Konten dari Pengguna

Tantangan Muslim di Amerika

M. Aji Surya
Diplomat dan mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Amerika Universitas Gadjah Mada (UGM).
3 Desember 2020 7:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M. Aji Surya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bendera Amerika Serikat Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera Amerika Serikat Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kemenangan Joe Biden dalam Pemilu AS membuat sebagian kalangan menaruh harapan, khususnya terkait kebijakannya terhadap muslim Amerika. Sebagai minoritas, muslim di sana terus bergulat untuk mendapatkan tempat di tengah heterogenitas nilai yang cukup rumit.
ADVERTISEMENT
Fenomena masyarakat muslim di Barat kerap dikaitkan dengan masalah kegamangan masyarakat Barat terhadap muslim. Masyarakat Barat yang mengeklaim memiliki peradaban maju dan modern kadang menganggap masyarakat muslim dengan nilai Islamnya sebagai masyarakat konservatif. Sementara masyarakat muslim sendiri di Barat memiliki masalah tersendiri yang erat kaitannya dengan identitas, tradisi, dan perjuangan hidup.
Masyarakat muslim di Barat memiliki identitas dan tradisi kuat yang diwariskan oleh garis keturunannya. Tetapi pada saat yang sama mereka juga hidup di tengah masyarakat dengan nilai yang sama sekali baru dan berbeda. Muslim Amerika atau orang Islam yang lahir atau migran, yang tumbuh besar, lalu kemudian menetap di Amerika merupakan salah satu contoh konkret perjuangan muslim di tengah lingkungan yang ramai dengan perselisihan identitas dan tradisi.
ADVERTISEMENT
Amerika merupakan benua tujuan migrasi yang menjanjikan. Wilayahnya yang luas, kemajuan peradaban dan keterbukaan yang menjanjikan, menjadi aspek yang menggiurkan migran dari seluruh dunia, termasuk muslim yang datang dari berbagai wilayah. Muslim Amerika memiliki latar belakang sebagai migran dari Asia, Timur Tengah, dan Afrika, yang datang dengan berbagai alasan dan tujuan. Baik itu karena ingin menemukan kehidupan baru, lari dari konflik dan kekerasan di negara asal, maupun alasan lainnya.
Gambaran yang beraneka ragam tentang seluk beluk kehidupan muslim di Amerika bisa kita jumpai dalam berbagai referensi. Salah satunya yang ditulis oleh Eboo Patel, dalam Being Muslim in America. Dalam ulasannya, Patel menggambarkan muslim Amerika memiliki harapan yang sama dengan orang Amerika asli, memiliki sense of belonging yang sama, bagian dari bangsa Amerika dan bahkan ingin berkontribusi pada kemajuan Amerika. Tetapi karena hidup di antara berbagai nilai, tradisi, identitas, dan tuntutan sosial yang rumit, muslim Amerika mengalami krisis identitas. Sebagaimana yang sering terjadi pada muslim di Eropa, muslim Amerika juga berada di persimpangan berbagai nilai dan identitasnya sebagai migran.
ADVERTISEMENT
Eboo Patel mendeskripsikan pengalamannya sebagai seorang muslim Amerika, dengan latar belakang keluarga Pakistan, yang hidup di antara tradisi orang tua, nilai agama, dan kenyataan di masyarakat dan teman-temannya. Sebagai seorang muslim, Patel memegang nilai-nilai agama yang dipelajari dan diwarisi dari leluhurnya sebagai pedoman hidup. Namun dalam lingkungan masyarakat yang ia jalani, nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku jauh berbeda dengan yang dia dapatkan dari rumah, lingkungan keluarga, dan agamanya.
