MUI, Catatan Syafiq Hasyim, dan Kebangsaan

A Fahrur Rozi
Mahasiswa Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
18 April 2022 14:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari A Fahrur Rozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logo Majelis Ulama Indonesia  (MUI). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Logo Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang intelektual dan aktivis sosial yang aktif memberikan ‘catatan’ seputar fenomena sosial dan kebangsaan, Syafiq Hasyim, kembali berbagi pandangan terkait isu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghentikan tayangan acara televisi seorang artis, Ayu Ting Ting. Catatannya itu ia bagikan di berbagai media sosial dengan tajuk “Ayu Ting Ting dan Atas Nama MUI”, Jumat (01/04/2022).
ADVERTISEMENT
Di awal, saya sudah optimis bahwa tulisan yang disajikan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta itu mengangkat isu yang sensitif ihwal keagamaan dan konsep moderat kita dalam pampangan publik. Tulisan itu berhasil menggelitik penulis untuk ikut nimbrung berbagi pandangan hingga merestorasi narasi dan argumentasi Syafiq dalam bangunan pemahamannya mengomentari MUI dan isu yang menyertainya.
Pertama, saya sangat menyayangkan ia yang tidak integrasi secara praksis keilmuan. Di tengah asosiasi elemen masyarakat dalam menekan peredaran berita hoaks yang semakin apik di ruang maya, ia dengan ketokohan akademisnya mencemari itu dengan narasi kontra propaganda (negasikan hoaks dengan melahirkan sintesis hoaks baru). Alih-alih dengan disiplin keilmuannya ia membangun kehangatan berbangsa, ia mengembangkan isu krusial dalam kecamuk konflik internal yang tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, saya hanya bisa mereka-reka atas dasar apa ia mengomentari hal yang realitas kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Isu terkait MUI yang meminta acara siaran Ayu Ting Ting dihentikan memang ramai disorot media masa. Hal itu bermula ketika beberapa media, termasuk Nova id merilis artikel senada “MUI diketahui ajukan permohonan pada KPI untuk menghentikan tayangan Ayu Ting Ting” pada bulan lalu (16/03/2022).
Namun, tak lama setelah rilis berita itu, Pengurus Informasi dan Komunikasi MUI Elvi Hudhriyah, sebagai objek pemberitaan melakukan klarifikasi bahwa isu tentang pengajuannya ke KPI adalah hoaks. Kepada kami (redaksi MUI Digital), Elvi mengatakan, MUI bersama KPI memang aktif memantau program televisi Ramadan pada tiap tahunnya untuk memberikan apresiasi terhadap ada program positif, serta memberikan evaluasi dan kritik terhadap program yang tidak sejalan dengan spirit Ramadan.
ADVERTISEMENT
Sementara berita yang beredar, kata Elvi, merupakan diskusi yang berkembang dalam rilis kegiatan pada hari kesepuluh Ramadan 1441 H atau bertepatan dengan tahun 2019 lalu. Sebenarnya yang diminta dihentikan, adalah program tertentu pada saat pemantauan yang dilakukan selama bulan Ramadan, karena adegan tertentu yang tidak patut dan sudah berkali-kali diberi masukan.
“Dengan kata lain, MUI dalam hal ini saya sebagai narasumber dari berita tersebut tidak melakukan aktivitas rilis pemantauan pada tanggal 16 Maret 2022, apalagi mengajukan permohonan ke KPI,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima MUI Digital, Selasa (22/3).
Setelah siaran klarifikasi itu, banyak media merilis ulang artikel dengan nada serupa untuk menegaskan adanya pemelintiran informasi oleh pihak tertentu, terlepas dari latar kepentingan apa yang dibawanya. Saya tidak tahu apakah Syafiq kurang memerhatikan adanya informasi yang berkembang atau terdapat ambiguitas konklusi dalam pembacaannya terhadap fenomena yang terjadi. Tapi yang pasti, tuduhan Syafiq yang menunjuk atas nama MUI tidak mendapat suatu justifikasi pembenaran dalam pengetahuan kita.
