QnA Mahasiswa UI Mengabdi di Entikong Bersama Tanoto Foundation

26 Februari 2019 14:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peserta Entikong Xpedition bersama anak-anak SD Foto: Dok. Dion Michael Sianipar
zoom-in-whitePerbesar
Peserta Entikong Xpedition bersama anak-anak SD Foto: Dok. Dion Michael Sianipar
ADVERTISEMENT
Sudah bukan hal yang asing didengar bahwa pulau-pulau di Indonesia terbentang luas, dari Sabang sampai Merauke. Begitu besarnya, beragamnya, dan banyaknya daerah di penjuru negeri, yang rasanya enggak akan pernah cukup untuk dijelajahi.
ADVERTISEMENT
Inilah yang dirasakan Dion Michael Sianipar, seorang mahasiswa jurusan kuliah Hukum di Universitas Indonesia (UI). Cowok kelahiran Lhokseumawe, 24 April 1997 ini baru saja kembali dari Entikong, sebuah daerah di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia.
Lama tinggal di daerah perkotaan, membuat Dion takjub dengan pesona alam Kalimantan. Tapi tujuan utamanya bukan untuk berwisata. Ia bersama 26 orang lainnya dari Beasiswa 10.000 dan Tanoto Foundation, terbang ke Entikong untuk mengabdi kepada masyarakat selama satu pekan, yakni 11 - 17 Februari 2019.
Lantas bagaimana keseruan Dion di Entikong? Dan apa saja kegiatan yang dia lakukan di sana? Simak wawancaranya bersama kumparan di bawah ini, yuk!
Hai, Dion! Bagaimana kabarnya setelah kembali dari Entikong?
ADVERTISEMENT
Baik! Hehehe...
Kok, kamu bisa, sih, ikut Entikong Xpedition ini?
Jadi pertama kali di awal 2019 aku dapat informasi ada Entikong Xpedition ini dari grup chat Tanoto Scholars, untuk para penerima beasiswa Tanoto di UI. Terus aku tahu program ini dicanangkan oleh Beasiswa 10.000. Tanoto juga mendukung penuh acara ini.
Setelah itu aku cari tahulah untuk informasi lebih lengkapnya. Aku jadi tahu kalau program ini fokus ke pendidikan juga. Jadi aku tertarik, sih. Bakal jarang, kan, ada kesempatan untuk ke daerah perbatasan.
Kamu memang tertarik di isu pendidikan, ya?
Aku yakin pendidikan bisa jadi salah satu kunci mengubah nasib. Dari aku kecil juga orang tua selalu bilang begitu.
Semenjak aku terima beasiswa Tanoto ini juga Pak Tanoto fokus di bidang pendidikan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas hidup orang banyak. Jadi aku fokus banget ke dunia pendidikan buat orang-orang yang nasibnya enggak sama kayak kami di sini.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya aku juga ikut kegiatan pendidikan dari kampus, dan jadi volunteer mengajar anak-anak SD, SMP, SMA setiap akhir pekan. Dari asosiasi Tanoto UI juga rutin mengadakan Tanoto Mengajar, atau semacam kegiatan sosial yang fokusnya mengajar.
Proses seleksi untuk Entikong Xpedition ini rumit, enggak?
Seleksinya agak rumit karena kami harus unggah twibbon di Instagram dan alasan pengin ikut program ini apa. Ada wawancara juga. Prosesnya sekitar seminggulah.
Aku kaget, sih, bakal lolos karena ada banyak yang ikut dan unggah twibbon. Enggak nyangka. Senang banget!
Persiapannya apa aja, tuh, sebelum berangkat ke Entikong?
Mungkin fisik dan barang-barang di sana. Panitia sudah briefing sebelumnya kalau medan di sana itu susah. Jadi harus siapkan sepatu dan tas gunung karena kami akan mendaki. Enggak lupa juga bawa obat dan vitamin.
ADVERTISEMENT
Gimana kesan pertama kamu saat sampai di Entikong?
Shocked dengan kondisi di sana. Babi di sana masih berkeliaran, ke sananya juga susah karena enggak ada kendaraan umum.
