Tidak Harus Merayakan untuk Bisa Merasakan

Indonesia Mengajar
Indonesia Mengajar adalah Anda, Saya, Kita. Melibatkan masyarakat untuk bergotong-royong memajukan pendidikan bangsa.
Konten dari Pengguna
28 Juni 2017 8:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indonesia Mengajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tidak Harus Merayakan untuk Bisa Merasakan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
19 Juni 2015.
Adzan Maghrib berkumandang. Malam hari ini adalah hari pertama aku menapakkan kakiku, untuk hidup setahun ke depan di Musi Banyuasin, Kecamatan Lalan, Desa Karang Agung. Ayah Basri, Ibu Musrifah, Kakek (Ayah Ibu Musrifah), Nenek (Ibu dari Ibu Musrifah), Anjani (Anak Ibu Musrifah), Ria (Keponakan Ibu Musrifah), dan Bibi (Adik Bu Musrifah) adalah keluarga angkatku yang baru di Musi Banyuasin ini. Selama setahun ke depan aku akan mewarnai pengalaman hidupku bersama mereka. Ayah, Ibu, dan Nenek adalah guru mengaji bagi anak-anak di Desa kami. Mereka menyediakan sebagian rumahnya untuk anak-anak desa berkumpul, belajar mengaji, dan belajar rebana. Mayoritas penduduk di desa kami adalah muslim, 99 persen sepertinya. Hanya saya seorang diri yang Katolik, dan Ibu Dwi, salah satu Guru di sekolah kami yang Kristen dengan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Tas ransel besar itu baru saja kuletakkan di lantai kayu sembari menyalami satu per satu keluarga angkatku. “Langsung masukkan kamar saja Mas Tio, tas sama barang-barangnya,” sahut Ibu. Dengan rasa sungkan aku perlahan, melangkahkan kaki, membawa tas ransel besar itu ke kamar sembari diantar kakek yang membantu dan mengarahkan. “Kamarnya kecil, ya, Mas Tio, adanya ini,” seru Kakek merendah. “Iya Kek, nggak apa-apa. Sama saja kok, yang penting tidak kehujanan dan kepanasan,” jawabku. Selepas menata barang, aku bergegas mandi karena ternyata semua keluarga menunggu untuk makan bersama.
Kulihat semua keluarga khususnya yang laki-laki mengenakan sarung sebagai penutup kakinya, sedangkan seumur hidupku tidak pernah mengenakkan sarung kecuali untuk selimut tidur. Setelah sekian lama mencoba menggunakan sarung akhirnya kuberanikan diri untuk keluar kamar, meskipun rasa aneh dan kaku dalam langkahku. Ibu mempersilakanku duduk di sebelah Kakek dan Ayah sembari menyiapkan piring untuk makan berbuka puasa malam itu. Ada cah kangkung, terong sambal kecap, nasi, gulai ayam, dan ikan gabus goreng. Setelah makan, ternyata Ibu juga telah menyiapkan ada agar-agar, hingga susu putih. Super lengkap menurutku. Makan malam itu juga sebagai momen perkenalan kami dengan keluarga. Kumandang suara Masjid saat itu mengakhiri percakapan kami malam itu. Nenek, Bibi, Ibu membersihkan ruang makan kami meskipun hanya lantai kayu beralaskan taplak meja dari kain. Ayah, Kakek, Anjani, Ria bersiap untuk pergi ke Masjid yang hanya 20 meter di depan rumah kami. “Kami, tarawih dulu, Mas Tio. Mas Tio istirahat duluan saja ‘kan capek seharian di jalan,” kata Ayah berpamitan sembari mempersilahkan istirahat.
