Inspiring Hijaber: Atina Maulia, Dirikan Vanilla Hijab Bermodal Nekat

31 Mei 2019 16:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atina Maulia, pendiri Vanilla HIjab Foto: dok. Instagram @ceritavanilla
zoom-in-whitePerbesar
Atina Maulia, pendiri Vanilla HIjab Foto: dok. Instagram @ceritavanilla
ADVERTISEMENT
Hadirnya media sosial seperti Instagram membuka ladang usaha baru bagi orang-orang yang ingin memulai usaha kecil-kecilan. Hal ini dimanfaatkan oleh seorang perempuan bernama Atina Maulia (26) yang memulai berjualan hijab di Instagram pada Maret 2013 lalu dengan nama Vanilla Hijab.
ADVERTISEMENT
Sempat menjalani kuliah Teknik Perminyakan di ITB dan bermimpi untuk bekerja di bidang perminyakan, Atina tiba-tiba jatuh sakit. Ia terkena penyakit autoimun yang membuatnya sulit beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya. Hal ini membuatnya harus mengikhlaskan diri keluar dari ITB dan fokus menjalani pengobatan.
Di sela-sela waktu berobat itulah, Vanilla Hijab hadir sebagai ‘pelarian’ atas rasa bosan dalam menjalankan hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi Atina. Tetapi siapa sangka, enam tahun kemudian Vanilla Hijab berkembang pesat menjadi salah satu online shop hijab yang paling diminati. Hingga saat ini, akun Instagram @vanillahijab diikuti oleh 1,3 juta followers dan setiap koleksi baru yang dijual di Vanilla Hijab selalu ludes terjual
Kini, Atina menjalankan bisnis Vanilla Hijab bersama sang kakak, Intan Kusuma Fauzia. Di tangan kakak beradik itu, Vanilla Hijab perlahan meninggalkan image-nya sebagai online shop dan mulai menunjukkan dirinya sebagai sebuah brand busana muslimah.
ADVERTISEMENT
kumparan sempat berbincang dengan Atina beberapa waktu lalu tentang awal mulanya mendirikan Vanilla Hijab yang katanya hanya bermodalkan nekat. Termasuk nekat berjualan dengan barang yang belum tersedia, nekat menggelar fashion show tunggal, menjadi salah satu brand yang diundang untuk pamer karya di London Modest Fashion Week 2018, hingga mengumpulkan donasi yang akan disalurkan kepada para pengungsi di Suriah.
Seperti apa kisahnya? Simak perbincangan kami berikut ini:
Bisakah diceritakan singkat awal mula berdirinya Vanilla Hijab dan apa arti nama di balik 'Vanilla'?
Awalnya saya kuliah di Teknik Perminyakan ITB. Lalu saya terkena penyakit autoimun dan mengharuskan saya untuk cuti kuliah karena sakitnya sudah lama dan tidak sembuh-sembuh. Dokter bilang saya harus kembali ke Jakarta untuk melakukan pengobatan dengan benar karena saya sampai harus duduk di kursi roda. Jadi sewaktu ujian di lantai dua atau tiga, saya harus dibopong oleh teman-teman karena saya tidak bisa berjalan dan naik tangga.
ADVERTISEMENT
Setelah memutuskan cuti kuliah dan ketahuan bahwa penyakit saya memerlukan pengobatan jangka panjang, mama bilang selama cuti saya kuliah saja lagi di Jakarta. Akhirnya saya kuliah di tempat kakak, di PPM Menteng pada 2013. Tetapi saat menjalankan kuliah dari jurusan teknik ke manajemen, saya berada di fase di mana saya tidak suka dengan hidup saya. Jurusannya tidak suka, teman-temannya baru. I really hate my life. Dulu mimpi saya lulus kuliah teknik perminyakan ingin kerja di perusahaan minyak seperti Chevron. Ini tiba-tiba saya pindah kampus yang saya sendiri tidak tahu lulusannya apa dan mau kerja di mana.
Dari situlah saya berpikir untuk membangun mimpi baru. Selain itu, saya sudah cukup menghabiskan banyak uang orang tua untuk pengobatan dengan waktu lama. Makanya saat masuk kampus baru, saya berniat untuk melunasi biaya-biayanya dengan uang saya sendiri. Saya mikir, saya bisa apa untuk menghasilkan uang dengan kondisi fisik yang begini? Panjang ceritanya, saya sempat berpikir jualan pisang goreng juga.
