Merasakan Nuansa Singapura Tempo Dulu di Pulau Ubin

8 Juli 2019 7:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan bergaya Tionghoa di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan bergaya Tionghoa di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang pertama kali terlintas di benakmu ketika mendengar kata Singapura? Negara kecil nan modern, patung merlion, taman berbentuk unik seperti menara milik alien, atau jangan-jangan biaya hidup yang mahal?
ADVERTISEMENT
Ya, semuanya hampir benar, sih. Tapi seberapa banyak di antara kamu yang pernah berpikir bahwa Singapura tidak hanya penuh dengan modernitas, bangunan buatan manusia berteknologi tinggi, dan alam yang sengaja didesain sedemikian rupa agar sejalan dengan tata kota? Mungkin tidak banyak.
Beberapa waktu lalu, kumparan mendapat kesempatan untuk mengunjungi Singapura dari salah satu platform penyedia akomodasi dan perjalanan online terbesar di dunia, Agoda. Dalam kesempatan itu, kumparan diberi kebebasan untuk memilih destinasi wisata yang diinginkan.
Pusat perbelanjaan Orchard Road di Singapura. Foto: Pixabay
Saat itu, kumparan memutuskan untuk mengunjungi Pulau Ubin, sebuah pulau kecil di kawasan Singapura yang dulunya dikenal sebagai kawasan pertambangan granit. Sebelumnya, kumparan hanya pernah mendengar selentingan saja tentang pulau ini.
Menurut cerita yang beredar, Pulau Ubin punya nuansa dan suasana mirip kampung. Karenanya, pulau ini menjadi kampung terakhir dan satu-satunya kawasan huni bergaya tradisional di Singapura. Oleh karena itu, kumparan pun berniat untuk membuktikannya.
Pemandangan di Pulau Ubin yang sangat alami dan jauh dari kesan modern Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Tidak butuh waktu lama, berbekal Singapore Travel Pass yang telah dibeli pada hari sebelumnya, kumparan pun berangkat mencari tahu seperti apa sebenarnya Pulau Ubin yang kalah pamor dari Pulau Sentosa itu.
ADVERTISEMENT
Untuk bisa mencapai Pulau Ubin, kamu bisa menggunakan MRT jalur hijau yang mengarah ke Pasir Ris dan berhenti di Stasiun Tampines, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus bernomor 29 yang menuju Changi Village Terminal. Setibanya di terminal, kamu tinggal berjalan kaki sekitar lima menit saja menuju Changi Point Ferry Terminal.
Nomor dan rute bus yang bisa kamu temui di Terminal Tampines Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Sesampainya di Changi Point Ferry Terminal, kamu cukup mengikuti petunjuk jalan yang tersedia dan menunggu waktu keberangkatan. Nantinya akan ada pengendara kapal penyeberangan yang memanggil 12 orang penumpang untuk sekali perjalanan.
Penyeberangan untuk wisatawan internasional hanya tersedia untuk pukul 07.00 - 19.00 waktu setempat. Jadi, jangan sampai kamu salah memilih waktu berangkat, ya. Supaya tetap bisa mendapat kapal.
Keterangan jam operasi kapal penyeberangan menuju Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Nah, di sinilah kumparan menemukan perbedaan antara Singapura si pulau utama dengan Pulau Ubin. Kapal tidak akan berangkat sebelum kuota terpenuhi. Mesin kapal dikendalikan manual oleh pengemudi, dan bentuk kapalnya pun tidak jauh berbeda dengan kapal penyeberangan yang biasa kamu gunakan di Kepulauan Seribu atau Bali.
ADVERTISEMENT
Urusan tiket pun masih sama manualnya. Kamu cukup membayar dengan uang tunai sebesar 3 dolar Singapura atau sekitar Rp 31 ribu per orang untuk satu kali perjalanan dan nantinya nakhoda kapal akan menarik biaya penyeberangan secara konvensional pada penumpang di kapal.