ADVERTISEMENT
20 Juni 2015.
Puasa hari ketiga di tahun itu, namun puasa di hari pertama dalam hidupku. 03.15 Nenek mengetuk kamar sembari membangunkan, “Mas Tio, mau ikut sahur bersama, kah?” “Iya, Nek. Sebentar ya,” jawabku pelan selagi mengembalikan kesadaran dari tidur. Perlahan aku keluar kamar, ternyata semua keluarga sudah bersiap untuk sahur. “Ayo, diminum dulu itu, mau teh atau kopi?” tanya Ibu. Masa itu adalah masa sulit bagiku, juga mungkin bagi mereka. Belum genap 1x24 jam kita bersama, namun harus menghadapi masa puasa bersama. Bukan soal puasanya, namun perbedaan adat dan kebiasaan saja. Sederhananya, orang lain yang baru kenal saja butuh waktu untuk untuk mengenal lebih dekat, apalagi kalau yang baru saja berjumpa. Saat itu pikiranku mulai bertanya-tanya, “Apakah ini artinya disini wajib ikut puasa ya?” Sembari menghabiskan makan di piring ini, pertanyaan itu terus saja menghantui. Batinku yang baru puasa untuk pertama kalinya, kalau memang wajib puasa biar aku kenyangkan sekalian, minum sepuasnya, makan sekenyangnya biar kuat hingga saat berbuka. Tiba-tiba, Nenek bilang “Mas Tio, ini makanannya nanti Nenek taruh di meja, ya. Ditutupi pakai kain itu. Kalau waktunya makan ambil sendiri aja jangan sungkan. Pokoknya lapar, makan.” Terjawab sudah rasa penasaranku. Ternyata bukan sekedar wajib puasa atau tidak, namun bagaimana menghargai dan menghormati perbedaan. Yang puasa menghormati yang tidak, yang tidak puasa menghormati yang puasa. Ya, saling menghormati.
ADVERTISEMENT
Hari ini, sebagaimana salah satu tujuanku ke sini, yakni mempunyai pengalaman, puasa hari pertamaku pun menjadi pengalaman berharga dalam hidup. Hari pertama ini cukup berat bagiku. Setelah sahur, memang kami tidur lagi, bangun sekitar pukul 7.30. Matahari di daerah kami, memang datang lebih lambat daripada di rumah kami di Pulau Jawa. Jam 6.00 pagi saya sudah terang, ini baru sekitar jam 7.00. Hari itu sekolah libur, tidak ada kegiatan sehingga kuhabiskan waktu untuk bermain bersama anak-anak di dermaga belakang rumah. Layang-layang, permainan kami saat itu.
“Pak Guru, Bapak puaso idak?” (Pak Guru, Bapak puasa tidak?)” tanya muridku.
“Puaso lah!” seruku lantang dan bangga.
“Aihh, samo kito ini Pak” jawabnya senang.
ADVERTISEMENT
Seharian kami bermain layang-layang hingga pukul 12.00 tiba. “Kami pamit nak balek rumah, Pak,” kata mereka pamit. “Payo,” jawabku. Cuaca panas itu benar-benar mengujiku, antara bertahan ataukah menyerah untuk menuju dapur dan mengambil makanan, paling tidak minuman untuk melepaskan dahaga. Namun ternyata rasa malu akan niat kehadiranku di tanah ini, rasa malu yang telah menjawab lantang pertanyaan anak-anak tadi menguatkanku. Kuputuskan untuk masuk ke kamar saja, mengambil buku tipis itu untuk kipas-kipas sembari berbaring. Ya, ketiduran akhirnya, namun syukurnya cukup tepat untuk menunggu waktu berbuka. Suara masjid itu pun membangunkanku. Ternyata, masih pukul 15.15. “Aihhh, aku pikir sudah adzan maghrib,” kataku dalam hati. Benar, hari itu adalah hari tersulit yang pernah kurasakan, benar-benar menanti dan menunggu. Jam pada layar HP pun setiap kali dilihat untuk memastikan. Hingga akhirnya tiba.