ADVERTISEMENT
Kedua, hal yang miris, keambiguan dari fenomena itu melahirkan episteme Syafiq tentang public morality yang semu. Hasyim mengatakan, “Di negara-negara di mana demokrasi tidak begitu berjalan, public morality biasanya adalah hal yang paling mudah digunakan untuk mengontrol hak-hak individual warganya. Sudah barang tentu, pada zaman sekarang ini, zaman pemerintahan Joko Widodo, hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi,”.
Jelas dia mengaburkan entitas moral sebagai pijakan episteme dari sistem sosial yang berkembang. Dia tidak bisa membedakan di mana letak fungsionalitas antara public morality yang merupakan sisi etis dari manusia dan moral issues yang mengandung kerentanan politis elit penguasa dan imperatif kategories dari yang maksim yang pada akhirnya menjadi hukum universal dalam masyarakat, seperti pendapat Immanual Kant, termasuk juga autokrasi dan oligarki (Soyomukti, 2017: 211).
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan public morality. Ia jangan dimaknai sebagai patokan moral elit penguasa yang dipaksakan kepada rakyat untuk dilaksanakan tanpa mengenal penolakan di dalamnya. Public morality adalah moral reasoning yang berisikan konsep reinterpretasi yang mencoba merumuskan pandangan kolektif rakyat dalam suatu landasan moral yang universal. Dia tidak digandrungi oleh dominan ketokohan orang/lembaga tertentu. Ia murni mengendap dari akumulasi pengalaman rakyat di masa lalu hasil dialektika bersama dalam mencari suatu kebaikan dan kebenaran, di Indonesia berupa kepercayaan tuhan dan paham kebhinnekaan.
MUI sebagai lembaga wadah asosiatif paham Islam di Indonesia, cukup memiliki pijakan yang sah dalam merumuskan fatwa terkait fenomena kebangsaan. Tergabungnya banyak ulama dengan ketokohan ormas masing-masing di belakangnya landasan dalam merumuskan public morality. Meski tidak untuk diikuti, MUI dengan basis keagamaan setidaknya mampu mengoreksi dengan asas moral sebagai alat kontrol check and balances keumatan. Selaras yang diungkapkan oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, bahwa MUI dengan fatwanya bukan berarti suatu keharusan untuk dijalankan, melainkan menampung aspirasi bersama untuk kebaikan umat ke depan.
ADVERTISEMENT
Tidak heran jika para luhur dahulu mulai era survival, sofisme, politeisme, positivisme, hingga era legisme reasoning menaruh moral dalam nilai sublim di balik berbagai karya manusia, seperti hukum, tatanan pemerintahan, dan kepercayaan teisme sepanjang sejarah. Tanpa moral, marwah dan otoritas dari tatanan itu hanya pajangan semata yang tidak memiliki impact sosial di tengah kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, tuduhan dikotomis Syafiq, “pendapat Pengurus MUI bukan berarti pendapat MUI” tentu tidak bisa dibenarkan. MUI dalam hal ini memiliki kode etik kepengurusan tersendiri dalam menjalankan kelembagaan. Pengurus MUI adalah representatif kelembagaan, dalam bertindak ia harus menanggalkan personalitas dan background paham aliran di belakangnya. Hal itu dibuktikan dengan koreksi ‘atas nama MUI’ yang disandangkan kepada setiap Pengurus dari hulu ke hilir secara periodik. Dari aktivitas Dewan hingga rumpun proletariat, seperti halnya saya. Semuanya harus diletakkan dalam paham berkebangsaan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, komentar Syafiq terkait isu kebangsaan yang sedikit banyak memberikan implikasi minor terhadap lembaga MUI dalam pampangan publik, terutama tentang wacana hoaks dan dampak propaganda yang dihasilkan. Kita tentu tidak menginginkan apa yang dikatakan Gus Ulil tentang hedonisme virtual, di mana manusia yang cenderung dramatis mencerna berita yang akhirnya akan bermuara pada kehancuran.
A Fahru Rozi, Jurnalis Magang MUI Digital