Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Komune Paris: Tentang Khayalan Menjadi Kenyataan, dan Revolusi yang Terhenti
27 September 2021 19:58 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Aan Afriangga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam The Holy Family (1845), Marx dan Engels pernah mengatakan sekaligus membuat prediksi terhadap perjalanan hidup manusia. Menurut keduanya, perjalanan hidup manusia “akan” [1] dan “telah” [2] terbagi ke dalam lima tahap. Pertama, (telah terbagi yang ditandai dengan keberadaan) masyarakat komunisme purba. Kedua, masyarakat sebelumnya digantikan masyarakat perbudakan. Ketiga, masyarakat perbudakan digantikan masyarakat feodal. Keempat, masyarakat kapitalis menggantikan masyarakat feodal. Kelima, masyarakat komunis (akan) menggantikan masyarakat kapitalis (prediksinya), dan masyarakat ini, adalah hierarki tertinggi dalam sejarah hidup manusia. [3]
ADVERTISEMENT
Alhasil, setelah melakukan pelacakan mengenai fase kehidupan manusia. Marx dan Engels lalu membuat kesimpulan, dan mengatakan kesimpulan tersebut dalam The Communist Manifesto (1848) bahwa "semua sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas". [4] Antara kelas penindas dengan kelas yang tertindas; antara kaum borjuis dengan kaum proletar; atau antara kelas pekerja dengan kelas pemodal. Hematnya, pertarungan antar kelas ini telah berlangsung sejak kehidupan manusia purba dan akan terus berdinamika seturut berjalannya waktu.
Proyeksi Marx dan Engels mengenai fase kehidupan manusia tersebut, tentu tak lepas dari kritik. Kritik yang dilontarkan umumnya lebih tertuju pada prediksinya yang menyoroti peralihan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis. Prediksi inilah yang semula dianggap pemikir lainnya sebagai prediksi yang utopis: tidak mungkin terwujud. Akan tetapi, hal ini dapat ditelusuri dengan melakukan berbagai pelacakan berupa peristiwa bersejarah. Yakni saat kali pertama revolusi industri datang pada abad ke-18, juga peristiwa yang bertalian langsung dengan kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Peristiwa bersejarah yang penulis maksud dapat ditemui dalam buku ini. Buku ini berupaya mengkonfirmasi dan menjelaskan hal yang sebelumnya dikatakan dan diprediksikan oleh Marx dan Engels bahwa suatu saat nanti, ketika saatnya tiba, akan terjadi proses transisi dalam masyarakat: dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis. Lalu hal itu berproses, yang dapat kita lihat melalui kehadiran Komune di kota Paris pada 1871: sebuah eksperimen kelas pekerja yang membangun pemerintahan swadaya, namun hanya berlangsung selama 72 hari.
Disebut Komune, karena pada 1792, kaum revolusioner telah menata kota-kota mereka ke dalam katung-katung teritorial yang mengembangkan prinsip-prinsip pemerintahan swadaya. Dalam tradisi pemerintahan rakyat inilah, pemberontakan di Paris mengambil namanya. Sehingga, peristiwa ini jamak dikenal dengan sebutan Komune Paris.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, lantaran peristiwa tersebut sangat penting bagi kaum buruh sedunia. Buku ini sampai diterbitkan secara serentak dalam 18 bahasa, dan 27 penerbit di 15 negara, guna memperingati 150 tahun berdiri-runtuhnya Komune Paris—serta sebagai upaya untuk terus merawat ingatan dan pembelajaran yang terkandung di dalamnya. Karena pembelajaran itu, pada akhirnya dapat menginspirasi negara-negara lain yang ingin mendirikan pemerintahan mandiri seperti halnya Komune Paris.
Hematnya, buku ini memuat peristiwa bersejarah kaum buruh Prancis, yang impiannya “semula dianggap utopis” lantaran ingin mendirikan pemerintahan mandiri: negara buruh—berhasil tercapai meski hanya sebentar. Dan perjuangan mereka dalam mewujudkan hal itu dianggap sebagai “pelopor” tatanan masyarakat baru. Sebab, Komune Paris adalah pemerintahan kelas pekerja pertama di dunia.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, bagaimana anggapan utopis itu, yang semula eksis bahkan menjadi modalitas bagi pemikir lain untuk melontarkan kritik kepada gagasan serta prediksi Marx dan Engles, dapat terjadi dalam kehidupan nyata?