ADVERTISEMENT
Pukul 17.00, Nenek mengingatkan kami untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mandi, kami berkumpul bersama, sembari Nenek, Ibu, dan Bibi sibuk menyiapkan makanan berbuka di hadapan kami. Saat itu adalah saat diam bagi kami semua, memandang satu sama lain, saling mengisi gelas-gelas kosong kami dengan es sirup buah yang disiapkan. Adzan maghrib pun akhirnya berkumandang, “Alhamdulilah!” seru semua keluarga dengan lantang, seruku juga dalam hati. Perlahan kami menyantap teh hangat dan es syrup buatan Ibu secara bergantian.
“Aihh, Pak Tio ikut puasa jugo seharian” seru Nenek disambut tawa keluarga yang lain. Bagiku ini apresiasi yang tulus dan sangat berharga dari mereka. Benar-benar rasa lega yang kurasakan hari itu, makna “penantian” yang benar-benar ikut aku rasakan. Lapar, haus yang terasa ternyata tidak membuatku harus makan lebih banyak dari biasanya, minum secukupnya saja. Hal ini menjawab sudah mengapa saudara-saudara yang puasa selama ini, ketika sahur ataupun berbuka hanya makan dan minum seperti biasa, tidak dilebihkan untuk mengenyangkan atau untuk melepas dahaga. Sawi telur, ikan asin sambal, tempe sambal, dibuka es syrup dan ditutup minum susu hangat menjadi menu kita hari itu. Seperti biasa, setelah makan bersama, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, Bibi dan adik-adik berpamitan untuk tarawih bersama.
ADVERTISEMENT
Hari pertama waktu itu menjadi pegangan dalam hidupku untuk hari-hari puasa selanjutnya. Aku pernah merasakan dan ternyata memang sanggup. Aku merasa juga pasti sanggup untuk hari-hari selanjutnya. Terkadang, ada keinginan untuk menyerah, hingga terbaca oleh orang lain, misalnya saat kita mondar-mandir di dapur, keluar masuk kamar untuk menghabiskan waktu, kemudian ke kamar mandi untuk membasahi muka di kamar mandi agar tidak panas. Hingga suatu saat Ibu bilang, “Mas Tio, ayo makan dulu itu kalau lapar. Sudah ada lauknya kok di meja makan. Ibu tutupi kain.” “Iya Bu, Masih kuat kok. Kan sebentar lagi buka, sekalian aja,” jawabku meyakinkan Ibu dan meyakinkan diri.
Toleransi (Foto: JohnHain/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Toleransi (Foto: JohnHain/Pixabay)
16 Juli 2015.
Hari ini hari terakhir puasa, suasana cukup berbeda. Sambil menunggu waktu berbuka, kami berkumpul di depan televisi, Ayah terpaksa menghidupkan genset karena sudah hampir sebulan listrik tidak menyala. Kami menantikan sidang Isbat penentuan Hari Raya Idul Fitri. Semua bersorak ketika Pemerintah melalui Menteri Agama mengumumkan bahwa Hari Raya Idul Fitri pun jatuh besok hari. Benar, hari ini adalah hari terakhir puasa. Hingga akhirnya kami berbuka puasa, kemudian keluarga sholat tarawih seperti hari-hari sebelumnya. Perbedaannya adalah, seusai sholat tarawih, sebagian besar warga berkumpul di rumah. Anak-anak mengajak Ayah, Ibu yang kebetulan juga guru mengaji untuk berkeliling malam takbiran. Peralatan pun dipersiapkan, mulai dari rebana, kentongan, hingga peralatan lainnya.