Changi Ferry Point Terminal, terminal untuk menggunakan kapal penyeberangan ke Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Sangat berbeda dengan di Singapura yang segala sesuatunya serba canggih dan tinggal tap saja. Perjalanan untuk mencapai Pulau Ubin menempuh waktu sekitar 15-20 menit saja, tidak lama.
Sepanjang perjalanan, kamu tidak akan melihat pemandangan indah seperti di Indonesia yang penuh dengan pulau-pulau di sekitar lautannya, air jernih membiru yang terbelah, atau ombak tinggi menerpa yang bisa bikin pusing hingga mual. Pelayaran menuju Pulau Ubin sangat biasa dan aman, bahkan bagi kamu yang punya riwayat mabuk laut.
Kapal penyeberangan yang digunakan untuk mengakses Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Namun, jangan cepat kecewa dengan pernyataan sebelumnya, karena ketika tiba di pulau yang satu ini, kamu akan menemukan perasaan yang berbeda. Lupakan kesan modernitas yang biasa dan bisa kamu temukan di Singapura.
ADVERTISEMENT
Di Pulau Ubin, kamu disuguhkan pemandangan yang eksotis. Pantai berhias bebatuan berukuran besar seperti yang bisa kamu lihat di Belitung, dan deretan kapal melabuhkan jangkar sambil bersandar mesra di atas pasir.
Seorang pengunjung dan anaknya tengah bermain di tengah bebatuan granit Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Sepanjang mata memandang, kamu akan melihat pepohonan tinggi berdaun hijau menghuni pulau ini dengan nyaman. Burung-burung berkicau dan terbang bebas tanpa peduli siapa yang datang mengunjungi hunian mereka. Sesuatu yang akan sangat sulit kamu lihat jika berada di perkotaan, bukan hanya di Singapura, tapi juga di Jakarta.
Jembatan yang menghubungkan antara pulau dan tempat bersandar kapal terbuat dari kayu yang dipelitur berwarna cokelat. Baru beberapa langkah, kumparan dikagetkan dengan seorang ibu yang membawa durian dalam jumlah banyak menggunakan karung plastik.
Lanskap Pulau Ubin dari jembatan menuju kapal penyeberangan Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Masih kaget dengan durian dalam karung, kumparan kembali kaget melihat seorang anak yang tengah sibuk melempar durian ke sana ke mari seperti bola. Anak itu rupanya sedang berusaha mencari cara untuk membuka durian yang ia temukan tanpa menggunakan pisau.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, anggota keluarga anak laki-laki tersebut terlihat berusaha membuka durian dengan menggunakan batu. Mereka memukul-mukul batu pada kulit durian sambil berharap si raja buah dapat terbelah.
Buka durian dengan cara dilempar di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Usut punya usut, rupanya buah durian yang didapatkan oleh keluarga pengunjung ini berasal dari kawasan Pulau Ubin. Ya, setelah penambangan granit di Pulau Ubin ditutup, pulau ini dijadikan sebagai suaka alam. Pemerintah setempat menempatkan beragam pohon buah-buahan, sayur, dan juga rempah di dalamnya.
Beberapa jenis pohon buah-buahan yang bisa kamu temukan di Pulau Ubin, antara lain pohon pisang, rambutan, nanas, pepaya, dan tentu saja durian. Kebetulan saat kumparan berkunjung, ada beberapa pohon durian yang tengah berbuah, jadi untuk menemukan buahnya sangat mudah.
Durian yang berjatuhan di tanah bisa kamu ambil dan makan sesuka hati tanpa membayar Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Kamu cukup berkeliling di sekitar pohonnya dan mencari durian di sekitar rerumputan. Kalau beruntung, kamu bisa menemukan buah durian yang masih berada dalam kondisi baik dan memakannya, sebanyak yang kamu mau. Tak perlu membayar pula. Menarik, kan?
