Perilaku Toxic di Game dan Media Sosial Bisa Menyakiti Diri Sendiri

26 November 2018 12:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pecandu game online. (Foto: Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Pecandu game online. (Foto: Wikimedia)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buat yang suka melancarkan kata-kata negatif (toxic) saat kesal main game online, kamu harus hati-hati. Soalnya, selain bisa menyebarkan perasaan toxic bagi orang lain yang berada di game, hal itu justru malah menyakiti dirimu sendiri.
ADVERTISEMENT
Para peneliti dari Universitas California-Davis (UC Davis) mengonfirmasi hal itu dengan meneliti ratusan juta pesan dalam chat-room game. Pesan yang diteliti itu ada yang berupa pesan positif juga, tapi pesan negatif lebih berdampak buruk bagi semua orang.
"Tidak hanya bahwa chat negatif ini akan terus hidup, tapi juga ia dapat memberi efek lebih lama bagi para pengirim pesan tersebut. Orang-orang negatif (toxic) pada dasarnya menyakiti dirinya sendiri," kata Seth Frey, ketua penelitian tersebut yang dilansir blognya dalam situs resmi UC Davis.
Dalam penelitian ini setiap chat positif akan menimbulkan efek positif terhadap para pemain game lain dan efek ini timbul tak lama setelahnya.
"Pengaruh dimulai sejak dua detik pertama setelah pesan dikirim dari seseorang dan berlangsung hingga 60 detik lamanya," tulis penelitian ini.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk melihat efek pesan negatif, peneliti juga memperluas efeknya terhadap pengirim pesan itu sendiri. Efeknya lebih dahsyat dan lebih lama dari chat positif karena ia akan menghasilkan lingkaran respons buruk yang terus menerus diulang antara para pemain.
"Efek pesan negatif ini rata-rata muncul delapan detik setelah si pengirim mengirim pesan negatif dan akan membuat kondisi obrolan (toxic) hingga delapan menit lamanya," kata Frey dkk dalam penelitian tersebut.
Mungkin kamu berani menebarkan toxic ketika main game karena dalam kondisi anonim. Menurut Frey, temuan ini juga bisa diterapkan pada platform lain seperti Facebook dan Twitter di mana partisipannya lebih kompleks secara usia maupun emosinya.
"Temuan ini menunjukkan bahwa emosi secara online sama sekali tidak dapat diukur sebagaimana emosi seseorang ketika bertemu tatap muka," pungkas Frey.
ADVERTISEMENT