ADVERTISEMENT
Sekalipun menteri agama telah mengumumkan pelaksanaan Idul Fitri, ternyata di desa kami memiliki penafsiran yang berbeda. Masyarakat lokal sebagian ada yang bilang belum saatnya, ada sebagian lagi yang sepaham dengan penetapan Pemerintah. Intinya selisih satu hari. Hal ini yang mengakibatkan Ayah, Ibu perlu berpikir panjang untuk memenuhi permintaan anak-anak berkeliling malam takbiran. Akhirnya, setelah berunding dengan beberapa tokoh masyarakat adat, disepakatilah tetap dapat melakukan keliling malam takbiran, namun menghindari pengeras suara dan menggunakan pengeras suara masjid untuk menghormati yang masih melakukan puasa. Ya, lagi-lagi aku belajar mengenai makna toleransi.
“Payo Pak, melok berkeliling!” pinta anak-anak. Aku tidak bisa mengiyakan karena ragu, apakah bagi mereka boleh yang nonmuslim seperti aku mengikuti kegiatan ini. “Agek bapak teriak-teriak bae kek kami ini Pak, melok bae. (Nanti Bapak yang teriak-teriak saja kayak kami ini, ikut aja Pak),” pinta yang lain. Aku hanya diam, tersenyum, ingin ikut sebenarnya, tapi entah boleh atau tidak. “Ayo, Mas Tio ikut” ajak Ibu. “Pak Tio agek yang bawa gerobak bedhug-nyo bae, kan kuat,” penjelasan Ibu kepada anak-anak. Seolah-olah Ibu menjawab dan merestui untuk aku ikut. Ibu mengetahui, mungkin aku bakalan kagok mengucapkan (susah melafalkan) Allahu Akbar seperti anak-anak lainnya, makanya mengajak tetap ikut meskipun hanya membawa gerobak sesekali menabuh bedhug. Malam itu kami berkeliling, dari ujung desa ke ujung desa yang lain. Berbagai macam lagu rohani kami kumandangkan, hingga lafalkan Allahu Akbar sepanjang jalan.
ADVERTISEMENT
Jumat, 17 Juli 2015.
Hari Raya Idul Fitri pertamaku di desa. Jelas, aku tidak ikut sholat, hanya membantu mempersiapkan rumah sembari semua keluarga pergi ke Masjid untuk sholat. Tiba saat-nya sepulang sholat, semua anggota keluarga berkumpul di ruangan keluarga. Sedangkan aku dalam kebingungan. Apa yang harus kulakukan? Apakah baiknya aku mengucapkan? Menyalami satu persatu? Atau sebenarnya aku tidak boleh? Pertanyaan itu selalu muncul? Ataukah membiarkan mereka berkumpul bersama terlebih dahulu? Secara, aku bukan merupakan keluarga inti, dan baru sebulan di kenal juga. Akhirnya, dalam ragu kubiarkan mereka berkumpul bersama dan aku menunggu di balik dinding papan itu.
Aku memang mendengar, namun aku tak melihat. Ingin sekali sebenarnya, namun segan. Aku ikut merasakan, meski aku tidak merayakan. Ingin sebenarnya, namun itu tak mungkin. Di balik papan kayu itu, aku yakin dan dengar. Aku yakin ada air mata. Ada kata maaf. Ada lirih doa. Ada saling pesan antar setiap mereka. Di balik papan kayu ini, badan ini kaku untuk bergerak. Mulut ini, sebenarnya tak bisa lepas untuk berucap. Namun hati ini tetap dapat menangkap. Ketika “maaf” tak sekedar kata yang terucap.
ADVERTISEMENT
Setelah mereka menyelesaikan acara keluarga, akhirnya kuberanikan diri keluar kamar. Menyalami satu persatu dari mereka, sambil mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek. Mohon maaf, lahir dan batin,” bagi mereka satu per satu. Ya, 17 Juli ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Sebulan bersama mereka, aku belajar tentang makna “penantian”, makna “kemenangan”, makna “toleransi”. Aku sadar, bahwa ternyata tidak harus merayakan untuk bisa merasakan. Ya, memang benar, Allahu Akbar, Tuhan Maha Besar.
Miracle Sihombing. Pengajar Muda X, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.