Dua Minggu Pertama Menjadi Driver…

Curhat Ojek
Semua keluh kesah, suka-duka, dan cerita driver ada di sini!
Konten dari Pengguna
26 Januari 2017 17:06 WIB
comment
23
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Curhat Ojek tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Riding Motorbike (Foto: Adam Porter)
Perkenalkan, saya Rizki Putra Zuwandono. Saat ini saya masih berstatus sebagai mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan TA (tugas akhir) di salah satu PTN dan merangkap sebagai driver Gojek.
ADVERTISEMENT
Untuk permulaan, dua minggu saya menjadi driver banyak hal menarik yang saya temukan khususnya di Kota Bandung, tempat saya lahir dan berkembang. Tempat baru yang belum pernah disinggahi, beragam karakter masyarakat dari berbagai kalangan dan juga teman baru yang berawal dari sebuah perbincangan di warung-warung pinggir jalan ditemani segelas kopi sachet banyak mewarnai perkenalan saya dengan Gojek.
Saya tidak memungkiri, niat awal bergabung menjadi driver Gojek ialah mengisi pundi-pundi, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memfasilitasi hobi yang saya tekuni yaitu fotografi. Di sini, saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman-pengalaman baru yang saya jumpai selama dua minggu sebagai driver Gojek.
Sebenarnya, selain menjadi driver saya pun memiliki tujuan untuk membuat sebuah projek tentang driver Gojek. Setiap perjalanan, saya selalu membawa kamera mirrorless yang saya miliki. Selama ada penumpang, biasanya saya meminjamkan kamera dan memintanya untuk memotret hal yang menurut ia menarik. Hal ini saya lakukan karena saya ingin melihat apa yang biasa mereka lihat, setidaknya dengan kamera yang saya pinjamkan saya bisa meminjam mata para penumpang dan melihat apa yang mereka lihat.
ADVERTISEMENT
Hampir 50 km jarak yang saya tempuh setiap harinya, mengantar dan menjemput para penumpang di berbagai wilayah Kota Bandung belum terhitung jarak saya mencari penumpang. Untuk menggaet para penumpang, ada dua metode yang digunakan yaitu jemput bola dan nongkrong. Istilah jemput bola merupakan istilah yang saya gunakan di mana saya bergerilya memutari wilayah-wilayah dan berharap masuknya order, dan “nongkrong” ialah istilah yang digunakan ketika saya duduk di satu tempat dan menunggu masuknya order. Dari kedua metode ini, masing-masing memiliki kelebihan juga kekurangan.
Perjumpaan pertama saya sebagai driver diawali dengan salah satu mahasiswi S2 ITB. Perbincangan perihal kurikulum pendidikan dari dua PTN yang berbeda menemani perjalanan saya dengannya. Jujur saya terpesona oleh paras cantik dan tingkat intelektualitasnya, ia mengenakan kerudung dan flanel berwarna biru navy, heu. Saat itu, senja keemasan, jarak 12 Km pun menjadi terasa dekat.
ADVERTISEMENT
Membonceng (Foto: Unsplash)
Selain pengalaman menyenangkan, saya juga pernah kena semprot oleh salah satu penumpang. Ketika itu, saya berada di Jalan Pasteur sedang nongkrong disalah satu warung pinggir jalan menunggu datangnya order, hampir sekitar 15 menit saya di sana, menunggu sambil menyeruput secangkir kopi. Tiba-tiba, handphone pun bergetar menandakan masuknya order. Jarak order sekitar 3 km. Ia menelepon saya, dari suaranya sepertinya ia sedang dikejar oleh waktu. Tanpa pikir panjang, saya pun bergegas menyalakan motor lalu menanyakan alamat tersebut kepada tukang parkir.
Kang, Ai alamat ieu dimana?” (Kang, kalau alamat ini di mana?)
Ti dieu mah ka luhur we kang, mentok, belok ka kiri.” (Dari sini ke atas aja kang, mentok, belok ke kiri)
ADVERTISEMENT
Nuhun, kang.” (Terima kasih, Kang).
Saya pun mulai menancap gas mencari alamat tersebut. Sekitar lima menit mencari, alamat pun tak kunjung saya temukan. Tak lama, pemesan pun menelepon kembali
“Pak, sudah sampai mana ya? Kok, malah menjauh?”
“Saya sudah jalan, mba, tapi saya tidak menemukan alamatnya.”
“Seberang Hotel Holiday Inn, mas” katanya dengan nada ketus.
Karena menyadari saya salah alamat, saya pun bergegas mencari hotel yang ia sebutkan, ternyata, lokasinya tidak jauh dari tempat saya duduk sebelum mendapat order. Karena ia berada di seberang hotel, saya pun mencari tempat berputar dan ternyata tempat berputarnya jauh. Parahnya, saat itu jalanan dalam keadaan macet. Karena merasa bersalah, saya pun menelepon mba pemesan jasa dan memberitahukan kondisinya.