Dari Khayalan Menjadi Kenyataan
Pada bagian awal, buku ini diberangkatkan dengan kalimat yang lugas dan heroik: “Selama 72 hari pada 1871,” tulis Vijay Prashad, Pemimpin Redaksi LeftWord Books, dalam Membuka Pintu ke Utopia—yang termuat dalam buku kumpulan tulisan ini, “rakyat Paris membuka pintu ke utopia. Berhadapan dengan kelas penguasa yang telah menceburkan Prancis ke dalam perang yang meluluhlantakkan dan penundukan oleh Prusia, kaum buruh Paris memutuskan untuk membarikade diri, mendirikan pemerintahan sendiri dengan prinsip-prinsip demokratis mereka sendiri, dan mencoba memecahkan masalah yang dibuat oleh kelas penguasa (hlm 1).” [5]
ADVERTISEMENT
Dari narasi di atas dapat dibayangkan bagaimana rakyat—terlebih kaum buruh Paris, memperjuangkan impiannya supaya berdirinya Komune di kota Paris. Mereka bersedia mengorbankan berbagai hal agar apa yang menjadi impiannya dapat terwujud. Mereka juga menentang segala hal yang dianggap utopis dan berusaha untuk mewujudkannya dalam bentuk konkret. Peristiwa fenomenal ini sampai dinyatakan Marx—sewaktu dirinya berpidato di hadapan Asosiasi Pekerja Internasional (International Worker’s Association)—tepat dua hari setelah tumbangnya Komune, sebagai peristiwa yang “tiada duanya” dalam sejarah gerakan kaum buruh.
Marx mengatakan hal itu dalam Perang Saudara di Perancis (1871): “... ini pada dasarnya adalah pemerintahan kelas pekerja, produk perjuangan dari kelas yang berproduksi melawan kelas yang mencaplok, bentuk politik yang pada akhirnya ditemukan untuk memulai emansipasi ekonomi tenaga kerja (hlm 50).” [6]
ADVERTISEMENT
Prashad dalam tulisannya juga mengenang: setiap kali kaum buruh berandai, mengupayakan dunia yang dirancang dan ingin dikelola secara mandiri, namun selama itu pula upaya mereka serasa menapaki jalan terjal, akibat kaum borjuis melawannya dengan berbagai cara. Sewaktu mendirikan dan membangun Komune Paris, meski mereka mengalami serangan balik sehingga tumbang. Namun di sisi lain, kegagalan ini menyulut api perlawanan dan menjadi bahan pembelajaran bagi Rusia, ketika mereka melakukan revolusi pada Oktober 1917, yang umurnya—meski sedikit lebih lama dibanding Komune Paris.
Peristiwa revolusi itu dilukiskan oleh Prashad dalam tulisannya yang lain. “Awal 1917,” tulis Prashad dalam Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga (2020): “... ketegangan menjalar dari satu ujung imperium Tsar ke ujung lainnya. Para prajurit di garis depan sedang bertarung demi sebuah perang yang tak punya kejelasan arah, dan mereka ingin menyorongkan balik senapan ke penguasa mereka. Kaum buruh dan tani, yang berjuang keras menyambung hidup, sudah bersiap dengan palu dan arit hendak meremuk kepala-kepala majikan dan tuan tanah mereka. Berbagai kelompok sosialis beserta organisasi-organisasi klandestinnya berjuang membangun momentum di kalangan rakyat untuk melawan rezim Tsar yang kian brutal dan tanpa orientasi (hlm 1).” [7]
ADVERTISEMENT
Revolusi yang Terhenti
Komune Paris hanya berdiri selama 72 hari—18 Maret sampai 26 Mei 1871. Ia tumbang akibat digempur kelompok reaksioner. Kelompok reaksioner ini dipimpin Adolphe Thiers, Pimpinan Pemerintahan Sementara Prancis pada saat itu. Windu Jusuf dalam Komune Paris: 72 Hari Pesta Rakyat dan Cetak Biru Pemerintah Buruh (2020) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi penggempuran tersebut. Sebagai dampaknya Komune pun harus tumbang. Pendapatnya berangkat dari seorang Sejarawan, John Marriman.
Menurut Marriman, kegagalan itu ditandai pada dua hal. Pertama, kegagalan Komune dalam merumuskan program-program politik dan ekonomi yang konkret. Meski di satu sisi, telah banyak kebijakan progresif yang berhasil mereka perbuat. Kedua, pertikaian tentang ideologis dan personal yang membuat sebagian kebijakan yang telah dirumuskan, menjadi tumpang-tindih dan tidak dapat berjalan dengan efektif. Hal itu diperparah ketika mereka “tidak menyita” Bangque de France (sekarang namanya Bank Sentral Paris) yang menjadi sumber pendanaan bagi musuhnya untuk membangun kekuatan kembali. [8]
ADVERTISEMENT
Jika ingin melihat capaian Komune dalam waktu singkatnya itu. Pertama, tentara nasional Prancis diubah menjadi tentara rakyat. Kedua, Komune adalah badan pekerja yang merupakan eksekutif dan legislatif sekaligus. Ketiga, Komune dipimpin kanselir tiap-tiap kota yang dipilih melalui pemilu, dan bertanggungjawab kepada kaum buruh; bertugas dalam jangka waktu pendek dan berasal dari kaum buruh. Keempat, peran kekuasaan agama dibatasi, dan kaum agamawan juga dibatasi pada urusan privat. Kelima, akses pendidikan dibuka untuk semua orang dan bebas dari campur tangan gereja. Keenam, administrasi ditata dengan baik, supaya terbebas dari praktik korupsi. Ketujuh, kerja menjadi humanis dan produktif. Kedelapan, Komune merepresentasikan kelas buruh, juga melibatkan kelas menengah kecil dan petani. [9] Namun, lantaran keterbatasan Komune dan kurang matangnya persiapan mereka dalam menghadapi serangan balik, alhasil “revolusi” mau tak mau “harus terhenti” di pertengahan jalan.
