Konten dari Pengguna

Koperasi Merah Putih: Nafas Ekonomi Desa Digenggam Pusat

SetiawanAJ
Kaukus Muda Singosari, Aktivis Ekonomi Desa
7 Mei 2025 18:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SetiawanAJ tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Koperasi Merah Putih: Nafas Ekonomi Desa Digenggam Pusat. SUmber ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Koperasi Merah Putih: Nafas Ekonomi Desa Digenggam Pusat. SUmber ChatGPT

"Bangun koperasi bukan karena perintah, tapi karena cinta pada kemerdekaan ekonomi rakyat."

ADVERTISEMENT
Koperasi merupakan salah satu instrumen ekonomi yang paling dekat dengan denyut kehidupan rakyat kecil. Ia lahir dari semangat gotong royong dan tumbuh atas dasar kepercayaan antar anggota masyarakat. Di tengah upaya membangun kemandirian desa, muncul gagasan tentang pendirian Koperasi Merah Putih sebagai simbol nasionalisme ekonomi dan perwujudan semangat kolektif warga desa. Namun, dalam praktiknya, pendirian koperasi ini tidak lepas dari berbagai hambatan struktural dan kebijakan yang bersifat sentralistik. Kebijakan yang terlalu teknokratis dan berorientasi atas-bawah menjadikan koperasi sebagai obyek program, bukan gerakan rakyat.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami dinamika ini secara mendalam, penting untuk melihat akar sejarah gerakan koperasi di Indonesia, khususnya pada masa Mohammad Hatta yang menjadi pelopor koperasi modern di tanah air. Di masa kini, semangat koperasi itu mencoba dibangkitkan dalam rupa Koperasi Merah Putih, namun sering kali terbentur oleh kebijakan pusat yang kurang responsif terhadap kebutuhan riil desa. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan tengah agar koperasi benar-benar tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat desa.
Ilustrasi: Cuplikan narasumber pada diskusi soal penguatan kelembagaan desa. Sumber: Pribadi

Jejak Sejarah: Hatta dan Semangat Koperasi di Banda Neira (1930)

Tahun 1930, Mohammad Hatta diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Banda Neira, sebuah pulau kecil di Kepulauan Maluku. Di tempat inilah Hatta tidak hanya menjadi tahanan politik, melainkan juga menjadi saksi hidup penderitaan rakyat kecil, terutama para nelayan. Ia melihat langsung bagaimana para nelayan terjerat sistem ekonomi kolonial yang timpang. Mereka menjual ikan dengan harga sangat rendah kepada tengkulak, sementara harga kebutuhan pokok yang mereka beli sangat mahal dan dikendalikan oleh pedagang besar. Kondisi ini menggambarkan ketimpangan struktural antara produsen kecil dan kekuatan pasar yang terpusat.
ADVERTISEMENT
Melihat kenyataan tersebut, Hatta tidak tinggal diam. Ia memulai pendekatan pendidikan ekonomi kepada masyarakat, terutama nelayan. Ia memberikan pemahaman bahwa kekuatan ekonomi rakyat terletak pada kebersamaan, bukan pada individu. Melalui diskusi, pertemuan informal, dan dialog yang intens, Hatta menanamkan gagasan tentang koperasi sebagai alat perjuangan melawan penindasan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa koperasi bukan hanya tempat jual beli, tetapi wadah solidaritas ekonomi yang berlandaskan kepercayaan dan demokrasi.
Dari situ, lahirlah koperasi pertama di Banda Neira, yang dibentuk oleh para nelayan dan masyarakat setempat. Koperasi ini mengelola hasil tangkapan ikan, menjualnya secara kolektif, serta mengatur distribusi kebutuhan pokok agar lebih terjangkau. Dengan cara ini, nelayan tidak lagi bergantung pada tengkulak dan bisa menikmati hasil kerja mereka secara lebih adil. Hatta juga menekankan pentingnya transparansi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan koperasi agar tidak jatuh ke tangan segelintir orang.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Hatta ini kemudian menjadi landasan pemikiran koperasi nasional Indonesia setelah kemerdekaan. Koperasi dianggap sebagai pilar ekonomi kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, demokrasi ekonomi, dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip ini yang kemudian diabadikan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Warisan Hatta bukan hanya pada konsep koperasi itu sendiri, tetapi juga pada metode pendidikan rakyat dan keberpihakannya terhadap ekonomi lokal. Warisan inilah yang hendaknya menjadi inspirasi dalam membentuk Koperasi Merah Putih hari ini.