ADVERTISEMENT
“Mba, di sini macet dan saya harus berputar, bila terlalu lama, silahkan cancel order saja”.
“Masih lama ya, mas?”
“Sepertinya, mba.”
“Cepet ya, mas. Saya tunggu di depan jalan deh” dengan nada sedikit marah.
Riding (Foto: Giphy)
Seperti superhero yang dalam keadaan genting menyelamatkan seisi kota, saya pun menyalip sana sini, agar cepat bisa memutar. Tak lama akhirnya saya pun memutar jalan dan akhirnya bertemu dengan mba tersebut.
“Gojek, mba?” Tanyaku
“Iya. Lewat sini aja ya, mas.” Sambil menunjukkan arah jalan dan menggunakan helm.
Saya masih ingat betul penampilan penumpang itu. Berkacamata dengan blouse hitam dipadukan dengan rok warna senada dan high heels krem. Rambutnya sebahu, terurai, terkesan elegan. Ternyata ia adalah seorang pegawai hotel. Karena mba tadi sedang terburu-buru, ia meminta saya untuk memotong jalan menyusuri gang kecil, katanya, biar cepat sampai tujuan. Saya pun mengikuti perintahnya. Namun saat tiba di persimpangan, ada dua jalur, lurus dan belok kiri. Sebelumnya, mba itu juga berpesan agar mengikuti jalur jalan besar setelah memotong jalan melewati gang kecil. Saya pun mengambil jalan lurus.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, saya tidak hafal betul jalan menuju lokasi yang dituju. Saat itu, si mba juga sibuk menggunakan ponselnya, dan ketika sadar, ia pun berkata “Mas, kok lewat sini? Balik lagi, ini salah jalan, yang bener dong!” ujarnya geram.
“Hhh..” keluh saya dalam hati, sambil memutar kendaraan
Saya pun akhirnya menemukan jalan yang biasa saya lalui. Tak lama, tibalah kita di tempat tujuan.
“Terima kasih, mba” saya berusaha tetap ramah.
“Iya,” Jawab mba itu singkat sambil berlalu begitu saja.
“Hhhh…” gumam saya mencoba saba
Selama dua minggu saya menjadi driver, baru kali ini saya kena marah dan dapat penumpang yang kurang ramah. Memang, saya mengakui salah, namun, saya kan manusia biasa dan tidak semua jalan saya ketahui. Saya kan bukan google maps atau waze…
ADVERTISEMENT
Saya percaya bahwa ada hal baik dan buruk dalam menjalani sebuah profesi. Beberapa hari lalu, saya mengalami hal menarik sekaligus berdebar cemas. Singkatnya, saya baru saja menyelesaikan order ke salah satu pusat perbelanjaan di sudut kota, dan saat itu matahari seakan membelah diri menjadi dua, hawa pun terasa sangat panas. Karena kondisi kantong menipis, saya memutuskan membeli minuman kemasan untuk sekedar melepas dahaga. Namun, setelahnya saya baru sadar, ternyata saya berhenti di dekat tempat ojek pangkalan..
Surprised (Foto: Giphy)
Ups! Tanpa saya sadari, sepertinya para supir ojek pangkalan saat itu sudah memperhatikan saya. Salah satu dari tukang ojek pun mendekati saya dan bertanya
Kang, Gojek sanes?” (Kang, Gojek bukan?) sambil berdiri
ADVERTISEMENT
Dengan hati yang berdebar, dengan cekatan saya pun menjawab “Sanes, kang. Abi mah ngantosan bade ngajemput teteh.” (Bukan, kang. Saya lagi nunggu mau ngejemput kakak)
Oh, sugan teh gojek.” (Di kira Gojek) dengan senyum nyinyirnya. “Sanes, Kang.” (Bukan, kang)
Tanpa pikir panjang saya pun bergegas menyalakan motor dan bersiap untuk meninggalkan tempat tersebut. Tapi sialnya, supir ojek itu mencegah saya.
Didieu we, kang, ai bade ngantosan mah” (Di sini saja, kang, kalau mau nunggu mah)
Dengan gesit saya berkelit, “Oh, muhun, eta si teteh atos ngantosan di ditu geuning, kang.” (Oh, iya, itu kakak saya menunggu di sebelah sana ternyata, kang)
ADVERTISEMENT
Fiuhhh….
Disappear (Foto: Giphy)
Sekadar info, di Kota Bandung, tensi antara ojek pangkalan dan ojek online memang masih lumayan tinggi, walaupun sudah tidak seperti awal-awal kemunculan ojek online. Saya pun belum tahu, sampai kapan saya akan menjadi driver Gojek.
Terlepas dari pengalaman tidak enak dalam dua minggu pertama, saya sangat berterima kasih terhadap penumpang yang sempat memakai jasa saya.
Salam.
zqftoakpcfztmyrjpvs8kl4cmbamikhv2pfhegu6afyp6wmwbysusfmremio