Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Sejak melepas masa lajang, bimbang kerap menghinggapi Uta. Bukan soal tak siap berumah tangga tapi penggila sneaker ini harus lebih sering menahan nafsunya belanja sepatu. Kebutuhan dapur kini lebih menuntut dompetnya.
Mengoleksi sneaker impor dengan harga selangit sudah dilakoni sejak lulus kuliah. Hasilnya beragam sneaker seperti Adidas Hamburg, Nike Air Max 90, dan Puma Suede tersusun rapi di rak belakang pintu rumah Uta.
Membeli barang itu bukan perkara sepele. Ia harus pintar mengirit duit. Maklum, harga sneaker impor rata-rata sejuta keatas.
Kebutuhan rumah tangga lambat laun mengubah pandangan Uta terhadap sneaker, kini ia mulai melirik sneaker lokal. Hal itu bermula ketika ia menyiapkan seserahan untuk calon istrinya. Tanpa sengaja ia menemukan produk sneaker lokal ‘pijakbumi’ yang dirasa cocok untuk istrinya.
“Desainnya oke banget kalau dipakai sama cewe. Dikemas jadi seserahan juga oke,” cerita Uta kepada kumparan, Rabu (25/9).
Berawal dari desainnya yang menarik itu, Uta mulai mencari tahu sisi lain sneaker lokal. Pijakbumi misalnya, pemakaian bahan eco friendly sebagai material utama membuat merk itu berbeda dengan sneaker lain. Lebih dari itu, harga murah menjadi nilai plus tersendiri.
Akan tetapi tak semua sneaker lokal mudah untuk dimiliki. Untuk pertama kalinya ia merasa kesulitan ketika ingin membeli sepatu Compass Gazzele. Beberapa kali ia mencoba membeli melalui situs resmi Compass hasilnya selalu habis. Hal sama pun ia temui ketika mencari lewat toko online distributor resmi.
Ya, sneaker asal Bandung itu memang sedang digandrungi masyarakat. Compass menjadi primadona baru di semesta sneaker, harga retailnya yang cuma Rp 280 ribu untuk model low cut, dan Rp 318 ribu untuk high cut. Desainnya yang kekinian dengan aksen Gazzele di bagian upper menambah ciamik.
Tak heran jika masyarakat khususnya kaum milenial berbondong-bondong ingin membeli. Tetapi mereka harus sedikit bersabar. Pasalnya, dalam sebulan Compass hanya memproduksi sebanyak tiga ribu pasang sepatu.
Bukan tak mau memproduksi massal, ketidakmampuan pabrik Compass memproduksi dalam skala besar menjadi alasan utama. Maka tak heran jika Uta dan banyak masyarakat lainnya sulit mendapatkan sepatu yang di re-brand oleh Aji Handoko itu.
Akibatnya, harga resale Compass melambung hingga dua bahkan tiga kali lipat dari harga retail. Di beberapa toko online misalnya, paling murah sepatu Compass basic dibanderol dengan harga Rp 600 ribu dan Rp 2,5 juta untuk seri Compass Proto 1 Hi, Research & Destroy.
Nyatanya, masyarakat tetap membeli sepatu Compass meski harga resale-nya melambung tinggi. Uta misalnya, tidak mempermasalahkan harga sepatu Compass yang naik dua kali lipat. Baginya yang terpenting bisa memiliki sepatu tersebut.
“Ya males aja sebenarnya nunggu dan mantau akun resmi Compass terus. Di Instagram ada yang jual (dengan) desain yang gue suka, warna yang gue suka, terus harganya enggak semahal (reseller) yang lain,” imbuhnya. “Karena sepatu Compass yang paling terkenal sekarang lagi hype, gue bela-belain tuh (beli) dua kali lipat harganya.”
Sneaker lokal memang sedang menggila. Sejak empat tahun terakhir, sneaker lokal melonjak naik dan mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat. Terlebih gerakan #LocalPrideIndonesia yang selama ini sering digaungkan suka tidak suka berpengaruh signifikan terhadap pesatnya daya beli masyarakat.
Tren sneaker lokal melonjak sejak tahun 2016. Saat itu Piero mengeluarkan seri Piero Jogger Burgundy yang diterima dengan baik oleh pasar. Saat itu Piero langsung viral dan menjadi bahan pembicaraan. Tak mau ketinggalan momen, League juga mengeluarkan artikel terbaiknya.
Melihat pangsa pasar sneaker lokal yang sedang meningkat tajam, produsen sneaker lokal pun mulai nampak ke permukaan. Word Division--sneaker asal Bandung meramaikan pasar dengan siluet Vans Old Skool yang memang banyak disukai anak muda pada tahun 2017.
Saat itu Word Division menjadi buah bibir karena logo petir yang menjadi trademark dianggap meniru brand asal Amerika, Revenge X Storm milik Ian Connor. Tetapi Rizki Ferdinan, selaku Owner Word Division, membuktikan bahwa perusahaannya lebih dulu menggunakan logo petir.