ADVERTISEMENT
Tidak perlu takut saat traveling di Pulau Ubin, karena tidak jauh dari pintu masuk, kamu akan langsung menemukan kantor polisi, lengkap dengan galeri dan peta penunjuk jalan. Kantor polisi ini juga dilengkapi dengan toilet umum, jadi kamu bisa menuntaskan urusan belakang dulu sebelum eksplorasi.
Galeri sekaligus penunjuk arah saat hendak eksplorasi di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Supaya puas mengeksplorasi, kumparan menyarankanmu untuk menyewa sepeda. Biaya menyewa sepeda pun cukup terjangkau, hanya dengan mengeluarkan biaya sekitar 6 dolar Singapura atau sekitar Rp 62 ribu per orang yang dapat digunakan hingga pukul 17.00 waktu setempat. Apalagi Pulau Ubin memang terkenal karena aktivitas hiking, bersepeda, kemping, dan memancing.
Satu hal yang paling terasa saat berada di Pulau Ubin adalah suasana kampung. Berada di Pulau Ubin akan membuatmu lupa bahwa kamu sedang berada di Singapura. Jangan harapkan gedung pencakar langit tinggi, eskalator, atau mall. Yang bisa kamu temukan di sini justru rumah warga yang terbuat dari kayu berwarna cerah dan beratap seng.
Bersepeda bisa jadi salah satu cara menarik untuk eksplorasi Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Untuk bisa mandi atau mendapatkan air bersih, mereka menimba air dari sumur, atau menggunakan pompa manual. Berada di Pulau Ubin seperti hidup di dunia yang berbeda, sebuah tempat yang tak tersentuh perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Kendaraan yang digunakan pun kendaraan keluaran lama. Penduduk sekitar bahkan menggunakannya sebagai taksi untuk mengantar-jemput penumpang yang datang berombongan.
Salah satu rumah warga di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Dibandingkan dengan Singapura, Pulau Ubin terasa jauh lebih sepi. kumparan jarang melihat anak-anak kecil bertempat tinggal di sini, kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa yang dari perawakannya terlihat berusia 30 tahunan hingga 70-an.
Memasuki Pulau Ubin seperti mengarungi lorong waktu, menyambangi Singapura di masa 1960-an. Masa-masa Singapura baru merdeka dan berusaha berdiri sendiri, masyarakatnya belum dekat dengan teknologi, dan segala sesuatunya sedang dalam masa pembangunan.
Kawasan penanaman nanas di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Perbedaan antara kehidupan modern di Singapura dan tradisional di Pulau Ubin inilah yang menjadi hal menarik di Pulau Ubin. Eksotisme Singapura sebagai negara tropis justru jauh terasa lebih kental saat berada di tempat ini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya dalam kunjungan kala itu, kumparan hanya punya waktu sekitar 1,5 jam saja, karena harus mengikuti rangkaian acara wajib di Gardens by the Bay, sehingga tak sempat menyambangi Chek Jawa. Padahal Chek Jawa adalah salah satu kawasan ekosistem yang kaya hewan liar di Pulau Ubin, seperti babi liar, burung cucak rawa, dan cekakak sungai.
Kelenteng di Pulau Ubin, Singapura Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Salah seorang pengunjung tengah berdoa di kelenteng yang berlokasi di Pulau Ubin Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Di Pulau Ubin, kamu juga dapat menemukan klenteng berwarna merah cerah dengan hiasan lampion di setiap sisinya. Bagi yang memeluk agama Buddha, kamu bisa pula menyempatkan diri untuk beribadah sejenak sebelum kembali ke Singapura dan menjalani rutinitas.
Puas berkeliling, kumparan kembali ke titik awal untuk mengembalikan sepeda, dan bersiap kembali. Meninggalkan Singapura yang kental dengan masa lampau di Pulau Ubin dan menikmati modernitas, serta teknologi yang ditawarkan ibu kota.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT