Konten dari Pengguna

Kejutan Ramadhan di Perantauan

Indonesia Mengajar
Indonesia Mengajar adalah Anda, Saya, Kita. Melibatkan masyarakat untuk bergotong-royong memajukan pendidikan bangsa.
21 Juni 2017 12:13 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramadhan, telah menjadi bulan yang penuh makna dan sangat istimewa bagi seluruh umat muslim. Dua tahun yang lalu saya menemukan ramadhan yang menjadi cerita istimewa dalam hidup saya.
ADVERTISEMENT
Hari itu saya baru saja tiba di Kampung Sitoko yang akan menjadi tempat tinggal saya selama setahun, dan tidak lama lagi Ramadhan akan datang, anak-anak bahkan sudah libur kenaikan kelas, ditambah dengan libur awal Ramadhan. Karena sekolah belum mulai tentu ini menjadi kesempatan bagi saya untuk bersosialisasi. Mengatur jadwal bermain dengan anak-anak pun dimulai. Beberapa anak memang sudah sering berkumpul di rumah tempat saya tinggal. Maklum saya warga dan guru baru, tentu anak–anak masih penasaran. Mulailah saya mengajak mereka untuk mengelilingi seluruh kampung ini. Anggap saja tadabur alam.
Bagi saya ini juga awal bagaimana saya menyapa seluruh warga di kampung ini. Mencari hasil kebun, bermain di pinggir sungai, hingga menemani mereka mandi di sungai yang segar dan jernih pun saya lakukan. Hingga akhirnya pukul 2 siang kami kembali menyusuri bukit untuk kembali ke rumah tempat saya tinggal, karena saya belum menunaikan sholat dhuhur. Sungguh luar biasa, anak-anak yang masih duduk di bangku kelas 2 dan 3 mengingatkan saya untuk sholat. Bahkan, seorang anak kelas 5 mengajak saya untuk sholat berjama’ah.
ADVERTISEMENT
Selepas sholat, saya memandang ke arah luar jendela, segerombolan anak perempuan sedang membersihkan bambu dan membentangkan kain–kain jarik yang mungkin milik ibunya di rumah.
“Sa saungan, Bu. Bermain saung, Bu,” kata mereka kompak saat saya bertanya apa yang mereka lakukan. Saung dalam bahasa sunda berarti gubuk, atau rumah kecil, yang biasa ada di tengah sawah untuk para petani berteduh dan istirahat siang hari. Mereka bermain rumah-rumahan dengan membuat saung versi mereka sendiri. Beberapa batang bambu dibersihkan dengan golok, kemudian dipasang seperti membuat pagar dan membentuk segi empat. Setelah bambu benar-benar menancap dalam tanah, mereka kemudian melilitkan kain panjang untuk menutupi batang bambu tersebut. Mereka seperti arsitek cilik, mencari bambu sendiri, menghitung berapa orang yang ikut bermain dan bisa masuk dalam ruangan itu. Lebih menarik lagi, mereka bahkan juga membuat perapiannya.
Dalam bahasa sunda, perapian digunakan untuk “ngaliwet, memasak nasi dalam dalam kuali”. Tapi kali ini hanya digunakan untuk menggoreng bahan makanan. Saya terus memperhatikan mereka sambil terkagum-kagum, tetapi khawatir juga. Biasanya, anak-anak usia sekitar kelas 2 sampai kelas 6 SD, untuk memegang pisau saja terkadang masih sering membahayakan diri mereka sendiri. Sementara anak-anak di sini, bukan lagi menggunakan pisau, tetapi sudah pandai menggunakan golok, bahkan membuat api. Beda sekali dengan apa yang saya temui di lingkungan rumah di kota.
ADVERTISEMENT
Saung sudah dibuat dan berdiri dengan kokoh. Beberapa anak masuk dan menikmati hasil bangunan mereka. Sementara yang lain sedang asik memotong beberapa bahan makanan. Tidak ketinggalan hasil kebun hasil buruan berkeliling kampung pun ikut dipotong menjadi olahan makanan. Ada pisang dan ubi, sementara anak-anak sudah membawa tahu dan tempe sebelumnya. Beberapa batu diletakkan agar dapat menyanggah penggorengan mini yang sudah mereka bawa, segelas minyak goreng hasil swadaya, garam, dan bahan makanan sudah siap. Setelah saung selesai, masak bersama pun dimulai dengan segala peralatan dari alam yang serba mini.
Pisang muda, ubi, dan tahu tempe semua dipotong kecil-kecil sesuka hati mereka. Beberapa orang menjaga agar api tetap menyala, beberapa yang lain berebut memotong, dan seorang anak perempuan, bernama Darwati, sedang asik menggoreng, sementara yang lain menikmati saung yang dibangun. Permainan ini mirip dengan permainan saya semasa kecil, hanya saja tentu menggunakan peralatan masak-masakan yang semuanya serba plastik dan digerakkan oleh imajinasi atas apa yang dimasak. Hahaha! Sementara permainan masak-masakkan ini begitu nyata.
ADVERTISEMENT
Hampir sejam saya tertegun melihat anak-anak ini bermain, tiba-tiba seorang anak laki-laki bernama Dedi, yang saat itu adalah murid kelas 4 SD, menegur saya dengan ajakan buka puasa bersama. Saya dengan senang hati menerima ajakan tersebut. Sontak anak-anak yang bermain sa saungan ini pun bersorak, peserta buka puasa pun semakin banyak. Keripik pisang, tahu tempe goreng, dan ubi bakar pun menjadi menu ta’jil saya hari itu.
Kejutan Ramadhan tidak berhenti di ta’jil anak-anak saja. Di penghujung bulan puasa, kampung menjadi lebih ramai. Para warga yang bermigrasi ke kota tampak satu per satu kembali ke kampung. Kali ini, saya diminta menjadi imam sholat idul fitri bagi jama’ah perempuan. Sungguh kejutan dan tawaran yang membuat jantung saya mau lepas! Bagaimana tidak, saya tidak pernah melaksanakan sholat idul fitri dengan makmum yang semuanya wanita, tentu sejauh ini imam ataupun bilal pastilah seorang laki-laki. Saya sama sekali tidak pernah punya pengalaman menjadi imam sholat besar seperti idul fitri ini yang harus mengimami seluruh makmum wanita yang ada di kampung ini. Benar ternyata kata para Pengajar Muda yang telah purnatugas, menjadi Pengajar Muda tidak terbatas soal mengajar, karena banyak hal mulia yang telah digantungkan pada diri pengajar muda.
ADVERTISEMENT
Saya sungguh merasa menjadi orang yang sangat beruntung mendapat kepercayaan itu. Tapi bagaimanapun saya harus tetap melihat kemampuan diri saya, apalagi menyangkut soal umat. Dengan penjelasan berkali-kali, akhirnya para warga mengerti posisi dan kemampuan saya, hingga akhirnya imam sholat digantikan oleh salah seorang pemudi yang baru kembali dari pesantren. Sementara saya tetap diminta untuk menjadi bilal sholat idul fitri. Alhasil, setiap malam saya belajar menghafalkan dan mempraktikkan apa yang seharusnya dilakukan oleh bilal. Jangan sampai saya melakukan kesalahan karena ini soal pahala dan umat.
Ternyata, Ramadhan di perantauan banyak menghadirkan kejutan!
Sendi Kenia Savitri , Pengajar Muda VIII, Kabupaten Lebak, Banten