“Dia bilang aku copycat dia, aku bilang ‘aku nggak copycat kamu. Lihat aja postinganku siapa yang lebih dulu posting logo petir. Kalau aku dari 2014’. Nah dari situ dia lihat, dan dia enggak komentar lagi,” ujar Rizki kepada kumparan, di Cibaduyut, Sabtu (21/9).
Persoalan itu menggugah nasionalisme masyarakat terhadap sneaker lokal. Masyarakat berbondong-bondong membeli Word Division. Sejak saat itu penjualan Word Division tidak pernah tidak habis terjual. Dari pelbagai macam artikel yang dirilis hanya dalam hitungan jam sudah ludes terjual.
Kejayaan sneaker lokal berlanjut di tahun 2017. Nah Project dengan seri Yoga FlexKnit Carbon menggebrak pasar nasional setelah Presiden Joko Widodo memakainya untuk berkegiatan sehari-hari. Tahun 2018, giliran Compass Gazzele yang mencuri perhatian khalayak.
Influencer sekaligus penggerak #LocalPrideIndonesia Tirta Mandhira Hudi menjelaskan tren sneaker lokal sebenarnya sudah ada sejak lama bahkan sebelum era media sosial. Tirta, yang juga sering mereview sneakers lokal menjelaskan bahwa tren sneaker lokal dimulai sejak era Kasogi, Homyped, dan Brodo.
“Sneaker lokal sendiri itu sudah naik sejak lama. Jadi apa yang terjadi sekarang itu sebenarnya cuma gunung es doang,” kata Tirta kepada kumparan, di Sage Tradecamp, Kuningan City, Jumat (13/9).
Lebih jauh, saat ini menurut Tirta, kini mulai banyak acara-acara pameran sneaker lokal semisal Jakarta Sneaker Day, Jakcloth, Brightspot, Sole Vacation, dan Indonesia Local Select. Khusus yang disebutkan terakhir, acara tersebut baru saja diselenggarakan di Gedung Sabuga, ITB, Bandung, pada 20-21 September 2019.
Kebanyakan produsen sneaker lokal merupakan pelaku industri usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kebanyakan dari mereka memanfaatkan UMKM dan pabrik kecil sebagai basis produksi sneaker lokal. Oleh karena itu, skala produksi mereka tentu tidak dalam skala besar.
Catatan tim riset kumparan, kini setidaknya sebanyak 40 brand sneaker lokal sudah meramaikan industri alas kaki tersebut. Bahkan saking tingginya daya beli masyarakat terhadap sneaker membuat Brodo yang selama ini memproduksi sepatu jenis leather juga turut memproduksi sneaker.
Co-Founder sekaligus CEO Brodo Yukka Harlanda menjelaskan perusahaannya sengaja mengambil risiko tersebut agar tetap bisa berkembang. Meskipun mendapatkan sedikit reaksi dari fans militan Brodo, menurutnya itu bukan menjadi soal karena Brodo masih menggunakan material kulit sebagai identitas Brodo selama ini.
“Jadi kebanyakan memang sneaker kita itu masih tetap pakai kulit. Jadi memang kita ikut meramaikan industrinya.” Kata Yukka kepada kumparan, di Bro.do Store, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (19/9).
“Sekarang (produksi) leather masih dominan, masih 70-80 persen. Tapi bisa dibilang growth-nya sneaker justru tinggi,” lanjutnya.
Demam sneaker, menurut Tirta memang tak lepas ketika Jokowi memakai NAH Project setiap kali berkegiatan dari mulai berolahraga hingga kunjungan kerja. Nama NAH kian melambung tatkala orang nomor satu di Indonesia itu membuat vlog soal kesukaannya terhadap sneaker lokal. Di dalam vlognya, Jokowi menyebutkan sneaker menjadi pilihannya dalam bekerja karena terasa ringan sehingga enak digunakan.
“Saya kira kita memiliki kemampuan besar dalam memproduksi produk yang memiliki kualitas yang baik, harga kompetitif, karena itulah daya saing Indonesia,” ujar Jokowi dalam vlognya.
Managing Director NAH Project Ifa Hanifah menjelaskan saat itu staf Presiden langsung yang memesan sebanyak sembilan pasang sepatu dengan ukuran 43 untuk dikirim ke Istana Bogor. Menurut Ifa, Jokowi effect cukup berperan penting terhadap tingkat keterjualan produknya.
“Sampai sekarang kalau ditanya orang yang kenal NAH kemungkinan besarnya ya NAH itu sepatu Pak Jokowi,” kata Ifa kepada kumparan, di Jalan Lombok, Bandung, Jumat (20/9).
