Konten dari Pengguna

Estafet Buka Puasa

Indonesia Mengajar
Indonesia Mengajar adalah Anda, Saya, Kita. Melibatkan masyarakat untuk bergotong-royong memajukan pendidikan bangsa.
21 Juni 2017 11:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Estafet Buka Puasa
zoom-in-whitePerbesar
Ramadhan 2014 adalah pertama kalinya saya ikutan puasa Ramadan, tepatnya di bulan puasa tahun 2014. Saat itu, saya sedang bertugas sebagai Pengajar Muda Indonesia Mengajar. Saya beruntung tinggal di daerah yang warganya 100% muslim. Tidak tangung-tanggung, sebulan penuh pun berhasil dilewati, mulai dari sahur sampai buka puasa. Termasuk mengikuti tradisi khas di desa.
ADVERTISEMENT
Di dusun saya, Dusun Buttutala, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, pada pertengahan bulan puasa, yakni setelah hari ke-15 Ramadan, ada sebuah tradisi unik, yaitu buka puasa bersama. Beberapa keluarga biasanya akan memilih satu hari ganjil dan mengundang warga dusun untuk buka puasa di rumahnya.
Semua orang diundang, lho! Namun, jangan dibayangkan keramaiannya akan seperti undangan hajatan kawinan. Warga di tempat ini hanya berjumlah 50 keluarga. Itupun terbagi dalam dua dusun yang berdampingan. Dalam sehari, setidaknya ada dua keluarga yang mengadakan buka puasa bersama. Hitung-hitung menghindari penumpukan kerumunan di satu titik.
ADVERTISEMENT
Nah, tapi ini dia masalahnya. Sebagai Pak Guru yang paling disayang seantero dusun, semua keluarga menyampaikan harapannya yang besar agar saya bisa berbuka di rumah mereka. Saya teringat akan satu hari di mana saya mendapatkan dua undangan buka puasa. Undangan pertama datang dari tetangga depan rumah. Undangan kedua dari istri imam dusun.
Waktu itu, saya berpikir tidak mungkin menerima undangan satu warga dan menolak yang lainnya. Jadi, saat undangan datang, saya mengiyakan keduanya.
Pak Guru tentunya tidak boleh membiarkan seorang warga pun kecewa. Mesti ada strategi untuk membahagiakan semua pihak, pikir saya. Targetnya jelas. Saya harus menghadiri semua undangan buka puasa di hari itu. Agak tidak masuk akal memang. Namun, itu perlu dicoba.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelumnya, saya sudah membuat urutan undangan mana yang akan dihadiri terlebih dahulu. Undangan tetangga depan rumah akan jadi yang pertama untuk dihadiri. Selanjutnya, baru saya tancap gas ke rumah imam dusun.
Pada malam harinya, saya mematangkan strategi ini dengan membayangkan skenario pergerakan saya besok saat waktu berbuka tiba. Duduk di mana, makan apa saja, kapan harus berpindah tempat, lari lewat jalur mana, semuanya sudah dilaksanakan gladiresik di otak saya malam itu.
Hari yang dinanti-nanti tiba. Bagi warga, ini adalah kegembiraan karena bisa makan daging ayam. Bagi saya, ini bagaikan lomba lari estafet yang akan segera dimulai. Beberapa saat menjelang waktu berbuka, saya sudah duduk di tempat paling strategis untuk kloter pertama, yakni di dekat pintu. Namun percayalah bahwa kenyataan tak semulus adegan khayal tadi malam. Para tetua dusun tidak membiarkan saya duduk di sana. Mereka telah menyiapkan tempat untuk Pak Guru.
ADVERTISEMENT
Hmmmm.. Saya mau tidak mau berpindah setelah beberapa pasang tangan mengarahkan saya ke tempat yang semestinya. Aduh, saya harus segera mengubah skenario nih kalau begini caranya.
Adzan akhirnya berkumandang. Semua tangan secara spontan menengadah. Mulut pun melantun doa. Tak lama kemudian, warga dengan sigap menyerobot gelas-gelas berisi sop buah di depan mereka, meneguknya, dan sejenak mengucapkan Alhamdulillah.
Saya juga tidak kalah sigapnya dibanding mereka. Saya tidak boleh terlena dengan sop buah ini. Ada sop buah lain yang masih menunggu. Begitu dengan percaya dirinya saya berkata dalam hati. Saya buru-buru menghabiskan minuman itu.
Setelahnya, tanpa menghiraukan warga lain yang sedang lahap menyantap hidangan utama, saya melesat menuju ke arah tuan rumah. Saya menyalami tuan rumah sembari menyampaikan maaf karena harus meninggalkan “pesta”. Tuan rumah berusaha untuk menahan saya. Namun, saya kuatkan hati meninggalkan rumah itu. Tidak mengenakkan memang. Tapi itu skenarionya. Maaf ya, Pak. Hiks.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di luar rumah, saya langsung berlari kencang, sambil membayangkan semua orang sedang menunggu kehadiran saya di rumah yang satunya lagi. Mereka tidak akan mulai berbuka jika saya belum sampai. Ini membuat saya makin cepat berlari. Jalan mendaki sepertinya bukan lagi penghalang saya untuk segera sampai di rumah berikutnya yang berada hampir di ujung dusun. Dengan terengah-engah, akhirnya saya pun tiba.
Di depan rumah, saya tidak melihat begitu banyak orang. Wah, acara di sini belum dimulai, pikirku lega. Namun, saat mata memperhatikan lebih tajam, terlihat piring dan gelas sudah berserakan di lantai menunggu untuk dikumpulkan. Tak tampak lagi ada ayam yang tersisa. Aduh, ternyata acara sudah selesai! Dengan tenaga yang masih tersisa, saya masuk ke rumah pesta kedua.
ADVERTISEMENT
"Eh, Pak Guru. Kok baru datang? Sudah makan?" Deretan pertanyaan langsung menghantamku.
"Sudah.. sudah.." Jawabku spontan.
Pertanyaan-pertanyaan lain segera menyusul setelahnya. Mengapa tidak buka disini? Makan apa saja di sana? Saya hanya menjawab seadanya. Seorang ibu lalu mengambil segelas sop buah dan memberikannya kepada saya. Saya teguk sop buah kedua saya mahgrib itu. Rasanya tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Hanya saja, yang ini lebih melegakan saat meminumnya.
Sop buah tersebut menandakan akhir pesta hari itu. Semua orang perlahan meninggalkan rumah. Begitu pun saya. Saya beranjak dengan membawa dua gelas sop buah di perut dan segenggam cerita. Setelah lelah estafet buka puasa dalam satu hari, saya menyadari momen buka puasa bukan tentang menu sederhana atau melimpah, atau ada tidaknya sop buah. Namun, bersama-sama berdoa dan melepas syukur karena telah menyelesaikan puasa.
ADVERTISEMENT
Stefanus Onggo, Pengajar Muda VII, Kabupaten Majene