Jadi kami dari Bandara Pontianak naik bis sekitar 7 jam untuk tiba di kecamatan Entikong. Lalu kami naik lagi ke desanya, dan menunggu jemputan mobil TNI. Kami diantar ke sana karena enggak ada kendaraan umum. Itu aja kami harus turun di tempat tertentu karena harus jalan sendiri, medannya enggak sanggup.
Selain itu mereka ternyata masih sulit berbahasa Indonesia. Jadi kami harus usaha mengerti maksud mereka.
Dion dan siswa SD di Entikong Foto: Dok. Dion Michael Sianipar
Kegiatan apa aja yang kamu lakukan di sana?
Fokus utama kami adalah mengajar. Pagi sampai siang kami mengajar kelas 1 sampai 3 SD, lalu kami ikut kegiatan anak-anak di sana. Ikut ke ladang, sosialisasi sama warga, main ke bendungan, dan menikmati alam. Sorenya kami penyuluhan soal perilaku hidup bersih dan sehat, membuat prakarya keset kaki dari kain bekas, dan mengajak anak-anak bermain.
ADVERTISEMENT
Yang paling berkesan dari pengalaman kamu seminggu di Entikong apa, sih?
Aku kagum dengan semangat mereka untuk belajar. Jadi untuk medan sesulit itu mereka masih semangat pergi ke sekolah. Padahal untuk anak kelas 1-3 SD harus mendaki karena sekolahnya di atas bukit. Sedangkan untuk kelas 4-6 SD gedung sekolahnya ada di desa lain dan mereka harus jalan kaki sekitar 1 jam.
Aku ingat banget saat kami ajak mereka main ke bendungan, anak-anak itu justru minta untuk belajar dulu. Aku kira untuk anak-anak seumuran mereka fokus main aja. Semangat belajar mereka menginspirasi banget, sih, dengan fasilitas dan keadaan yang minim seperti itu. Sedangkan, kami di sini sudah dikasih semuanya, fasilitas mudah, masih males-malesan. Harusnya mereka lebih layak mendapatkan apa yang aku dapatkan sekarang.
ADVERTISEMENT
Ada juga ketika mereka inisiatif belajar upacara pengibaran bendera. Ternyata sebelumnya mereka belum pernah mengibarkan bendera. Jadi kami latih walau cuma dua kali. Akhirnya saat upacara pengibaran bendera itu mereka semua nangis. Kami juga nangis.
Anak-anak SD di Entikong pertama kalinya mengibarkan bendera Foto: Dok. Dion Michael Sianipar
Anak-anak SD di Entikong pertama kalinya mengibarkan bendera Foto: Dok. Dion Michael Sianipar
Pengin balik lagi, enggak, ke Entikong?
Pengin banget! Ke sana seminggu itu enggak cukup. Banyak yang masih bisa dilakukan. Kami sampai sekarang juga masih follow up apa saja yang kami lakukan di sana. Jadi enggak semata karena sudah pergi, lalu ditinggalkan begitu saja.
Kami mencari solusi untuk permasalahan seperti kekurangan tenaga pengajar, subisidi pupuk, informasi jika mereka butuh donasi. Karena kemarin kami donasikan proyektor, jadi kami juga berencana mengumpulkan video edukasi yang dikumpulkan dalam flashdisk, yang akan kami kirim ke dusun di sana secara berkala sebagai media ajar anak-anak.
ADVERTISEMENT
Sedih banget, ya, harus meninggalkan mereka?
Iya. Di malam terakhir kami semua nangis. Kami merasa dekat sama masyarakat di sana. Makanya sewaktu pisah rasanya sedih, karena biasanya bisa bertukar WhatsApp, Facebook, dan Instagram, tapi sama mereka enggak bisa. Aku sadar ternyata susah, ya, untuk menjangkau mereka lagi.
Menurut kamu, perlu, enggak, sih, anak-anak muda melakukan pengabdian di daerah-daerah terpencil seperti ini?
Perlu banget, sih, anak muda mengalami hal ini karena bisa mengubah pandangan. Dengan apa yang mereka punya di Entikong, mereka tetap semangat untuk belajar. Melihat tantangan yang mereka alami di sana, aku salut, sih. Dengan kondisi seperti itu seenggaknya mereka sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Mungkin kalau aku berada di kondisi seperti mereka aku enggak punya semangat sebesar itu.
ADVERTISEMENT