Konten dari Pengguna

FOMO atau JOMO: Kepribadian Remaja Masa Kini

Ayu Saniatus Sholihah
Mahasiswa Informatika Semester 1 Universitas Sebelas Maret angkatan 2024 Lahir di Rembang, 18 Mei 2005
1 November 2024 15:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayu Saniatus Sholihah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : canva
zoom-in-whitePerbesar
sumber : canva

Pernahkah Anda merasa cemas saat melihat teman-teman di media sosial merayakan momen yang luar biasa, sementara Anda hanya duduk di rumah? Itulah FOMO (Fear of Missing Out), fenomena yang diam-diam merayap di benak remaja dan pengguna media sosial di seluruh dunia. FOMO adalah perasaan takut ketinggalan momen penting, dan di era digital ini, semakin banyak yang mengalaminya. Tapi, apakah FOMO benar-benar memengaruhi kebahagiaan kita?

ADVERTISEMENT
Menurut penelitian Maysitoh, Ifdil & Ardi (2020), FOMO muncul karena kecemasan tidak bisa ikut serta dalam apa yang sedang dilakukan orang lain di dunia maya. Dengan semakin banyaknya platform seperti Instagram dan TikTok yang menampilkan kehidupan “sempurna” orang lain, kita sering kali terjebak dalam perbandingan sosial yang tak ada habisnya. Apakah hidup kita tidak semenarik mereka? Mengapa kita selalu merasa tertinggal?
ADVERTISEMENT
Media sosial seolah menjadi etalase momen-momen terbaik. Sayangnya, ini membuat remaja yang sedang mencari jati diri merasa tertekan untuk selalu relevan. Mereka merasa harus terus-menerus hadir di setiap acara atau memiliki pengalaman yang sama seperti orang lain, demi menjaga "status sosial" di dunia maya. Akibatnya, ketergantungan tinggi pada media sosial semakin mendorong FOMO berkembang.
Lebih menarik lagi, algoritma media sosial terus "menjebak" kita dengan tren terbaru, gaya hidup selebriti, dan momen menarik yang membuat kita merasa tidak boleh ketinggalan. Di saat yang sama, influencer dengan gaya hidup glamor menambah tekanan bagi remaja untuk mengikuti tren konsumtif. Apakah kita benar-benar memerlukan barang-barang yang mereka pamerkan? Atau hanya ingin tampak seperti mereka?
ADVERTISEMENT
Namun, FOMO bukan hanya soal kecemasan dan perasaan tertinggal. Menariknya, FOMO terkadang justru bisa memotivasi kita untuk bergerak dan mencoba hal-hal baru. Saya sendiri pernah mengalami ini. Ketika teman-teman bergabung dengan organisasi pramuka, saya ikut hanya karena takut tertinggal. Namun, siapa sangka, pengalaman itu akhirnya memberi banyak pelajaran berharga. Hal yang sama terjadi ketika saya memutuskan ikut lomba ilmiah setelah melihat teman-teman lain menang lomba. Meski begitu, seberapa jauh FOMO bisa mendorong kita berkembang sebelum akhirnya justru membuat kita tertekan?
Inilah mengapa penting bagi kita untuk menemukan keseimbangan. FOMO bisa menjadi pemacu untuk berkembang, tetapi jika tidak dikelola dengan bijak, bisa membawa stres dan ketidakpuasan.
Lalu, apakah ada cara untuk lepas dari belenggu FOMO? Di sinilah muncul sebuah konsep yang menarik—JOMO (Joy of Missing Out). JOMO adalah kebalikan dari FOMO. Alih-alih merasa cemas karena tertinggal, JOMO mengajarkan kita untuk menikmati momen apa adanya, tanpa merasa perlu selalu mengikuti tren atau hadir di setiap acara. Bayangkan betapa tenangnya hidup tanpa harus terus-menerus memeriksa media sosial untuk melihat apa yang orang lain lakukan!
ADVERTISEMENT
Menariknya, remaja yang memilih untuk mengadopsi JOMO ternyata cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Mereka belajar untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana, seperti menikmati waktu bersama keluarga, mengejar hobi, atau bahkan sekadar beristirahat. Di saat dunia maya terus memamerkan momen terbaik, JOMO mengajak kita untuk lebih mindful, lebih hadir dalam kehidupan nyata, dan lebih menghargai momen-momen kecil yang bermakna.
Bukankah menarik jika kita bisa melepaskan diri dari tekanan untuk selalu terhubung dan memilih fokus pada hal-hal yang lebih bermanfaat? Dalam penerapan JOMO, kita juga bisa menerapkan minimalisme digital—memilih dengan bijak apa yang ingin kita lihat dan ikuti di media sosial. Dengan begitu, kita bisa merasa lebih puas, produktif, dan tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi FOMO? Salah satu caranya adalah dengan membatasi penggunaan media sosial. Jadwalkan waktu tertentu untuk memeriksa media sosial, agar kita tidak terjebak dalam siklus yang membuat kita terus merasa ketinggalan. Jangan lupa, apa yang kita lihat di media sosial sering kali hanya potongan terbaik dari hidup orang lain—bukan gambaran utuhnya.
Kesimpulannya, meskipun FOMO adalah fenomena yang umum terjadi di era digital, terutama di kalangan remaja, bukan berarti kita tidak bisa mengendalikannya. Dengan memahami dan menerapkan JOMO, serta menjalani kehidupan dengan lebih sadar dan selektif, kita bisa menemukan kebahagiaan yang lebih autentik, tanpa terus-menerus terjebak dalam perbandingan sosial. Pertanyaannya sekarang, apakah Anda siap untuk melepaskan FOMO dan menemukan kebahagiaan sejati melalui JOMO?
ADVERTISEMENT