Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rusto Tempeh: Meraup Sukses Setelah Kembali ke Alam (Part 2)
14 Oktober 2018 7:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari M. Aji Surya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sukses besar Rusto Tempeh di Jepang bukan seperti membalikkan tangan. Ia perlu belajar dan melakukan eksperimen berbulan-bulan. Kuncinya ternyata hanya satu, kembali ke alam.
ADVERTISEMENT
Si raja tempe ini tergolong pria yang gigih. Entah apa yang membisikkan telinganya agar mendalami pertempean. Apakah karena kepepet atau memang melihat peluang yang tak semua orang tahu.
“Pada awal tahun 1998 ketika saya telah memutuskan untuk menekuni usaha tempe langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah nenelepon ibu saya untuk minta diajari cara membuat tempe,” ujarnya dengan mata menerawang.
Dengan pengetahuan yang terbatas, sang ibu yang berjarak ribuan kilometer itu mengajarinya lewat telepon. Setelah dipraktekkan, ternyata gagal. Teori dan praktik menjadi dua hal yang berbeda.
Rusto punya akal. Ia meminta sang ibu untuk meminjamkan hapenya kepada pengrajin tempe yang tinggal berdekatan dengan rumah Ibunda di Purwodadi Grobogan. Rusto pun diajari oleh pak Sigit tata urutan proses pembuatan tempe. Hasilnya, nol besar. Gagal maning!
“Jujur, saya jadi ragu apakah tempe yang saya buat ini benar-benar tempe? Atau memang saya bodoh ya. Saya kemudian minta izin istri untuk pulang ke Indonesia untuk belajar membuat tempe selama tiga bulan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Selama tinggal di Indonesia Rusto berkeliling Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur), mendatangi pengrajin tempe untuk belajar. Semangat tetap menggebu walau tidak sedikit pengrajin tempe yang menolaknya. Mereka takut dijiplak.
Tidak terasa, Rusto belajar kira-kira di 60 tempat pengrajin tempe. Semakin banyak belajar, semakin bingung. Maklumlah, ternyata setiap pengrajin tempe sepertinya melakukan proses yang sama tapi sebenarnya metodenya berbeda beda. Dampaknya, kualitas tempe bisa berbeda-beda.
Rusto semakin penasaran untuk mempelajari lebih detail proses pembuatan tempe di Indonesia dengan waktu yang tersisa. Ia terus mencoba-coba berdasarkan pengalaman yang didapatnya. Dalam benaknya, kelak di Jepang tempe yang akan diproduksinya adalah tempe yang khas dalam arti berkualitas tinggi sesuai tuntutan pasar.
Setelah kembali ke Jepang, Rusto kemudian “bersemedi”, mengendapkan semua ilmu tempe yang didapat. Mencoba memilah-milah mana yang tepat dilakukan, mana yang harus disingkirkan. Sebuah proses kontemplasi yang tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Salah satu kesimpulan dari ritual “bersemedi”, Rusto meniru pengrajin tempe di Indonesia, yang rata rata mereka membuat tempe bersama anak dan istrinya. Ia mencoba lakukan itu. “Sambil memproduksi, kami berkomunikasi dengan anak dan istri, juga bernyanyi dan bergembira bersama,” ujarnya.
Kesimpulan yang paling membuatnya tambah berhasil adalah ketika ia kembali ke alam atau “back to the nature”. Ia tidak lagi menggunakan air kran atau air yang sudah steril. Ia justru menggunakan air yang mengalir dari sumbernya secara langsung.
Tidak hanya itu, pemanas tungkunya bukan menggunakan tenaga uap yang biasa digunakan di banyak negara maju. Listriknya pun berasal dari anugerah alam semesta.
“Air yang kami gunakan berasal dari mata air pegunungan. Perebusan dilakukan dengan steam yang bahan bakarnya dari ranting kayu yang mengering di lokasi sekitar pabrik. Listriknya cukup dari solar panel yang berada di atap pabrik. Dan, gedung pabriknya di bangun dari bahan recycle,” akunya.
ADVERTISEMENT
Benarkah faktor alam yang membuat tempe Rustono menjadi higenis dan berkualitas? Entahlah, yang jelas tempe hasil olahan dengan cara bersahabat dengan alam itu telah diterima oleh masyarakat Jepang. Bahkan ia kini punya pabrik di Korea Selatan, beberapa di negara Eropa dan Amerika.
Rustono pun jadi jarang di Jepang. Ia bak pengusaha besar saja. Sering mondar-mandir antarbenua berbekal “mental tempe”. ()