ADVERTISEMENT
Penutup
Melalui buku ini kita bisa melihat secara seksama, bagaimana kaum buruh Prancis melakukan perjuangan yang konsisten, totalitas, bahkan rela menanggung berbagai derita untuk kehidupan yang lebih baik. Setelah perjuangan itu mencapai langkah selanjutnya: berdirinya negara buruh, mereka segera melakukan perombakan secara besar-besaran. Semua perjuangan itu tak lain adalah keinginan yang kuat untuk menjadi “tuan” bagi dirinya sendiri. Terbebas dari belenggu yang sebelumnya mengikat, penghisapan yang dilakukan secara terus-menerus, dan menjalani hidup tanpa bayang-bayang kekejian kaum borjuis.
Meski berbagai kelebihan buku ini terlihat dengan jelas, seperti hasil terjemahan yang mudah dipahami, runut, dan tata letak yang menarik. Namun kesalahan klasik: salah ketik—tetap penulis temui. Walau terlihat sepele, tetapi hal ini dapat mengganggu konsentrasi sekaligus mendistraksi pembaca yang sedang fokus di salah satu bab. Akan tetapi, kekurangan sepele ini penulis anggap sebagai hal yang lumrah dan secara impact, tidak sebesar kelebihannya. Pendek kata, kekurangan dalam buku ini dapat ditutupi karena terjemahannya yang mudah dipahami, runut, dan tata letak yang menarik. Buku ini tetap layak dibaca dan berguna untuk memperkaya referensi pembaca yang tertarik dengan dinamika pertarungan kelas hari ini. [*]
ADVERTISEMENT
Judul buku: Komune Paris 150
Penulis: Vijay Prashad et al.
Tahun terbit: Mei, 2021
Penerbit: Marjin Kiri
Penerjemah: Ronny Agustinus et al.
Tebal buku: i – iv + 120 hlm, 14 x 20,3 cm
ISBN: 978-602-0788-16-6
____________________________
Catatan Kaki
[1] Prediksi ini dimulai dan merujuk pada saat datangnya revolusi industri abad ke-18.
[2] Sedangkan penjelasan (dari hasil pelacakan) ini merujuk pada sebelum datangnya revolusi industri abad ke-18, lebih tepatnya era manusia mengalami evolusi. Menurut Mulyanto, yang menganalisis karya Jean-Baptiste Lamarck bertajuk Philosophie Zoologique (1809), jauh sebelum Darwin menerbitkan On the Origin of Species (1859) dan The Descent of Man and Selection in Relation to Sex (1871), Lamarck sudah lebih dahulu menyatakan bahwa manusia mungkin berevolusi dari kera. Mulyanto dalam tulisannya menjelaskan, bahwa “... perubahan lingkungan memaksa kera tertentu keluar dari habitat arborealnya serta memperkembangkan adaptasi untuk berdiri dan bergerak bipedal. Pada gilirannya adaptasi bipedal ini mentransformasi mereka menjadi manusia.” Penjelasan mengenai asal-usul manusia ini, yang berkaitan dengan salah satu tahap perjalanan hidup manusia, yakni komunisme purba, lihat Dede Mulyanto, Prakondisi Anatomis Kerja: Rekonstruksi Paleoantropologis Teori Engels Perihal Evolusi Tangan dalam Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2015), hlm 157-158.
ADVERTISEMENT
[3] Robertus Robet & Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai Agamben, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2014), hlm 27.
[4] Ari Basuki, “Perbandingan Antara Pemikiran Karl Marx dengan Pemikiran J. Krishnamurti tentang Perubahan Sosial”, Jurnal Humaniora, Vol. 20 No. 3, Oktober 2018, hlm 308.
[5] Vijay Prashad, Membuka Pintu ke Utopia dalam Komune Paris 150, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2021), hlm 1.
[6] Karl Marx, Perang Saudara di Perancis dalam Komune Paris 150, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2021), hlm 50.
[7] Vijay Prashad, Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2020), hlm 1.
[8] Windu Jusuf, Komune Paris: 72 Hari Pesta Rakyat dan Cetak Biru Pemerintah Buruh, Tirto.id, 18 maret 2020. https://tirto.id/komune-paris-72-hari-pesta-rakyat-cetak-biru-pemerintahan-buruh-eCRQ (diakses pada 16 Juni 2021).
ADVERTISEMENT
[9] Robet & Tobi, Ibid, hlm 32-33.