Atina Maulia, pendiri Vanilla HIjab. Foto: dok. Instagram @ceritavanilla
Suatu hari, saya iseng pinjam handphone kak Intan untuk buka Instagram, saya lihat kak Intan follow Dian Pelangi. Dari situ saya amati kok ini orang-orang berhijab lucu sekali hijabnya. Saya lihat yang jualan hijab hanya diletakkan begitu saja dan difoto, sepertinya gampang. Berbeda dengan jualan baju dan sepatu yang banyak ukurannya, jualan hijab hanya ada satu ukuran saja.
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya bilang mama ingin jualan hijab dan minta diantarkan ke Pasar Mayestik untuk beli bahan, padahal saat itu saya belum berhijab. Bermodalkan iPad dari papa untuk kuliah, saya pakai itu untuk foto-foto bahan, langsung buat Instagram dengan nama @vanillahijab dan upload foto-fotonya di sana, padahal belum ada barangnya. Baru kalau ada yang beli dan sudah bayar, saya balik ke Pasar Mayestik lagi untuk potong bahan dan jahit di sebelah toko kain itu.
Saya juga dulu enggak tahu gimana cara kirim barang dan menentukan ongkos kirim, benar-benar gaptek sekali, harus googling dulu. Untuk mendapatkan followers-nya, saya buka Instagram Dian Pelangi, lihat followers-nya dan like foto-foto mereka. Sehari harus like 500 orang, gantian dengan mama dan ponakan juga. Waktu itu, satu bulan jualan sudah dapat 500 followers. Dari situ awalnya Vanilla Hijab Berdiri.
ADVERTISEMENT
Nama Vanilla sendiri karena saya mencari nama yang gampang diingat. Karena waktu itu sedang berada di fase membenci kehidupan, saya mikirnya nama ini harus bisa bikin saya cheer up. Jadi kepikiran nama-nama makanan, dan ternyata benar nama Vanilla mudah diingat.
Memutuskan berjualan hijab di pada 2013 lalu, tetapi belum berhijab. Lalu apa yang membuat Atina akhirnya memutuskan untuk mengenakan hijab?
Saya berhijab di tahun ke-2 atau ke-3 Vanilla Hijab berdiri. Jadi selama berjualan hijab, 2 tahun saya tidak berhijab tetapi saya menjual hijab. Dan karena saya sering mencari hijab ke Tanah Abang atau Thamrin City dengan baju kuliah, sering ‘digodain’ abang-abang, malas kan. Lalu kemudian saya mencoba pakai hijab, merasa lebih nyaman dan terlindungi. Dari situ saya mantap pakai hijab. Memang masih baru, ini baru masuk tahun ke-4. Saya juga tidak suka hijab yang ribet, gaya hijab saya simpel, hanya hijab segi empat saja.
ADVERTISEMENT
Vanilla sendiri awalnya adalah online shop yang menjual hijab, apa yang membuat Atina akhirnya mantap memproduksi label hijab sendiri?
Saya mantap bikin label sendiri di tahun ke-2 atau ke-3 karena lama-lama bosan barang-barang di Thamrin City dan Tanah Abang gitu-gitu saja. Saya juga seleksi, saya tidak mau jual barang yang menurut saya tidak bagus dari segi warna dan bahannya. Rasanya ingin bikin sendiri saja.
Saya yang waktu itu umur 20 tahun tidak ada koneksi dan orang mungkin juga tidak akan percaya kalau saya ingin beli barang banyak. Akhirnya saya hanya bisa beli di Mayestik saja, bahan pertama yang saya beli bahan diamond. Lama-lama, Mayestik harganya mahal. Akhirnya, saya berpikir untuk cari penjahit. Setiap hari saya, papa dan supir mengitari Haji Nawi untuk mencari penjahit sepeda keliling, akhirnya ketemu dan kami produksi sendiri.
ADVERTISEMENT
Sejak tiga tahun lalu, Vanilla juga merilis tunik, blus dan dress. Apa yang mendorong Vanilla untuk merilis koleksi modest wear?
Awalnya busan pertama yang kami jual itu rok. Kami mulai jualan busana di tahun ke-3. Kami tidak produksi sendiri tapi beli jadi, begitu dijual ternyata responnya bagus. Akhirnya kami ngobrol sama yang jual, tanya apakah dia ada konveksi atau tidak. Jadi saya yang mencarikan bahannya, konveksinya yang menjahit. Akhirnya dia mau. Semuanya serba cari tahu sendiri dan sejak saat itu kami merilis koleksi busana.
Satu yang menarik dari Vanilla Hijab, setiap merilis produk terbaru selalu habis dalam satu hari saja. Adakah pengalaman menarik Atina saat melayani permintaan pembeli yang membludak?
