Petuah Alumni: Tarung Gladiator Enggak Efektif di Zaman Sekarang

1 Desember 2018 10:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Jika kamu belum familiar dengan kata ‘partai’ coba kesampingkan dulu imej politik yang tiba-tiba muncul ketika membaca sepenggal kata ini. Partai, yang juga kerap dikenal dengan sebutan tarung gladiator, adalah ajang tarung satu lawan satu yang dilakukan para pelajar SMA untuk menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Ketika kata-kata dan cara persuasif dianggap sudah tidak mempan menyelesaikan masalah, partai selalu jadi usulan dan jalan keluar. Ironisnya, buat sebagian orang, partai dianggap sebagai cara paling gentle untuk menyudahi perkara.
Ajakan untuk bertarung satu lawan satu ini tapi bukannya tanpa persiapan dan pertimbangan yang matang. Dalam sebuah kesempatan, kumparan menemui Boedi (bukan nama sesungguhnya) yang pernah menjadi salah satu pelaku partai.
Dia memutar kembali ingatannya pada pertengahan 2000-an, sekitar 2006 atau 2007, saat dia memutuskan untuk melakukan partai dengan salah satu seniornya di sekolah.
“Gue partai untuk mencari jalan keluar, sih, menyelesaikan sebuah masalah. Itu memang persetujuan kedua belah pihak. Gue dan si orang itu setuju untuk akhirnya memilih partai karena memang enggak bisa diselesaikan dengan omongan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan bahwa saat partai, Boedi dan teman-teman lainnya memilih untuk enggak menggunakan seragam, alias telanjang dada. Alasannya, hal tersebut dilakukan untuk menjaga nama baik sekolah.
Setelah partai usai, entah seperti stress relieve atau apapun sebutannya, semua amarah dan emosi mendadak meluntur, memudar, kemudian berangsur biasa saja.
Tak mau dilabeli ‘cupu’
Beda nasib dengan Boedi, MA (nama samaran) yang melakukan partai pada periode 2010/2011, harus menelan bulat-bulat ajakan partai dari seniornya yang tentu saja tidak bisa ditolaknya jika tidak ingin dicap ‘cupu’. Demi nama baik dan harga diri, MA pun mengiyakan ajakan partai dari seniornya tersebut.
“Di sekolah gue memang tidak ada ruang untuk menjadi lembek, kalau lo lemah, lo akan dimakan, caranya lo harus survive, lo harus kuat. Kalau lo harus mempertahankan harga diri lo, lo harus melakukan cara apapun sebagai laki-laki,” tegas MA.
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Soal menang atau kalah, rasanya itu bonus saja. Yang penting muka MA tidak tercoreng karena menolak ajakan partai dari seniornya.
ADVERTISEMENT
MA pun mendeskripsikan suasana partainya saat itu yang terjadi di sebuah taman di bilangan Jakarta Selatan. Dengan memakai kaus dan celana pendek, keduanya mulai bergelut mengerahkan tenaga masing-masing.
“Waktu itu partai harus disetop gara-gara sama-sama udah berdarah terlalu banyak, cuma waktu itu belum kelar aja,” tutur MA.
Salah kaprah dan berubah arah
Dari dulu hingga sekarang, partai atau tarung gladiator umumnya punya peraturan yang wajib dipatuhi oleh para pelakunya. Dalam partai, ada sistem yang dibuat cukup profesional. Maksudnya, ada kesepakatan bersama bahwa lawan tidak boleh sembarang memukul hanya di bagian tubuh tertentu dan berhenti menyerang ketika lawan sudah terkapar di atas tanah.
Namun, Boedi menganggap bahwa ada salah kaprah dari para pelajar SMA yang melakukan kegiatan partai. Menurutnya, kini partai sudah berubah arah dari tujuan awalnya.
ADVERTISEMENT
“Dulu emang buat menyelesaikan masalah pribadi, bukan jadi ajang cari jati diri atau membuktikan mana yang paling jago berkelahi,” ujar Boedi menegaskan.
Terlepas dari apapun alasan melakukan partai, tindak kekerasan seharusnya memang tidak perlu diberi ruang untuk tumbuh. Hal itu pula yang mendorong MA untuk berpendapat bahwa partai sebaiknya tidak perlu dilanggengkan sebagai sebuah tradisi.
“Jujur menurut gue, sih, partai itu enggak efektif di zaman sekarang ini, semua bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Lo cukup menjaga manner lo di publik, cara lo berinteraksi dengan orang, enggak perlu bonyok-bonyokin orang lain kalo emang semua bisa diatur secara kekeluargaan, bro. Sudah (tahun) 2018, enggak zaman!” tutupnya.
-------------------------------------------------
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar.
ADVERTISEMENT