Konten dari Pengguna

Lezatnya Sayur Marungga, Sayur Penangkal Jin

Indonesia Mengajar
Indonesia Mengajar adalah Anda, Saya, Kita. Melibatkan masyarakat untuk bergotong-royong memajukan pendidikan bangsa.
11 Juni 2017 18:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lezatnya Sayur Marungga, Sayur Penangkal Jin
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Saya baru saja melipat sajadah setelah di ujung sana Mama Piara memanggil, “Pak Guru, nanti buka jam berapa?”.
ADVERTISEMENT
“Sebentar, Mama, be lihat da pung jadwal dulu,” ucap saya sambil melangkahkan kaki menuju periuk sederhana yang berada dekat kamar.
Dapur selalu menjadi tempat idola saya, Mama, Bapak, dan Jaldi, adek piara untuk berkumpul, bercerita maupun sekedar untuk menyantap masakan nan lezat punya Mama. Di sana terdapat meja kayu buatan Bapak dan dua kursi plastik yang digunakan oleh saya dan Bapak, sedangkan Mama duduk di dingklik (kursi kayu kecil).
Sudah sekitar dua minggu lebih sejak kedatangan saya di Rote dan hadir di tengah keluarga Bapak Whellmus Keti dan Mama Lina Anabokay, penganut agama Kristen. Baru juga tiba di Rote, saya sudah harus menghadapi puasa di tengah panas matahari yang begitu terang, debu pasir bertebangan di mana-mana, dan dingin yang menusuk tulang saat malam akibat angin Australia.
ADVERTISEMENT
Puasa kali ini berbeda dari puasa sebelum-sebelumnya. Jauh dari rumah dan kemudahan-kemudahan, seperti tarawih atau pasar takjil yang menjual es pisang ijo. Puasa kali ini sangat spesial karena orangtua angkat juga ikut keriwehan saya berpuasa. Walaupun tidak ikut berpuasa, merekalah yang begitu setia menyiapkan sahur dan makan berbuka puasa.
“Pak Guru, kitong pergi ke kebun.” Begitulah panggilan kesayangan Mama kepada saya. Awalnya saya sempat menolak dipanggil ‘Pak Guru’ dan berharap dipanggil Arsyad atau Kakak saja. Akhirnya saya menyerah saja. Kata Mama Piara, kalo panggil nama saja tidak sopan, karena baginya, dokter, pendeta, dan guru adalah orang yang harus dihormati.
“Ada mau bikin apa, Mama?” tanya saya heran.
“Mama ada mau bikin makanan buka puasa to buat Pak Guru.” Sambil mengulum bibir.
ADVERTISEMENT
Setelah berjalan sekitar 500 meter, sampailah kami di kebun yang ditanam Mama dan Bapak. Sejauh mata memandang, saya hanya melihat jajaran pohon lontar dan tiga petak tanah dengan bedengan batu. Awalnya saya pikir ini hanya sejenis tanaman sejenis rumput-rumputan biasa, lalu kenapa kita harus memetik tanaman ini? Apalagi saya juga tak pernah melihat tanaman ini tumbuh di sekitar tempat tinggal saya di rumah.
“ Awii, petik su da pung daun,” ucap Mama sambil menyodorkan kantung plastik hitam untuk menyimpan daun tanaman tersebut.
Setelah bertanya dengan Mama, ternyata tanaman ini adalah sayur marungga. Marungga yang tumbuh subur di Pulau Rote rupanya adalah tanaman “wajib” di meja makan. Asumsi saya saat itu, mungkin karena sebagian besar wilayah Rote gersang sehingga memang tanaman ini subur di wilayah geografis seperti Rote.
ADVERTISEMENT
Daun marungga sendiri berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Menurut Mama, bunga ini keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak.
Sekitar pukul setengah lima sore, saya dan Mama sudah tiba di rumah. Hasilnya, kami mengumpulkan tiga kantung besar yang semuanya diisi oleh sayur marungga, hasil petikan kami. Mama pun langsung mempersiapkan bumbu dan memasak air di tungku pembakaran, sedangkan saya membantu mencuci sayur marungga untuk dimasak.