ADVERTISEMENT
Vanilla Hijab bisa dibilang pioneer online shop, karena di 2013 online shop masih sedikit sekali tidak seperti sekarang. Brand-brand yang masih bertahan bisa dibilang seleksi alam karena semakin sedikit.
Untuk menerima order, jujur sempat kewalahan. Dulu sebelum ada website Vanilla Hijab, kami pakai whatsapp untuk terima orderan. Saya dan admin benar-benar bangkit dari duduk hanya untuk salat dan makan, sisanya duduk saja. Lama-lama kami merasa itu tidak sehat. Leher sakit, pusing, badan kaku, seperti tidak ada kehidupan lain selain balas orderan di whatsapp.
Dan yang mengirim chat ke kami pun hanya bisa centang satu, tidak delivered pesannya. Ternyata, ribuan orang yang mengirim chat dalam waktu bersamaan, tapi mau bagaimana lagi. Kami bukan providernya.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, Vanilla Hijab menggelar fashion show tunggal 'Menyapa Senja'. Bisa ceritakan tentang show terbaru ini?
Awal Januari kemarin saya balik dari Suriah dan langsung berpikir untuk fokus menggelar fashion show. Saya ingin membuat fashion show di Istora Senayan dan langsung saja saya buat folder kerja di laptop tulisannya Istora 2019. Padahal saat itu saya belum tahu bisa dapat tempat di sana atau tidak, saya tidak tahu harus minta izin kemana, harus menghubungi siapa, tapi karena saya yakin jadi saya coba. Agak nekat sih sebenarnya, sempat bingung juga. Tapi akhirnya saya buka webnya, ada langkah-langkah yang harus diikuti dan bertemu perwakilan di sana. Karena di Istora ada jadwal lain, akhirnya digeser ke Aquatic Stadium. Lebih ‘gila’ lagi, kami urusin ini semua tidak pakai Event Organizer dan tidak ada vendor untuk mendekor juga.
Sandiaga Uno (tengah)saat menghadiri Vanilla Hijab Annual Show 2019 di Stadion Akuatik GBK, Jakarta, Kamis (2/5). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Untuk fashion show, sebenarnya sejak tahun lalu kami selalu menggelar sebelum Ramadhan. Tahun lalu di La Moda Plaza Indonesia. Saat itu pihak La Moda juga kaget, karena sebelumnya di Plaza Indonesia itu kurang terbuka dengan brand busana muslim. Jadi bisa dibilang, kami adalah brand muslim pertama yang tampil di Plaza Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu strategi Vanilla Hijab dalam menggaet pembeli adalah menampilkan model yang mayoritas adalah influencer atau selebgram berhijab. Bisa diceritakan apa alasannya? Apakah hal tersebut berpengaruh terhadap jumlah pembeli yang meningkat?
Lagi-lagi, kami berangkat dan berkembang bersama. Dari para influencer tersebut masih baru hingga seperti sekarang. Dari mereka belum menikah hingga sekarang sampai punya anak. Dan karena mereka juga semakin terkenal dan sulit mengatur jadwalnya, kami cukup terbuka dengan wajah-wajah baru.
Annual Show 2019 Vanilla Hijab 'Menyapa Senja'. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Memang hal itu cukup mempengaruhi penjualan karena wajah mereka sudah familiar dan orang yang ingin membeli pun jadi percaya. Tetapi kami tidak boleh berpikir seperti itu. Kami menganggap ini adalah bagian dari inovasi dan sebuah langkah yang bagus kalau kami bisa mengajak mereka untuk berkembang bersama-sama dengan menjadi model kami.
ADVERTISEMENT
Selain berbisnis, Vanilla Hijab dikenal memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. Beberapa waktu lalu, Atina sempat pergi ke Suriah membawa bantuan hasil donasi para customer Vanilla Hijab. Bisakah berbagi cerita seputar perjalanan kemanusiaan itu?
Vanilla berkolaborasi dengan Aksi Cepat Tanggap (ACT), waktu itu mereka minta kolaborasi untuk membuat desain produk edisi musim dingin dan hasil penjualannya disumbangkan untuk teman-teman di tenda pengungsian di Suriah. Saya agak kaget karena saat itu mereka datang ke rumah, mengajak kolaborasi mendadak di bulan Desember dengan target penjualan di Januari. Mepet sekali, tapi saya coba dulu saja. Alhamdulillah banyak dibantu oleh influencer yang menyebarkan berita ini dan penjualannya luar biasa. Kami bisa mengumpulkan hampir setengah miliar rupiah untuk donasi. Kemudian ACT mengajak kami untuk berangkat bersama ke Suriah, saya pikir kenapa tidak? Sekalian bisa live report untuk pelanggan Vanilla Hijab yang sudah ikut berdonasi.
