news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Antisipasi Kekerasan Pelajar, Sekolah Awasi Siswa Lewat Forum Khusus

1 Desember 2018 12:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Maraknya kekerasan yang terjadi di antara para pelajar membuat sekolah enggak bisa tinggal diam mengawasi siswanya di dalam pagar sekolah saja. Justru, kekerasan dalam bentuk tawuran atau bullying banyak terjadi di luar sekolah.
ADVERTISEMENT
Apalagi kalau kekerasan tersebut dibungkus dalam bentuk perhelatan tarung gladiator/partai. Tarung satu lawan satu untuk mewakili kelompok tongkrongan atau sekolah ini punya tempat khusus yang ditentukan lebih dulu melalui persetujuan masing-masing pihak. Dengan begitu sekolah pun enggak mengetahui perhelatan partai ini.
Terbukti, selama 32 tahun mengabdi menjadi pendidik, Agusman Anwar, Kepala SMA Negeri 8 Jakarta mengaku belum pernah menemui kasus partai. Terakhir ia mendengar kasus semacam itu ketika tewasnya seorang siswa di Bogor akibat tarung gladiator. Saat ditemui di sekolah, Agusman bahkan tak familiar dengan istilah partai pada awalnya.
“Mudah-mudahan, amit-amit, jangan sampai (terjadi partai) dah. Kita belum pernah mendengar itu, mendengar (kasus) partai. Malah tadi saya (maksudnya) partai itu apa? Oh berarti man to man itu partai namanya. Berarti enggak gaul saya,” tutur Agusman.
ADVERTISEMENT
Meski enggak gaul soal istilah partai, kepsek salah satu SMA favorit di Jakarta itu mengklaim telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan antarsiswa di sekolah maupun di luar sekolah secara umum.
Bersama dengan pihak kecamatan, orangtua, dan pihak keamanan setempat, sekolah di DKI Jakarta biasanya membentuk apa yang dinamakan sebagai Forum Keamanan Bersama Sekolah (FKBS). Lewat forum tersebut, sekolah dan pemangku kepentingan terkait bergiliran memantau di tempat-tempat yang dianggap rawan.
“Makanya di (FKBS) sini kita udah melakukan apa yang namanya pengidentifikasian titik-titik rawan. Titik rawannya apa, jam berapa,” kata Agusman yang juga memangku jabatan Wakil Ketua FKBS Kecamatan Tebet.
Dalam wilayah pantauan sekolah Agusman saja, di Kecamatan Tebet, ada delapan lokasi yang dianggap rawan terjadi kekerasan pelajar. Di antaranya Taman Honda, Bedeng, GOR/Balai Rakyat Tebet, Bundaran Slamet Riyadi, pintu kereta Bukit Duri, dan beberapa kolong jembatan seperti di depan Hotel Haris, dekat Terminal Manggarai, sampai dekat Athahiriyah arah Kampung Melayu.
Pantauan sekolah terhadap titik rawan kekerasan pelajar di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pantauan sekolah terhadap titik rawan kekerasan pelajar di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Dengan mengidentifikasi titik-titik rawan itu siswa menjadi terpantau aktivitasnya di luar sekolah. Jika terpantau indikasi adanya kekerasan pelajar pada jam rawan tertentu, maka sekolah enggak segan-segan bertindak.
ADVERTISEMENT
“Kalau begitu ada terlihat indikasi Taman Honda (misalnya) kelihatan ada anak kumpul, nah kita mulai tuh turun, dari Polsek pun juga mungkin memonitor intelnya seperti apa. Jadi mencegah (terjadi kekerasan) jauh lebih baik,” ujar Agusman.
Namun begitu Agusman mengaku tak pernah mendapati ada laporan kasus partai dalam pantauan wilayahnya. Soalnya, menurut dia perhelatan partai ini bersifat senyap.
“Karena kalau udah man to man, kan, enggak kelihatan bareng-bareng. Kalau tawuran kan ramai-ramai, kalau satu orang satu orang kan, walaupun yang berantem satu (ada) yang ngiringin, tapi kan silent. Nah itu mungkin pembelajaran buat kami ke depan,” terang Agusman.
Antisipasi kekerasan pelajar secara ketat pun pernah dilakukan oleh SMA Negeri 3 Jakarta (Smantig) pascamencuat kasus bullying pelajar tahun 2015 silam. Sekolah tersebut juga punya FKBS yang penerapannya lebih mirip darurat perang saat itu.
ADVERTISEMENT
“Kami bekerja sama dengan orangtua dan alumni. Dari alumni pun kita diarahkan menghadap Bapak Tito Karnavian yang masih menjadi Kapolda Metro Jaya saat itu untuk meminta bantuan pengawasan dan pengamanan lingkungan SMA 3,” tutur Ratna Budiarti, kepsek yang menangani kasus bullying di Smantig.
Ratna mengatakan bahwa dulu kekerasan dalam bentuk bullying terjadi kebanyakan di luar wilayah sekolah. Para siswa junior kadang dipalak dan dikerjai oleh senior ketika nongkrong.
“Oleh karenanya sejak itu, ketika mengadakan kegiatan di sekolah kami libatkan siswa dari kelas X, XI, dan XII agar mereka membaur. Contohnya pada kegiatan sarapan pagi bersama yang dihelat sampai tiga kali berturut-turut,” terangnya.
Kasus kekerasan pelajar di Indonesia. (Foto: Anggoro Fajar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kasus kekerasan pelajar di Indonesia. (Foto: Anggoro Fajar/kumparan)
Sembari melakukan kegiatan-kegiatan kolaboratif untuk semua siswa, sekolah itu juga menggalakkan pembinaan rutin. Secara berkala, terkadang pembina upacara dihadirkan dari pihak Polri atau TNI.
ADVERTISEMENT
“Jadi anak-anak itu tahu kita sedang membina, sedang mengarahkan mereka untuk menghilangkan bullying di sekolah,” kata kepala sekolah yang saat ini sudah dipindahtugaskan ke SMA Negeri 70 Jakarta.
Penerapan FKBS dan pengawasan siswa ini terbukti ampuh hingga kini Smantig menyabet titel Sekolah Ramah Anak. Menurut Ratna kuncinya adalah bagaimana sekolah bisa melibatkan semua komponen dari pihak siswa, alumni, orangtua, keamanan, dan guru itu sendiri.
“Dulu kita ada piket guru dan staf sampai sore, kemudian shift selanjutnya ada alumni sampai malam berjaga di sekolah masing-masing tiga orang. Mereka (yang piket) keliling naik motor sekitar radius 2 kilometer, kalau ketemu anak yang nongkrong kita suruh pulang,” jelas Ratna.
Upaya yang telah dilakukan tersebut butuh waktu dua tahun lamanya untuk berdampak pada bebasnya sekolah dari bullying. Semua itu tidak akan berhasil tanpa komitmen dan kerja sama semua pihak.
ADVERTISEMENT
“Tanggung jawab (membebaskan sekolah dari kekerasan) ini, bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi tanggung jawab orangtua dan juga masyarakat,” tutup Ratna.
-------------------------------------------------
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar.