Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Kisah Ibu: Si Anak Broken Home
9 Juli 2021 15:25 WIB
ยท
waktu baca 2 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
Tulisan dari Sri Wahyuni S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini kisah Ibuku, namanya Nur. Ia wanita berdarah suku Melayu, kelahiran 1983. Ibu dibesarkan di keluarga yang tidak utuh. Ayah dan ibunya masing-masing menikah lagi. Ibu tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya.
ADVERTISEMENT
Dari kecil Ibu sering mengalami hal pahit dan menyakitkan. Ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri menjalani hidup. Setiap hari Ibu mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari memasak, mencuci di sungai, menimba air hingga mengurus 4 adik tirinya. Hal itu ia kerjakan sejak kelas 3 SD.
Di masa sekolah, Ibu bukanlah murid yang pintar, namun pandai bergaul. Tidak jarang ia mendapat jajan gratis dari teman-temannya. Maklum, terkadang jajan yang diberikan orang tuanya tidak mencukupi, bukan karena tidak mampu, hanya saja ia tahu diri akan posisi nya sebagai anak tiri.
Seringkali Ibu juga dipukul oleh ibu kandungnya. Dari perkara hal sepele seperti lupa memasak nasi atau bahkan telat bangun pagi. Semua amarah dan kesal ibu kandungnya karena masalah rumah tangga ditumpahkan padanya. Mulai dari caci maki hingga pukulan hampir setiap hari Ibu rasakan.
ADVERTISEMENT
Berjalannya waktu, Ibu makin tidak tahan dengan keadaan yang ia alami setiap hari. Semua tugas rumah seperti menjadi tanggung jawabnya. Masa kecil yang seharusnya ada waktu bermain pun, dikurangi intensitas nya. Sejak itu, ibu selalu berdoa agar didatangkan sosok yang dapat membawanya keluar dari penderitaan yang dialami selama ini.
Sampai tiba ayah datang melamar. Ayah merupakan seorang kalangan bawah, namun pria yang sangat bertanggung jawab. Ibu langsung menerima dan tidak menolak. Bagi Ibu, ini merupakan jawaban atas doa-doanya. Meskipun ia harus berhenti sekolah karena menikah. Setidaknya Ibu tidak tertekan batin dan menangis sendirian lagi.
(Sri Wahyuni S/Politeknik Negeri Jakarta).