ADVERTISEMENT
Yang saya ambil pelajarannya setelah kembali dari Suriah, sebagai orang Indonesia kita harus banyak bersyukur. Di sini suasananya kondusif sekali untuk tinggal, bekerja dan beribadah. Di sana mereka tinggal perbatasan. Saya bertemu dengan satu anak yang badannya tinggal setengah karena dia kejatuhan bom. Kondisi kita di sini jauh lebih baik jadi jangan kebanyakan protes atau mengeluh.
Vanilla Hijab juga sempat terpilih tampil di London Modest Fashion Week 2018 lalu namun memilih untuk tidak berpartisipasi, mengapa?
Kami ditawari oleh pihak London Modest Fashion Week (LMFW) untuk tampil di sana, tidak menyangka sama sekali sampai kami berpikir apakah ini hoaks atau bukan. Tetapi lagi-lagi, waktunya mepet sekali cuma satu bulan persiapan. Kami juga bukan desainer, kami ini pedagang hijab yang membuat desain itu memakan waktu cukup lama. Dengan berat hati kami melepas ajakan itu.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali pihak yang menyuruh kami ikut kembali di LMFW, tetapi kami masih belum percaya diri untuk menuju ke sana.
Sudah menjadi brand busana muslim yang cukup dikenal, apakah ada rencana untuk berkolaborasi dengan desainer atau influencer hijab?
Sejauh ini kami belum pernah kolaborasi dengan siapa-siapa kecuali dengan ACT. Kami berpikir kolaborasi itu haruslah yang spesial, kami tidak mau sekadar mengikuti tren kolaborasi saja. Kami harus punya visi misi sendiri. Karena sekarang itu kolaborasi banyak sekali dan gampang sekali. Misalnya, satu brand kolaborasi dengan empat selebgram, atau satu selebgram kolaborasi dengan empat brand. Kadang kami jadi tidak bisa membedakan kolaborasinya, dunia fashion sudah terlalu banyak kolaborasi saat ini sampai-sampai sudah tidak terasa lagi apa yang membuat kolaborasi tersebut spesial.
ADVERTISEMENT
Kami tidak mau terbawa arus kolaborasi itu. Bahkan ada selebgram yang menawarkan diri untuk buat koleksi kolaborasi, desainer juga beberapa ada yang mengajak kolaborasi. Tapi menurutku, our very first collaboration must be really special. Kami tidak mau kolaborasi berdasarkan bisnis saja, kolaborasi harus sustain, ada pesan yang ingin disampaikan dan membawa banyak manfaat untuk kita semua.
Selama berbisnis hijab, adakah pengalaman yang berbekas di hati?
Banyak pembeli yang tidak kebagian produk kami akhirnya mereka membeli di jasa titip (jastip). Jadi yang menjual jastip itu, mereka beli sendiri kemudian dijual lagi. Seperti calo jadinya. Dulu kami sempat membatasi orderan satu orang satu order saja, tapi orang-orang tidak mau, katanya mau pakai kembaran dengan ibu-ibu dan teman sekantornya. Akhirnya diubah lagi sistemnya, satu orang bisa beli maksimal empat baju.
ADVERTISEMENT
Tapi semakin kesini, ya sudahlah, mungkin yang membuka jastip itu berniat untuk membantu mereka yang tidak bisa beli di website. Jadi kami jual baju Lebaran harganya Rp 650 ribu, ada yang buka jastip dan jualnya seharga Rp 1 jutaan. Baju yang kami jual Rp 450 ribu, dijual lagi di jastip harganya Rp 850 ribu dan ada saja yang beli.
Pengalaman penting lainnya adalah saat kami bekerja sama dengan Swarovski. Jadi awalnya kami punya teman orang Malaysia dan dikenalkan dengan pihak Swarovski. Prosesnya cukup alot, kurang lebih satu tahun dua bulan baru akhirnya kami dapat logo partnership. Lagi-lagi, kami sebagai online shop menjadi pendobrak utama yang bekerja sama dengan Swarovski dan saat itu cukup kontroversial. Orang dari Swarovski-nya juga datang ke sini untuk verifikasi. Sampai sekarang, kami sudah mau jalan tiga tahun berpartner dengan Swarovski, seluruhnya dikirim dari Austria. Bulan depan, kami juga ada kerja sama lagi dengan Swarovski. Mereka juga memantau produk dan penjualan kami yang mengenakan Swarovski.