Hingga kini, NAH Project telah mengeluarkan tiga artikel yang telah dirilis. Dari sekian banyak artikel tersebut, bisa dipastikan semuanya ludes terjual dalam hitungan menit saja.
Kolektor sekaligus influencer sneaker Anugrah Aditya menilai masifnya pembelian sneaker lokal tak lepas dari harganya yang sangat terjangkau. Menurutnya kegandrungan remaja akan sneaker lokal tak lepas dari harga sneaker impor yang kian melambung tinggi.
“Keinginan untuk mempunyai sepatu lokal tuh juga semakin tinggi (karena) ‘ngapain gua beli sepatu brand internasional yang harganya sudah unreachable ya ujung-ujungnya dipakai (dan) kotor. Jadi mending gua beli sepatu lokal tapi (tetep) keren’,” ujar Adit, di Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (24/9).
Kini, Adit telah memiliki beberapa sneaker lokal di lemarinya yakni Compas Proto 1 Hi Research & Destroy, Geoff Max, League, dan Rigio. Di antara beberapa sneaker lokal tersebut, Adit mengaku jatuh hati dengan Compass. Menurutnya Compass sangat relevan digunakan oleh anak muda.
“Masa kini banget dan harganya juga ekonomis. Hype effect menurut gue orang itu history-nya semakin jarang barang, mereka semakin pengen punya semua brand,” imbuhnya.
Senada, Uta juga mengamini bahwa desain dan harga sneaker lokal memang menjadi dua dari beberapa alasan kenapa seseorang harus membeli sneaker lokal. Alasan lainnya adalah tentu dengan membeli sneaker lokal sama juga dengan mendukung karya anak bangsa.
Sementara untuk segi kualitas tentu agak berlebihan jika membayangkan kualitasnya setara dengan dua pabrikan besar semisal Adidas dan Nike. Menurut Adit, dengan skala produksi UMKM, sneaker lokal tentu masih harus mengembangkan teknologi dan modalnya untuk bisa mengalahkan sneaker impor.
“Dibilang nyaman banget enggak, dibilang enggak nyaman juga enggak. Tapi sudah oke untuk bisa dipakai sehari-hari,” ujarnya, “Cuma kalau mau bersaing sama brand internasional harus dibuat lebih nyaman lagi.”
Menurut Tirta kualitas sneaker lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Menurutnya dari segi material bahan hingga proses produksi sneaker lokal sudah mulai bisa menyaingi para kompetitor asingnya. Selebihnya tinggal bagaimana masyarakat Indonesia mendukung penuh karya-karya anak bangsa ini.
“Nike, Adidas, Converse buatnya dimana? Di Indonesia. Sekarang kalau ditanya mutu brand lokal Indonesia berarti jelek apa bagus? Ya bagus. Brand luar aja buatnya disini kok,” imbuh Tirta.
Tidak hanya di dalam negeri, hype sneaker lokal pun mulai mendengung ke luar negeri. Sebuah event sneaker di Singapura secara resmi melayangkan permohonan kepada Jakarta Sneaker Day untuk membawa sepatu Compass agar dipamerkan sekaligus dijual di Singapura pada akhir tahun ini. Hal ini tentu menjadi kabar gembira bagi pelaku industri sneaker lokal.
Adit berharap kelak produsen sneaker lokal bisa lebih mengembangkan desain supaya sneaker lokal memiliki ciri khas tersendiri. Saat ini sneaker lokal baru saja memulai perjalanannya dan belum mencapai tingkat tertingginya. Bukan tidak mungkin dalam satu atau dua tahun ke depan, akan banyak di jalanan masyarakat yang memakai sneaker lokal.
“Gue yakin yang bisa bikin sepatu tuh banyak banget sebetulnya dan brand yang bermunculan setiap hari untuk ngeluarin ide-ide baru sangat banyak banget jadi persaingannya belum maksimal. Gue bisa ngeliat itu sampai di puncaknya ketika ada beberapa brand yang punya pasar yang sama bagus saling bersaing itu di puncak,” ujarnya.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kemenperin Gati Wibawaningsih menyadari geliat sneaker lokal mulai menyentuh puncak kejayaan. Ia pun berkomitmen mendorong industri karya anak bangsa ke depan.
“Program konkritnya untuk penggunaan sneaker itu adalah saya harus lebih banyak lagi mendidik para industri kecil dan menengah sebagai vendor brand lokal ini. Supaya apa? Hasil produksi mereka bagus. Kalau hasil produksinya bagus, itu kan kemungkinan dibeli di dalam negeri,” ujar Gati kepada kumparan di Gedung Sabuga ITB, Bandung, Sabtu (21/9).
Ia juga berjanji akan membuat banyak acara pameran sneaker lokal seperti Indonesia Local Select. Rencananya tahun 2020 mendatang Kemenperin akan membuat sebuah pameran karya brand lokal Indonesia di salah satu mal besar di Jakarta.