Shoegaze, Musik yang Lahir karena Lemahnya Politik Britania Raya

9 Februari 2018 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Slowdive (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Slowdive (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Video di atas merupakan penampilan dari sebuah band asal kota Irlandia, My Bloody Valentine, saat konser dalam gelaran Fuji Rock tahun 2008 silam. Band tersebut dikenal sebagai salah satu pionir dari aliran musik bernama shoegaze.
ADVERTISEMENT
Jika masih asing dengan apa itu shoegaze, sebagai gambaran singkat, majalah AllMusic mendeskripsikan musik itu sebagai musik yang memiliki suara "sangat kencang, dengan riff yang panjang dan berdengung, gelombang distorsi, serta riuh efek feedback".
Mudahnya, kamu pasti sadar bahwa pada video tersebut, suara dari sang vokalis, Bilinda Butcher, cenderung melantunkan lirik dengan artikulasi yang tidak jelas, mendengung, dan intonasinya datar.
Suara yang dihasilkan masing-masing instrumen pun terdengar tidak ada yang lebih dominan. Semua terdengar melebur, menciptakan sebuah alunan musik yang terkesan lesu dan kurang bersemangat.
Tapi itulah musik shoegaze. Meski ia tak semudah pecahan aliran rock lainnya untuk diterima telinga orang awam, shoegaze ternyata menyimpan cerita yang cukup dalam.
ADVERTISEMENT
Musik shoegaze sendiri mulai muncul dan berkembang di kota London, Inggris, pada akhir 1980-an. Jenis musik tersebut mulai dikenal luas pascakelahiran punk rock yang kemudian berhasil lepas landas dari jantung negara Ratu Elizabeth ke seantero dunia.
Mengutip perkataan seorang kritikus musik asal Inggris, Simon Reynolds, via The New York Times, kelahiran nuansa "kekalahan" pada musik shoegaze, ternyata memiliki hubungan yang cukup erat dengan iklim sosial politik di Britania Raya yang pada saat itu dipimpin oleh pemerintah dari Partai Konservatif.
Singkat cerita, kinerja dari pemerintahan Partai Konservatif yang berjalan selama dua periode berturut-turut dari tangan Margaret Thatcher ke John Major, tidak begitu mampu memenuhi ekspektasi masyarakat muda yang idealis pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Sehingga, menurut Simon, situasi pemerintahan Britania Raya yang saat itu terbilang 'loyo', tinggal menyisakan beberapa hal yang menarik masyarakat muda untuk menyalurkan emosi mereka, salah satunya adalah gitar.
Selain dilatari situasi sosial politik, 'keloyoan' musik shoegaze juga memiliki filosofi lain yang menjadikan genre tersebut memiliki keunikannya tersendiri.
My Bloody Valentine (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
My Bloody Valentine (Foto: Wikimedia Commons)
Seperti tertuang dalam tesis milik David Fisher, salah satu aktor besar jurnalisme musik Inggris, majalah New Musical Express (NME), malah punya pakemnya sendiri dalam mendeskripsikan seperti apa karakter para pelakon musik shoegaze.
NME disebut-sebut sebagai salah satu yang pertama kali memberikan identitas pada shoegazer -sebutan untuk musisi shoegaze- secara populer sebagai "gitaris-gitaris indie yang sering berdiri dengan postur statis di atas panggung, dengan melihat ke arah fret gitar atau lantai".
ADVERTISEMENT
Dalam pengertian yang sempit, deskripsi itu hendaknya dapat diterima. Perpaduan kata antara 'shoe' dan 'gaze' kurang lebih menggambarkan secara harfiah apa yang NME lihat dari aksi panggung para pegiat musik shoegaze.
Namun, istilah itu sendiri kemudian berkembang dan memiliki pengertian substansial yang lebih mendalam.
Rendahnya kecenderungan shoegazer untuk tampil energik dengan penuh gerakan bak seorang bintang musik rock, bisa disebut sebagai salah satu simbol inklusivitas yang mereka coba tonjolkan dalam gaya bermusiknya.
Dengan kata lain, tidak ada individu yang harus tampil lebih dominan dalam sebuah pertunjukan musik shoegaze.
Hal itu juga yang diterapkan oleh para musisi shoegaze saat memroduksi musik. Dalam tulisannya, David menjelaskan bahwa para shoegazer awal memilih elemen-elemen rock dengan spesifik, untuk kemudian "dikembangkan" dan "dieksploitasi".
ADVERTISEMENT
"Banyak efek gitar yang memberikan kesan orkestrasi berat mendominasi musik; lirik menjadi lebih berarti dan sentimental, namun proses mixing menghilangkan penekanan tersendiri pada bagian vokal, hingga si penyanyi sendiri bahkan tidak bisa lebih menonjol dari personel lainnya di band tersebut. Sehingga efek yang dihasilkan adalah sebuah kesatuan," tulis David.
"Daripada (menjadi) band dengan (salah satu) anggota yang mendapat sorotan, shoegazer justru meminimalisir individualisme dalam musik yang dihasilkan, untuk menekankan pentingnya kesatuan organik dalam sebuah band," lanjutnya.
Selain My Bloody Valentine, periode awal perkembangan musik tersebut juga diikuti beberapa nama lain, di antaranya Slowdive, Cocteau Twins, Swervedriver, serta The Jesus and Mary Chain.
Meski hingar bingarnya mungkin tak sebesar jenis musik lainnya, shoegaze terbilang cukup berhasil untuk bertahan selama tiga dekade lebih dan berkembang keluar dari tempat kelahirannya.
ADVERTISEMENT