Koperasi Desa Merah Putih: Semangat Nasionalisme yang Terjebak Administrasi

Gagasan membentuk Koperasi Merah Putih di desa-desa merupakan upaya menghidupkan kembali semangat koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat. Dengan membawa nama "Merah Putih", koperasi ini diharapkan menjadi simbol ekonomi nasionalis yang berpihak pada rakyat kecil. Fokus utamanya adalah mengelola potensi desa secara kolektif—baik dalam sektor pertanian, peternakan, perikanan, industri rumahan, hingga jasa simpan pinjam. Koperasi ini dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara pelaku usaha mikro di desa dan pasar yang semakin kompetitif, termasuk dalam konteks digitalisasi dan modernisasi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Namun dalam praktiknya, pendirian koperasi Merah Putih di banyak desa tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak inisiator koperasi dihadapkan pada kendala administratif yang menyita waktu dan energi. Untuk mendirikan koperasi, misalnya, dibutuhkan minimal dua puluh orang anggota, AD/ART yang terstandarisasi, akta notaris, NPWP koperasi, hingga pendaftaran sistem online yang kerap tidak ramah terhadap desa dengan keterbatasan akses internet. Proses ini menguras semangat gotong royong karena lebih menonjolkan prosedur daripada substansi pemberdayaan.
Selain itu, keterlibatan dinas koperasi di daerah sering kali tidak seefektif yang diharapkan. Pendampingan yang diberikan lebih bersifat formalitas, dengan orientasi pada laporan administratif daripada penguatan kapasitas kelembagaan. Akibatnya, banyak koperasi yang mati suri setelah terbentuk karena tidak memiliki daya tahan organisasi, keterampilan manajerial, maupun akses pasar. Dalam kondisi ini, koperasi justru menjadi beban, bukan solusi. Bahkan dalam beberapa kasus, koperasi hanya dijadikan alat untuk memenuhi syarat pencairan bantuan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Padahal, semangat yang melandasi pendirian koperasi Merah Putih adalah membangun kemandirian ekonomi desa yang berkelanjutan. Namun karena model pelaksanaan lebih banyak digerakkan oleh pusat, bukan oleh inisiatif warga, maka koperasi ini sering kehilangan daya hidupnya. Kontrol pusat yang terlalu dominan dan tidak fleksibel terhadap realitas lokal membuat koperasi gagal menjadi alat emansipasi ekonomi sebagaimana yang diperjuangkan oleh Hatta dulu. Jika tidak segera dibenahi, maka koperasi hanya akan menjadi instrumen program jangka pendek, bukan gerakan sosial jangka panjang.

Jalan Tengah: Desentralisasi dan Penguatan Kelembagaan Desa

Untuk menjadikan Koperasi Merah Putih sebagai kekuatan ekonomi desa yang sesungguhnya, perlu ada perubahan paradigma dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan. Desentralisasi harus menjadi pijakan utama. Pemerintah pusat sebaiknya tidak lagi bersikap terlalu teknokratis dalam mendikte mekanisme pendirian koperasi, tetapi memberi ruang luas bagi pemerintah desa dan masyarakat lokal untuk merancang model koperasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Koperasi yang lahir dari bawah lebih memiliki daya tahan dan kepercayaan sosial yang kuat.
ADVERTISEMENT
Kedua, perlu ada pendampingan berbasis pemberdayaan, bukan sekadar legalitas. Pemerintah daerah dan dinas terkait harus mulai menyesuaikan pendekatan mereka. Daripada fokus pada pelatihan administratif, lebih baik memperkuat kapasitas manajerial, pelatihan digitalisasi usaha, serta pendampingan pengelolaan keuangan koperasi. Hal ini akan membuat koperasi tidak hanya bertahan, tetapi berkembang dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Ketiga, akses terhadap pembiayaan juga harus diperbaiki. Skema pinjaman yang terlalu kaku dan berbunga tinggi sering kali menyulitkan koperasi pemula. Pemerintah dapat merancang sistem pembiayaan bergulir berbasis kepercayaan, seperti dana bergulir dari LPDB atau kerja sama dengan bank desa dan BUMDes. Dengan akses permodalan yang memadai dan tidak membebani, koperasi dapat menjalankan program ekonominya dengan lebih fleksibel dan efektif.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, keberhasilan Koperasi Merah Putih sangat ditentukan oleh keberanian pemerintah untuk kembali kepada semangat Hatta: koperasi sebagai gerakan, bukan program. Ia harus tumbuh dari aspirasi rakyat, bukan hanya dari target kebijakan. Koperasi yang kuat bukan hanya soal legalitas formal, tapi pada kekuatan nilai kolektif, partisipasi, dan kepercayaan sosial. Hanya dengan jalan ini, koperasi dapat menjadi napas ekonomi desa yang sejati—mandiri, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Koperasi Merah Putih adalah harapan baru bagi kebangkitan ekonomi desa. Ia membawa semangat nasionalisme yang berpijak pada kemandirian rakyat, bukan ketergantungan pada program pusat. Namun agar semangat itu tidak sekadar menjadi simbol, perlu ada perombakan pendekatan kebijakan. Pemerintah pusat harus berani memberikan ruang kepada desa untuk tumbuh sesuai identitas dan kebutuhannya sendiri. Sebab, seperti yang ditunjukkan oleh Mohammad Hatta hampir seabad lalu, koperasi bukan hanya lembaga ekonomi—ia adalah alat perjuangan rakyat. Dan perjuangan itu, harus dimulai dari bawah.
ADVERTISEMENT