Kompleksitas muslim di Amerika berkembang seiring dengan proses modernisasi dan globalisasi yang semakin memunculkan varian isu dan nilai baru dalam masyarakat. Muslim di Amerika terjebak pada definisi yang cukup rumit yaitu sebagai muslim, sebagai bangsa Amerika, dan sebagai identitas lainnya yang mereka bawa. Dalam hal identitas misalnya, muslim di Amerika sebagian besar merupakan migran yang terbagi menjadi beberapa komunitas atau golongan. Karen Leonard menyebut setidaknya ada 3 golongan utama muslim di Amerika yaitu muslim Afrika Amerika (African American Muslims) yang juga dikategorikan sebagai “bagian” dari orang pribumi Amerika, muslim Arab (Arab Muslims), dan muslim Asia Selatan (South Asian Muslims).
ADVERTISEMENT
Perbedaan latar belakang negara asal tersebut secara otomatis menimbulkan perbedaan tradisi, nilai, bahkan ajaran agama Islam yang mereka anut. Lalu perbedaan motif dalam mengamalkan Islam sebagai agama juga turut mempengaruhi pandangan dan karakter mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi semacam “pembatas” antara komunitas muslim di Amerika. Mereka “menciptakan” lingkungan dan identitas yang berbeda–beda.
Keragaman dan kompleksitas muslim di Amerika, selain merupakan sebuah keniscayaan, dua hal tersebut bisa jadi muncul karena sebuah paradigma yang dipakai dalam mengamati fenomena muslim di Amerika. Faktor–faktor seperti latar belakang pendidikan dan pengalaman hidup di tengah Amerika yang heterogen mempengaruhi cara pandang dan pendekatan mereka dalam hal bersosialisasi bahkan berpolitik. Shaykh Hamza Yusuf misalnya, seorang ulama sekaligus cendekiawan muslim di Amerika yang berperan besar dalam pengajaran dan penyebaran Islam di sana, menganggap Amerika merupakan wilayah perjuangan bagi minoritas, seperti umat muslim dan umat agama atau etnis lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai individu yang menjadi figur penting bagi Islam di Amerika, Hamza Yusuf sering terlibat dalam aktivitas politik di Amerika. Hamza sempat menjadi bagian dari Pemerintahan Trump, yakni dalam Commission on Unalienable Rights yang bertugas memberi masukan, nasihat, dan rujukan untuk Trump terkait permasalahan hak asasi manusia di Amerika. Keikutsertaan Hamza dalam Pemerintahan Trump ini dipandang sebagai hal yang positif sekaligus meragukan oleh muslim Amerika lainnya. Sebagaian dari mereka meletakkan harapan padanya agar menjadi jembatan antara masyarakat muslim dan pemerintah dalam menyuarakan anti islamophobia, xenophobia, dan masalah hak asasi lainnya yang sering mengarah pada masyarakat muslim karena secara rasial dan etnis mereka berbeda dengan warga kulit putih Amerika. Sementara sebagian lagi yang meragukan menganggap Hamza tidak akan membawa implikasi apa pun pada penurunan rasisme dan masalah lainnya terhadap muslim di Amerika.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh Hamza Yusuf merupakan salah satu contoh upaya muslim Amerika dalam menerima dan berdamai dengan kondisi, sekaligus memperjuangkan kehidupan mereka. Bagi sebagian masyarakat muslim di Amerika, lebih baik menerima kondisi yang ada lalu kemudian merumuskan strategi dan terus bergerak maju menciptakan perubahan yang diinginkan. Seperti halnya Hamza, yang meski menyatakan Trump bukan Presiden pilihannya, namun bukan berarti ia harus dilawan dan diprotes. Bagi Hamza, melakukan pendekatan yang damai dan strategis terhadap publik Amerika atau non–muslim Amerika akan lebih memberikan implikasi yang signifikan terhadap eksistensi muslim di sana.
