Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Noda Merah Produk Konstruksi Sosial Media
21 Januari 2017 13:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Satrio A Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu sampul Kangura. Gambar: Rwanda Unites and Forgive.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini Indonesia tengah mengalami krisis informasi berupa munculnya berita-berita hoax yang dimuat dalam berbagai media yang tidak kredibel.
Hal ini diperburuk dengan keadaan dimana berita-berita hoax yang beredar dalam bentuk foto misleading maupun artikel-artikel tanpa sumber yang kredibel, tersebar sangat cepat karena penggunaan media sosial yang tinggi di Indonesia.
Lantas, seperti apakah bahaya dari berita-berita yang dapat ditimbulkan karena media-media provokatif? Hal ini sudah tidak menjadi hal yang asing lagi dalam sejarah merah yang mewarnai kerusuhan di berbagai negara, salah satunya adalah konflik berkepanjangan di Rwanda yang melibatkan Suku Hutu dan Tutsi.
ADVERTISEMENT
Kisah memilukan ini turut menyumbangkan tinta merah dalam lini masa kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi di dunia. Konflik yang cukup kompleks tentang pembantaian massal yang terjadi di Rwanda ini kembali mengangkat tema perbedaan ras. Kasus pembantaian massal ini ditengarai disebabkan karena terdapat kebencian antar dua ras, yaitu Hutu dan Tutsi yang kemudian berbuntut menjadi genosida.
Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi isu internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.
Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%), Tutsi (11%), dan Twa pygmies (1%). Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian suku Hutu terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung pada genosida.
ADVERTISEMENT
Fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari sakit suku Hutu yang mengalami marginalisasi dan stigmatisasi di masa pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Pada tahun 1962, Rwanda merdeka dan kekerasan terhadap partai RPF (Rwandan Patriotic Front) yang merupakan partai Tutsi dimulai.
Konflik yang sejatinya terjadi semenjak awal tahun 90an ini dipicu oleh meninggalnya Presiden Juvénal Habyarimana yang ditembak dari helikopternya. RPF dituduh sebagai dalang aksi ini. Semenjak kejadian tersebut, Hutu yang mayoritas merupakan pemegang kekuasaan melakukan pembantaian yang puncaknya terjadi pada tahun 1994 tersebut.
Pasukan Hutu menghimbau para warga Hutu untuk mempersenjatai diri mereka dengan senjata tajam, benda tumpul dan sejenisnya untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa tetangga Tutsi serta menjarah harta Tutsi.
ADVERTISEMENT
Sepanjang April hingga Juli 1994 genosida yang menjadi mimpi buruk Rwanda terjadi. Kaum Hutu melakukan pembantaian terhadap Kaum Tutsi. Konflik berdarah ini menelan sekitar 500 ribu hingga 1 juta korban jiwa dimana 70 persen dari korban tersebut merupakan suku Tutsi dan merupakan 20 persen dari total populasi Rwanda. Genosida ini baru berakhir ketik Paul Kagame salah satu pemimpin RPF memberikan perlawanan dan berhasil memenangkan perlawanan terhadap pemerintahan Hutu.
Namun, yang memiliki peran sentral dalam meluasnya kebencian ke taraf nasional adalah adanya peran aktif media dalam konflik tersebut. Adalah Majalah Kangura yang merupakan majalah berbahasa Perancis dan Kinyarwanda (Bahasa Rwanda) dalam menyebarkan kebencian antar kedua suku.
Majalah ini didirikan pada tahun 1990 dan disponsori oleh pihak MRND (Mouvement républicain national pour la démocratie et le développement) yang merupakan pihak dominan yang dipimpin oleh Pesiden Juvénal Habyarimana serta sebagai pihak yang didominasi kaum Hutu. Majalah Kangura ini merupakan tandingan majalah Kanguka yang merupakan representasi dari RPF, pihak perlawanan kaum Tutsi. Secara harfiah, Kanguka berarti “Bangunkan!” Sedangkan Kangura berarti “Bangunkan yang lain!” Kangura dipimpin oleh pendirinya Hassan Ngeze yang juga berperan sebagai editor berbasis di kota Gisenyi.
ADVERTISEMENT
Sebelum genosida pada 1994 terjadi, Kangura menjadi asupan berita sehari masyarakat Rwanda dengan cara dipaparkan dari mulut ke mulut oleh orang yang bisa membaca pada orang yang tidak bisa membaca. Hal ini disebabkan karena masyarakat Rwanda yang sebagian besar tingkat literasinya masih rendah.
Kangura sendiri dibiayai oleh militer dan MRND, serta pemerintah. Karena erat kaitannya dengan Pemerintahan Rwanda di bawah Habyarimana, Kangura seolah-olah menjadi kendaraan politik bagi pemerintahan untuk menyebarluaskan idenya ke pelosok negeri.
Dalam perjalanan menuju konflik, Kangura menjadi menjadi majalah propaganda yang seringkali dipakai oleh CDR (Coalition for Defence of the Republic) yang merupakan sekutu MRND. Kangura menyebarkan sifat-sifat ekstremisme untuk menghabisi Tutsi. Artikel-artikel yang dimuat oleh Kangura yang bertajuk “Hutu Ten Commandments” pada tahun 1990, “Let us learn about the inkotanyi [RPF supporters] and let us exterminate every last one of them” pada 1991, “a cockroaches gives birth to cockroaches” pada 1993 dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Artikel-artikel semacam itu dibacakan di pertemuan-pertemuan Hutu dan disebarkan dari mulut ke mulut hingga akhirnya kebencian terhadap Tutsi semakin menjadi-jadi. Artikel-artikel yang memancing eksterminasi terhadap kaum Tursi hingga tahun 1994 tersebut berada di bawah kendali sang pemimpin redaksi Hassan Ngeze.
Pada akhirnya Ngeze pun ditangkap tahun 1997 dan diadili dalam International Criminal Tribunal for Rwanda. Ngeze dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas keterlibatannya dalam menyebarkan propaganda kebencian terhadap Tutsi melalui media majalah Kangura yang menyebabkan terjadinya salah satu genosida terburuk dalam sejarah umat manusia.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga disebabkan karena tingkat literasi masyarakat Rwanda yang buruk. Melihat cerminan dari kejadian tersebut, Indonesia yang tentunya jauh lebih maju dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan Rwanda selama satu dasawarsa harusnya bisa lebih mengatur dan menyaring informasi atau berita yang tersebar dalam media-media saat ini, khususnya media online serta informasi di media sosial mengingat warga Indonesia yang cukup aktif dalam media sosial.
Ini semua harus dilakukan untuk menghindari terjadinya perpecahan. Warga Indonesia sebaiknya lebih berhati-hati dalam mencerna media dan informasi dan melakukan cek terlebih dahulu atas kredibilitas media yang menyebarkannya.