Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Pengakuan Senior: Marah-marah saat Ospek Enggak Ada Faedahnya
9 Agustus 2018 18:06 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:24 WIB

ADVERTISEMENT
Transisi kehidupan antara menjadi pelajar SMA ke mahasiswa, memang terdapat beberapa perubahan yang signifikan. Dari yang paling terlihat, seperti sudah tidak memakai seragam lagi hingga proses akademik yang bergantung pada individu masing-masing.
ADVERTISEMENT
Supaya tidak kaget, mahasiswa baru dihadapkan pada sebuah kewajiban untuk menjalani masa orientasi atau yang dikenal sebagai ospek. Menurut Muhammad Farhan, panitia ospek sekaligus ketua Korps Mahasiswa Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), pemberlakuan ospek harus tetap ada untuk mengenalkan mahasiswa baru (maba) ke budaya kampus.
“Karena, kan, ada budaya yang berbeda, makanya perlu diadakan ospek untuk mengenalkan maba kepada kehidupan dan kegiatan belajar mengajar di kampus dengan tujuan agar mereka bisa mudah beradaptasi,” ujarnya.
Selain mengenalkan maba pada kampus dan budayanya, ospek juga punya tujuan agar mereka tahu fasilitas apa saja yang terdapat di kampus. Sehingga nantinya mereka tidak perlu bingung jika ingin memakai atau meminjam salah satu fasilitas yang ada dan ke mana mereka harus meminta izin.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan ospek kini juga tidak boleh menghadirkan kekerasan fisik, verbal dan mental pada mahasiswa baru. Pelarangan ini resmi berdasarkan pada surat edaran dari Kemristekdikti nomor 253/B/SE/VIII/2016 tentang pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru.

Senior yang turut berpartisipasi dalam kegiatan ospek pun diminta untuk tidak lagi mempraktikkan perpeloncoan. Lala, salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) di Jakarta yang ikut menjadi panitia ospek sebagai tim komisi disiplin (komdis) membenarkan bahwa kegiatan yang menggunakan kekerasan baik fisik maupun verbal sudah tidak boleh lagi diterapkan.
“Dari pihak universitas memang benar-benar udah enggak ngebolehin lagi, bisa kena sanksi kalau ada yang ketahuan melakukan (perpeloncoan) lagi,” katanya.
Sama dengan Lala, Salma Salsabila, yang juga menjadi tim komdis di salah satu fakultas di kampus Universitas Negeri Jakarta ini lebih bertugas pada mendisiplinkan dan menjaga keamanan saat proses pengenalan kampus pada maba.

Jika dulu tim komdis lebih dikenal sebagai divisi yang galak dan suka marah-marah atas nama ‘mendisiplinkan’ mahasiswa, kini wajah komdis yang punya imej jutek tersebut telah berubah menjadi komdis yang tegas dan berwibawa.
ADVERTISEMENT
“Kalau menurutku marah-marah itu udah enggak perlu, enggak ada gunanya. Paling kita hanya tegas aja. Tegas dalam arti menerapkan tata tertib yang berlaku untuk maba, misalnya soal waktu,” jelas Salma.
Jika mahasiswa baru melakukan kesalahan, maka sebagai bentuk sanksinya, tim komdis melakukan evaluasi. Pertama dengan menegur, kemudian meminta alasan mengapa mahasiswa tersebut bisa membuat kesalahan itu. Konsekuensi yang diberikan pun haruslah yang punya manfaat dan berhubungan dengan kesalahan yang dia perbuat.

Lala mengungkap, bentuk hukuman atau konsekuensi untuk mahasiswa baru yang melakukan kesalahan bukanlah sesuatu yang membuatnya malu semacam perintah joget atau menyanyi di depan banyak orang. Namun hukumannya bisa berupa membuat essay yang disesuaikan dengan kesalahan maba.
Menurutnya, hukuman berupa tindak kekerasan atau senioritas tidak efektif untuk ‘mendisiplinkan’ maba. Dia menilai hal itu hanya akan membawa dendam yang diturunkan.
ADVERTISEMENT
“Senioritas itu enggak banget sih. Soalnya kurang berfaedah aja gitu apalagi pakai marah-marah, yang ada malah mahasiswa baru jadi enggak respect juga,” tegasnya.