Tak Sendiri, Meski Berpuasa di Tanah Asing

Indonesia Mengajar
Indonesia Mengajar adalah Anda, Saya, Kita. Melibatkan masyarakat untuk bergotong-royong memajukan pendidikan bangsa.
Konten dari Pengguna
26 Mei 2017 17:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara tentang bulan Ramadhan, aku jadi teringat pengalamanku dua tahun silam.
ADVERTISEMENT
Tahun ketika aku memilih untuk mengabdi menjadi seorang guru sekolah dasar di salah satu sekolah yang berada di pulau paling tenggara Indonesia. Tahun yang sama ketika aku menjadi satu-satunya yang melaksanakan ibadah puasa di tengah penduduk desa beragama Kristen Protestan.
Tanpa terkecuali keluarga piaraku. Aku tinggal bersama Bapak, Mama, dan Kakak perempuanku, sebuah keluarga Kristen Protestan yang taat. Bapak piaraku bahkan seorang majelis gereja yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk melakukan pelayanan di gereja.
Sebelum tiba di desa, pikiranku tidak menentu dan penuh dengan tanda tanya. Memang, aku bukan muslim pertama yang tinggal dan hidup di desa ini. Apakah aku bisa memberikan kesan pertama yang menyenangkan? Apakah aku bisa diterima dengan baik di lingkungan baruku?
ADVERTISEMENT
Lingkungan yang sangat jauh berbeda dengan tempat tinggalku selama ini. Bukan hanya dari segi agama saja, dari sisi sosial, suku, bahasa, adat istiadat. Ini pertama kalinya bagiku, perantau dari Kalimantan menetap di Maluku Tenggara Barat.
Kita terlalu takut dengan sesuatu yang belum tentu terjadi. Kalimat itu terngiang di kepalaku saat pertama kali menginjakkan kaki di desa penugasanku. Kekhawatiranku ternyata benar tidak terbukti!
Perasaan takut sontak menjadi bahagia saat mendengar anak-anak meneriakan namaku, menyambutku guru baru di desa mereka. Saat bertemu keluarga piara, bahagia dan lega sekali rasanya, ketika seluruh isi rumah menghampiriku, menyapa dengan senyuman hangat.
Berhubung kedatanganku di desa bertepatan dengan awal puasa, lagi-lagi anak-anak dan keluarga piaraku membuat keadaan semakin terharu saja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak! Awalnya aku membayangkan Ramadhan kali ini akan sangat menyedihkan–tidak bisa sholat tarawih berjamaah, tidak ada yang menyiapkan menu berbuka puasa, dan tidak ada yang memasak untuk makan sahurku.
Aku sangat terharu sekali, ketika Bapak, Mama piara, dan kakak perempuanku menjadi sangat sibuk ketika malam sahur tiba. Tanpa diminta, Mama dan Kakak perempuanku memasak makan sahur untukku.
Mereka bahkan ikut makan sahur bersama, dan belum akan tidur jika aku belum selesai sahur. Aku jadi makin lahap dan bersyukur menyantap sahur. Aku tidak lagi merasa sendiri!
Menjelang sore tiba, anggota keluargaku terlihat sibuk menyiapkan hidangan berbuka puasa untukku. Kebetulan desa tempat penugasanku terletak di wilayah pesisir pantai, tentunya hasil lautnya sangat melimpah.
ADVERTISEMENT
Beberapa warga biasanya bergantian memberiku ikan segar ataupun ikan yang sudah dimasak. Anak-anak muridku juga tak lupa ambil bagian.
Mereka biasanya mengambil beberapa buah kelapa dari pohon-pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekeliling desa, untuk dibuat es kelapa, atau biasa mereka menyebutnya es sarang burung.
Aku tak habis pikir! Padahal aku tidak pernah mengatakan kepada mereka sebelumnya; minum air kelapa adalah kegemaranku dan merupakan hidangan mutlak yang biasanya hadir kala aku berbuka puasa. Dengan keterbatasan yang ada, mereka dengan tulusnya berupaya menghadirkan suasana puasa yang menyenangkan untukku.
Bahkan pernah, Mama piaraku berjalan berkilo-kilo untuk mencari kangkung liar yang tumbuh di sekitar danau, hanya karena ia tahu aku menyukai masakan berbahan dasar kangkung.
ADVERTISEMENT
Kakak perempuanku juga pernah bercerita. Dulu Mama pernah bekerja di wilayah Papua Barat, dan pernah tinggal bersama orang tua piara dari agama Islam. Orangtua piaranya sangat baik kepadanya dan sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka.
Dari situlah ia sedikit banyak mengerti tentang kebiasaan-kebiasaan seorang muslim saat menjalani bulan Ramadhan.
Ramadhan di desa Maluku Tenggara Barat tak lagi dipenuhi ketakutan dan kesedihan. Sebulan penuh mataku dibuat berkaca-kaca oleh kebaikan dan perhatian dari masyarakat desa, anak-anak muridku, dan keluarga baruku.
Aku tidak merasa sendiri di sini. Saat itu, aku sangat percaya sekali, bahwa di mana pun kita melangkahkan kaki, apa yang kita terima tidak lain tidak bukan adalah berkat apa yang sudah kita kerjakan di masa silam. Jika kita menanam kebaikan, tentunya kita pun akan menuai kebaikan pula.
ADVERTISEMENT
Juliansyah | Pengajar Muda X | Kabupaten Maluku Tenggara Barat