Hal ini tentu akan berbeda jika kita menyebut nama cendekiawan muslim lainnya di Barat sepeti Mohamed Arkoun atau Leila Ahmed yang fokus kajiannya adalah isu gender. Keduanya merupakan contoh cendekiawan muslim yang memandang (bahkan mengembangkan) Islam di Barat menggunakan perspektif Barat yang pada batasan tertentu justru menimbulkan kesenjangan yang besar antara Islam dan Barat. Postulatpostulat yang dirangkai oleh cendekiawan–cendekiawan “Islam liberal” seperti Arkoun dan Leila ini memunculkan resistensi masyarakat Barat terhadap Islam karena menunjukkan perbedaan yang mencolok antara tradisi Islam dan Barat. Juga berlaku sebaliknya, menimbulkan resistensi masyarakat muslim terhadap nilai Barat. Resistensi semacam ini mempertajam kompleksitas kehidupan muslim di Barat, tak terkecuali Amerika.
ADVERTISEMENT
Di wilayah seperti Amerika yang kaya dengan keragaman sebagai implikasi instan dari fenomena globalisasi dan transnasionalisme, konflik yang melibatkan masalah etnisitas dan agama bukan merupakan hal baru. Konflik etnis dan agama adalah harga yang harus dibayar atas sebuah keberagaman. Seperti dijelaskan dalam tulisan Yutin Wang, Between Islam and American Dream: An Immigrant Muslim Community in Post 9/11 America, kompleksitas masalah migran muslim di Amerika bukan hanya dengan masyarakat non-muslim Amerika, tetapi juga antar sesama muslim itu sendiri.
Perbedaan golongan muslim di Amerika membawa konsekuensi perbedaan karakter dan aliran yang dianut. Aliran Sunni, Syi’ah, bahkan Sufisme di sana menimbulkan dikotomi di antara sesama muslim. Di Masjid RiverSide Amerika misalnya, kabarnya sering menghadapi permasalahan karena perbedaan dalam pengajaran agama oleh dua Imam yang berbeda mazhab. Hal ini tentu tidak hanya karena adanya karakter personal imam yang dipengaruhi oleh mazhab tertentu yang dianut, namun juga mereka bagian dari organisasi muslim yang memiliki pendekatan beragam tentang urusan agama, sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Muslim di Amerika memiliki dunia yang beragam, berdasarkan ajaran dan mazhab yang dianut dan diwariskan orang tua, berdasarkan nilai dan tradisi leluhur daerah asal, sekaligus mereka juga sebagai bagian dari negara Amerika, dunia baru yang tercipta karena arus transnasionalisme dan globalisasi. Keragaman semacam ini juga terjadi pada bangsa Amerika asli (native Americans) yang sebetulnya juga tercipta dari peradaban “pendatang” yaitu bangsa Eropa.
Sebagai negara yang menjadi tujuan migrasi sejak lama, Amerika dibangun dan hingga saat ini terus berkembang maju dengan keragamannya. Heterogenitas atau yang kemudian merujuk pada istilah multikulturalisme menjadi sebuah keniscayaan bagi Amerika, dan ini sangat dipahami oleh muslim di Amerika. Namun meski memahami fakta itu, interpretasi dan cara muslim Amerika menyikapi perbedaan ini berbeda–beda.
ADVERTISEMENT
Perbedaan, kesenjangan, dan sikap atau paradigma itulah yang kemudian menciptakan pola interaksi yang bermacam–macam. Ada komunitas muslim yang cenderung menutup diri atas nilai Barat yang dianggap sangat bertolak belakang dengan nilai Islam, ada yang menerima nilai Barat dan memadukannya dengan nilai Islam dan ada pula yang memilih jalur moderat yang mengintegrasikan nilai–nilai yang dianggap sepadan untuk dipahami dan dipraktikkan.
Perspektif–perspektif yang ada menunjukkan cara dan metode muslim di Amerika yang tidak hanya memperjuangkan eksistensinya sebagai bagian dari kemajuan Amerika, namun juga berjuang di tengah persimpangan nilai dan tradisi yang berbeda–beda. Islam di Amerika tidak hanya tentang kegamangan bangsa Amerika non–muslim terhadap Islam, maupun sebaliknya. Islam dan muslim di Amerika adalah soal hidup di tengah heterogenitas dan lingkungan yang relatif masih berat menerima muslim menjadi bagian darinya.()
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Amerika, Universitas Gadjah Mada (UGM)