Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, riset terbaru dari Ceretai untuk BBC 100 Women mengungkapkan, bahwa karakter pria masih menjadi pusat perhatian dan menempati posisi teratas ketika berhubungan dengan jumlah dialog yang disampaikan pada keseluruhan seri.
Dari total delapan musim Game of Thrones, karakter pria setidaknya memiliki 75 persen jumlah dialog dari seluruh waktu bicara serial fantasi ini. Artinya, karakter perempuan hanya memiliki 25 persen jumlah dialog di keseluruhan musim Game of Thrones.
Waktu bicara karakter perempuan di Game of Thrones selalu bervariasi antar musim. Diawali dengan jumlah dialog yang sangat sedikit di musim pertama, lalu naik secara signifikan hingga musim ketujuh.
Proporsi waktu bicara tertinggi karakter perempuan Game of Thrones ada pada musim keempat episode lima dengan judul First of His Name. Pada episode ini, dialog Cersei Lannister dan Daenerys Targaryen setidaknya memiliki setengah waktu dari keseluruhan episode tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, musim kedelapan yang baru saja berakhir minggu ini pada Senin (20/5) lalu, malah menduduki posisi terakhir dan terburuk untuk jumlah waktu bicara karakter perempuan. Padahal, musim terakhir ini menjadi fokus terhadap karakter-karakter kuat perempuan untuk bersinar. Contohnya, momen Daenerys Targaryen mengklaim Iron Throne, momen terakhir Cersei Lannister sebagai Ratu Westeros, hingga momen Sansa Stark sebagai Queen of the North.
Fakta ini secara signifikan memperlihatkan ketimpangan yang besar antara jumlah dialog peran laki-laki dan perempuan di Game of Thrones. Berdasarkan riset dari USC Annenberg yang menganalisa 900 film populer dunia, jumlah tersebut bahkan lebih rendah dari rata-rata industri perfilman sendiri yang biasanya berkisar di 30 persen jumlah dialog perempuan.
Ceretai sendiri adalah sebuah start-up asal Swedia yang menggunakan mesin untuk menganalisa keberagaman dalam budaya populer. Algoritma dari mesin tersebut dapat mengidentifikasi suara pria dan perempuan, yang akhirnya menyajikan data terhadap perbedaan waktu bicara dan presentase dari setiap gender.
ADVERTISEMENT
Seperti kebanyakan sistem otomatis, angka-angka tersebut tak selalu tepat sasaran dalam mengambil keputusan. Namun, keakuratan algoritma dari mesin tersebut setidaknya berkisar di angka 85 persen, yang bisa sedikit lebih tinggi atau sedikit lebih rendah dari angka yang dilaporkan. Meski begitu, data tersebut tetap menunjukkan ketimpangan antara waktu bicara karakter pria dan perempuan dalam serial Game of Thrones ini.
Lisa Hamberg, salah satu pendiri Ceretai, mengungkapkan pada BBC, analisa dan riset ini mereka lakukan untuk memberi kesadaran pada penonton tentang bagaimana perempuan digambarkan dalam media dan industri populer ini.
"Kami melakukan ini bukan untuk mengajak orang berhenti menonton Game of Thrones, tetapi untuk membuat mereka sadar akan fakta bahwa ini adalah representasi perempuan yang kurang adil," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Temuan ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan para penggemar. Di balik keseruan jalan cerita yang dihadirkan, momen menegangkan yang disuguhkan, hingga momen-momen menggelitik yang disampaikan Game of Thrones, serial ini tak luput dari berbagai kritikan tentang bagaimana mereka memperlakukan peran perempuan. Mulai dari adegan perempuan yang dijadikan objek seks, kekerasan terhadap perempuan, dan masih banyak lagi.
Selain Ceretai, sebuah firma software dari Amerika Serikat bernama Looker, juga melakukan analisis terhadap dialog yang disampaikan antara karakter pria dan perempuan di Game of Thrones untuk musim 1 hingga 7.
Dalam data tersebut terungkap bahwa rata-rata kata yang digunakan karakter pria adalah kata-kata maskulin, seperti: men, man, King, dan Lord.
Sedangkan kata terbanyak yang digunakan karakter perempuan dalam serial ini didominasi dengan kata-kata, seperti: love, leave, please, husband, dan master.
ADVERTISEMENT
"Secara keseluruhan, tindakan dan kata-kata yang dicerminkan karakter perempuan di serial ini masih sangat kental dengan stereotip yang berhubungan dengan gender," ungkap Sooji Kim, manager optimisasi Looker kepada BBC.
Menurut Lisa Hamberg, meski Game of Thrones hanyalah satu dari berbagai banyak program lainnya, ini menunjukan masalah besar dalam dunia budaya populer.
"Kita semua semakin sadar akan peran perempuan yang dimainkan dalam dunia perfilman. Tapi, jika kita memiliki karakter perempuan yang kuat namun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara-- artinya kita masih gagal," tutup Lisa Hamberg.