ADVERTISEMENT
Memasak sayur marungga menurut saya sangat mudah. Hanya butuh tiga bawang putih dan satu bawang merah yang dipotong-potong, serta sedikit garam. Air yang sudah mendidih, lalu dimasukkan sayur marungga, cemplungkan bumbu yang sudah dipotong tadi dan taburi garam secukupnya, tunggu sekitar sepuluh menit lebih dan, taraaaam, sayur marungga yang disajikan dalam sayur bening ini siap dihidangkan.
Saya yang saat itu masih keheranan dengan sayur marungga, untuk pertama kalinya akan menyantap sayur tersebut. Seketika mata saya tertuju pada meja makan yang sudah terisi satu telur dada yang dibagi menjadi empat bagian untuk saya, Mama, Bapak dan Jaldi, satu mangkok penuh dengan sayur marungga, dan sambal khas Rote dengan perasan jeruk nipis menambah nafsu makan.
ADVERTISEMENT
Mungkin ini adalah makanan berbuka puasa yang sangat sederhana. Tak ada aneka macam gorengan dengan lombok atau es kelapa muda, tapi saya begitu bahagia akan menghabiskan setahun bersama mereka. Iya, karena kebahagiaan adalah perjalanan bukanlah tujuan.
Waktu yang ditunggu pun tiba, setelah membaca doa berbuka puasa dan secangkir teh panas yang begitu melegakan kembali membasahi kerongkongan yang seharian kering. Tak sabar, saya menyambut piring yang sudah terisi nasi oleh mama dan menaruh satu potongan telor dadar tipis, menyiraminya dengan kuah dan sayur marungga serta tak lupa sambal khas Rote.
“Mae ta le! Selamat makan!” teriak saya yang sudah lapar.
Sendok makan yang sudah terisi kuah dan sayur marungga, langsung saya arahkan masuk dalam mulut. Maknyuss, kalo kata Bondan Winarno. Kuahnya yang bening, cocok sekali dengan perpaduan nasi putih panas dan sambal jeruk nipis yang pedas sekali.
ADVERTISEMENT
Mama yang melihat saya begitu lahap menawarkan telur dadarnya. Saya pun yang lapar kembali menambah porsi dan menolak telur dadar jatah Mama. Sebagai gantinya, saya mengambil begitu banyak sayur marungga sampai piring makan saya tak terlihat nasinya.
***
Setelah beberapa hari di desa, akhirnya saya pun ke kota untuk bertemu dengan teman sepenempatan. Di sela obrolan, saya yang penasaran dengan sayur marungga, bertanya tentang sebutan sayur marungga tersebut.
Betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa sayur marungga, jika di Jawa disebut dengan daun kelor. Tak hanya itu, keterkejutan saya bertambah karena ternyata daun ini jarang dimakan karena mitos bahwa daun ini dapat mengusir setan, kemudian buat orang yang mendapatkan kekuatan dengan bantuan makhluk halus akan hilang kesaktiannya. Yang bikin kaki saya gemetar, biasanya daun ini digunakan untuk memandikan jenasah. Jadi, kemarin sayur yang saya lahap adalah sayur penangkal jin?
ADVERTISEMENT
Saya yang kemudian tak percaya begituan, lalu mencari di Google tentang khasiat daun kelor. Ternyata khasiat sayur marungga atau biasa disebut daun kelor ini ternyata dianjurkan oleh WHO untuk dikonsumsi bayi dan balita di masa pertumbuhannya dan menurut penelitiannya, daun kelor dapat mengobati 300 jenis penyakit. Selain itu, daun ini dapat mengobati penyakit jantung, kanker, diabetes serta masih banyak lagi khasiatnya.
Sejak saat itu, sayur marungga atau daun kelor penangkal jin menjadi sayuran favorit di kala sahur maupun berbuka. Tak berhenti di situ, kelak rumah saya juga harus ditanami sayur penangkal jin ini. Jadi, sudah bersemangat mencoba sayur marungga kan?
Arsyad Azizi Iriansyah, Pengajar Muda X, Kabupaten Rote Ndao
ADVERTISEMENT