebuah organisasi modern bernama Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang dipelopori oleh Raden Soetomo.
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
Organisasi Boedi Oetomo menjadi wadah perjuangan dengan pola yang lebih terintegrasi, yaitu tidak menggunakan kekuatan fisik, tapi diplomasi. Bentuk perjuangannya juga menjadi lebih terpusat, tidak lagi bersifat kedaerahan, tetapi menjadi perjuangan bersama tanpa membedakan asal daerah, suku, agama, dan status sosial.
ADVERTISEMENT
Tak hanya jadi ruang belajar, Gedung Stovia yang berganti nama jadi Museum Kebangkitan Nasional setelah diresmikan Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974 itu dulunya juga berisi asrama. Di asrama inilah para pelajar yang berasal dari berbagai daerah tinggal sambil menuntut ilmu. Namun beberapa tahun setelahnya akibat peningkatan jumlah murid yang semakin banyak, gedung STOVIA dianggap tak lagi memadai, sehingga Hindia Belanda kemudian membangun gedung baru di kawasan Salemba. Gedung tersebut diberi nama Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, yang kini telah berganti nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
Karena diawali sebagai institusi pendidikan kedokteran, jadi jangan heran jika yang akan kamu temui di Museum Kebangkitan Nasional adalah berbagai jenis peralatan kedokteran yang digunakan pada masa lampau. Misalnya saja mesin rontgen yang berukuran hampir seperti kulkas satu pintu, deretan gunting dan pisau tajam untuk berbagai kegunaan, mesin pensteril alat kedokteran yang berbentuk seperti panci bertekanan tinggi lengkap dengan parameternya, hingga tabung berbentuk suntikan yang berguna untuk membersihkan usus dan anus setelah operasi.
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
Selayaknya museum pada umumnya, di Museum Kebangkitan Nasional kamu akan menemukan foto-foto dan lukisan yang menggambarkan orang-orang maupun kejadian penting dalam sejarah, lengkap dengan keterangannya. Selain itu, ada pula ruangan yang berisi bumbu rempah yang jadi kekayaan Indonesia, beserta dengan kapal phinisi pengangkutnya, ruangan yang berisi diorama, patung R.A Kartini, dan sebuah spot yang dibuat layaknya ruang kelas berisi meja, kursi, lengkap dengan patung murid dan pengajarnya.
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Museum Kebangkitan Nasional (Foto: Helinsa Rapsutri/kumparan)
Meski seakan menceritakan kehidupan yang berbeda, ketiga museum ini menjadi saksi sejarah bagi siapa saja yang ingin mengenang kembali semangat para pejuang di masa lalu, yang berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bukan bahasa yang satu dan menghilangkan bahasa daerah lainnya, tetapi bahasa yang menjadi pemersatu setiap orang yang berasal dari ribuan pulau di Indonesia dengan bahasa daerahnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Serta bagaimana para pejuang menciptakan sebuah semangat bagi masyarakat Indonesia untuk mengaku bertanah air dan berbangsa Indonesia. Ini cerita perjuangan mereka, bagaimana denganmu?