ADVERTISEMENT
Selama menjalankan Vanilla Hijab, apa saja yang menjadi tantangannya utama Atina? Dan bagaimana cara mengatasi tantangan tersebut?
Saya menggeluti Vanilla Hijab selama enam tahun. Tantangan yang paling berat itu surviving dan terus membuat inovasi setiap hari. Semakin banyaknya kompetitor yang masuk, ibaratnya industri ini sebagai laut merah. Tetapi kembali lagi, bagi saya industri ini saya jadikan pekerjaan sekaligus ladang ibadah.
Bisnis ini dijalankan oleh kakak-adik, pernahkah mengalami perbedaan pendapat atau adu argumentasi? Dan apa saja tantangan berbisnis dengan saudara sendiri?
Adu argumentasi dalam hal pekerjaan sering, bukan tentang hal personal ya. Dibanding tantangan, sebenarnya malah kebanyakan sukanya sih. Jadi peran kakak saya lebih banyak keuangannya. Ibaratnya kalau bisnis di lingkup yang lebih besar ada potensi menusuk dari belakang oleh orang yang pegang keuangan. Tetapi kalau keluarga sendiri kan kecil kemungkinannya untuk ‘ditusuk’ dari belakang. Dan enaknya lagi bisa satu visi misi. Tapi bagi kami, daripada memikirkan uang, uang, dan uang saja, kami lebih mencari keberkahan dan menjalankan bisnis ini.
ADVERTISEMENT
Apakah Atina memiliki role model dan mentor dalam menjalankan bisnis?
Untuk role model sebenarnya saya tidak terlalu banyak ngefans dengan orang. Tapi saya suka tokoh seperti Hellen Keller, Edison dan Walt Disney. Saya melihat semangat mereka yang pantang menyerah. Kalau role model perempuan saya Siti Khadijah, dia melimpahkan hartanya untuk agamanya. Untuk orang Indonesia, Pak Sandiaga sepertinya bisa dijadikan contoh untuk pengusaha.
Untuk mentor, saya kebetulan suka bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih tua dan lebih ahli. Seperti Pak Hadi Kuntjoro yang senior. Saya senang banyak mendapatkan masukan-masukan yang membuka pikiran. Justru saya belajar banyak bukan dari dunia fashion, tapi dari brand sampo, brand sepatu, brand IT.
Saya belajar banyak bagaimana caranya Vanilla tidak hard selling sekali. Dulu saya tidak mengerti branding itu apa, bertemu banyak orang banya dapat masukan. Akhirnya saya membuat video campaign, banyak mengambil inspirasi dari brand-brand luar negeri seperti Louis Vuitton, Gucci dan Dior.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau kita simpulkan, sebenarnya apa rahasia dari kesuksesan Vanilla Hijab?
Rahasianya? Jujur saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini, bahkan saat talkshow juga saya tidak bisa jawab. Tetapi semakin ke sini, pemikiran saya dan tim Vanilla Hijab merasa bahwa manusia itu hanya bisa berusaha, tetapi di balik itu usaha yang kita lakukan ditentukan oleh Tuhan. Apakah usaha kita diridhai Allah atau tidak?
Ibaratnya, kita ikhtiar. Dan kalau sudah dapat hasilnya, jangan merasa bahwa itu hasil ikhtiar kita sebagai manusia yang punya ilmu jago marketing atau desain atau apa. Balik lagi semuanya itu karena Allah memudahkan usaha dan meridhoi usaha kita.
Jadi kalau ditanya apa rahasianya? Kembali lagi ke tujuan awal kita berbisnis buat apa. Itu yang selalu saya bilang dengan teman-teman lainnya yang mau usaha. Niatnya adalah buka usaha dengan jangka panjang, jangan cuma ingin usaha karena ingin beli tas Hermes atau Louis Vuitton atau jalan-jalan tiap bulan, terus kalau ada ujian di tengah jalan menyerah begitu saja.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau kita punya visi usaha jangka panjang, kita punya usaha itu sustainable dan bisa membantu orang-orang di sekitar. Dengan tujuan usaha long term itu, kita buka buka lapangan kerja untuk orang lain dan kalau ada ujian di tengah jalan jadi tidak patah semangat.
Apa rencana Vanilla Hijab ke depannya?
Selama ini, kami masih terus berusaha belajar banyak. Kami punya niatan ingin membuka toko di kota-kota lain. Tapi sejauh ini, peminat terbesar banyaknya dari Jakarta dengan rentang usia pembeli mulai dari 22 tahun hingga 35 tahun.