Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Belajar Dari Desa
5 Mei 2017 14:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sewaktu bertugas setahun di desa menjadi guru bantu melalui program Indonesia Mengajar, pernah suatu kali saya diajak oleh bapak piara (bapak angkat) untuk memancing di sungai perbatasan Taman Nasional Sembilang Sumatera Selatan. Di bulan Desember yang basah, Taman Nasional Sembilang akan ramai diisi oleh ikan-ikan air payau yang bercokol di tepian. "Waktu paling baik untuk memancing," kata Bapak.
ADVERTISEMENT
Entah karena tidak berpengalaman atau sedang sial, ikan-ikan tidak ada yang termakan umpan kepunyaan saya. Sementara bapak sudah berkali-kali tarik ulur pancing dan mengisi keranjangnya dengan ikan-ikan. Saya menjadi bosan dan memutuskan untuk berhenti memancing.
Akhirnya saya jalan-jalan di pinggiran sungai dan menemukan beberapa alat pancing yang terpasang berjejeran. Iseng, saya mengangkat pancing tersebut untuk melihat ada ikannya atau tidak.
"Jangan, Pip. Punya orang," teriak Bapak dari jauh.
"Lah, kan dak ada orangnya, Pak."
"Biar. Tetap aja punya orang. Bukan punya kita," kata Bapak.
Saya langsung tertohok. Kata-kata beliau tepat menusuk jantung. Mengeluarkan darah penyesalan yang filosofis. Sederhana, namun bermakna.
Meski hanya ingin melihat ikan di ujung alat pancing, namun karena itu bukan milik saya, tetap saja tidak boleh. Padahal saya pun tidak berniat untuk mengambil hasil pancingannya. Dan Bapak menohokkan sebuah pembelajaran yang padat dengan satu kalimat. “Bukan punya kita.” Kadang-kadang seringkali kita terlalu menyepelekan apa-apa yang bukan punya kita, dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sebut saja dalam berlalu-lintas. Dengan alasan terburu-buru, kita menyepelekan menerobos lampu merah atau melawan arah. Padahal jelas-jelas bukan hak kita untuk menggunakannya. Ia adalah hak pengendara yang melintasi lampu hijau, hak milik pengguna jalur yang benar. Ini mungkin terlalu lebay, tapi silakan buktikan saja sendiri. Coba saja meninggalkan barang pribadi di jalanan Jakarta, hanya dalam hitungan menit pasti akan hilang. Dompet di dalam kantung celana saja bisa hilang. Motor yang dikunci leher bisa hilang. Nyawa bisa hilang. Orang pun bisa hilang tiba-tiba tak ditemukan.
Jangan-jangan, kota yang mesti belajar ke desa-desa tentang manusianya.
Tentu saja masih banyak pembelajaran-pembelajaran yang dapat dipetik dari manusia-manusia di desa. Kearifan mereka adalah harta karun yang harus dijaga dan disebarkan semangatnya. Indonesia Mengajar melalui skema Juru Cerita mengajak Anda untuk datang ke desa-desa. Di sana Anda diajak untuk melihat, mendengar dan merasakan langsung bagaimana nafas kehidupan di desa yang mengalir dengan sejuk dan tenang. Anda bisa menemukan cerita-cerita yang bisa menjadi bahan inspirasi untuk membuat tulisan, materi lagu, bahan stand up comedy, film dokumenter, puisi, dan berbagai tuangan materi lainnya.
ADVERTISEMENT
Anda bisa memilih salah satu atau kedua kabupaten, yakni Kabupaten Muara Enim (22-26 Mei 2017) dan Kabupaten Musi Banyuasin (25-31 Mei 2017). Mari menjadi Juru Cerita dan temukan kisah-kisah di selatan Sumatera.
Daftarkan diri Anda di bit.ly/impamit2017