Konten dari Pengguna

Melihat Seksualitas dari Kacamata Kelas Pekerja

Aan Afriangga
Mahasiswa di Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, Universitas Mpu Tantular, Jakarta. Pengasuh toko buku Nyala Api. Bisa ditemui di dunia maya (Instagram): @aanafriangga11. Kritik dan saran: aanafriangga18@gmail.com.
22 Desember 2021 12:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aan Afriangga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover buku C*bul: Perbincangan Serius tentang Seksualitas Kontemporer (Edisi Diperluas, 2021). Foto: Marjin Kiri Publisher.
zoom-in-whitePerbesar
Cover buku C*bul: Perbincangan Serius tentang Seksualitas Kontemporer (Edisi Diperluas, 2021). Foto: Marjin Kiri Publisher.
ADVERTISEMENT
Seksualitas tidak sekadar hubungan intim antara perempuan dengan laki-laki (kaum heteroseksual) maupun sesama jenis (homoseksual). Seksualitas merupakan hal yang kompleks. Ia tidak mencakup hanya pada persoalan persenggamaan belaka. Tetapi bagaimana persoalan tubuh, hasrat, fantasi, dan gender—saling berkelindan satu sama lain dalam diri setiap individu.
ADVERTISEMENT
Lebih-lebih, dalam seksualitas, kita juga bisa melihat bagaimana persoalan tubuh, hasrat, dan praktik seksual—diatur dan diorganisir sedemikian rupa dalam konteks sosial, budaya, ideologi, juga ekonomi yang bahkan, agama sekali pun—tidak bisa dilepaskan dari hal ini.
Begitulah makna seksualitas menurut Hendri Yulius, penulis buku C*bul: Perbincangan Serius tentang Seksualitas Kontemporer, yang sedang Anda baca ulasannya saat ini.
Pada kajian seksualitas yang cukup blak-blakan namun tetap serius ini. Yulius tidak hanya menyoroti bagaimana pergulatan wacana seksualitas di ruang publik kita. Tetapi, ia membawa sudut pandang dan kisah-kisah yang cukup kontemplatif: bagaimana pandangan masyarakat kita terhadap mereka (kelas pekerja) yang berkecimpung di industri pornografi?
Dari segi aktor-aktris, misalnya. Para aktor-aktris dalam industri pornografi, kerap dipandang negatif oleh masyarakat luas, sebagai individu yang kotor, rusak, tidak bermoral, mengalami trauma atau memiliki gangguan secara psikologis—yang harus diselamatkan secepat mungkin.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apakah stigma tersebut berlaku secara general? Lalu, apa pengaruhnya dari pandangan negatif ini, terhadap posisi mereka sebagai kelas pekerja, jika kita tidak menyadarinya?
Jika pandangan negatif tersebut menjadi sudut pandang tunggal. Lalu, bagaimana dengan salah satu hal yang dilakukan oleh Sasha Grey, mantan bintang film pornografi, yang memiliki misi sosial perlindungan hewan melalui People for the Ethical Treatment of Animals (PETA)? Atau, bintang pornografi lain, seperti Asia Carrera, yang pernah mendapat beasiswa saat belajar di Rutgers University dengan jurusan ganda, yakni Bahasa Jepang dan Bisnis?
Apakah keduanya tetap dipandang sebagai individu yang, katanya kotor, rusak, tidak bermoral, mengalami trauma atau memiliki gangguan secara psikologis—yang harus diselamatkan secepat mungkin?
ADVERTISEMENT
Maka, jika menggunakan pendekatan reduksionis seperti itu, bagi Yulius:
Persoalan yang sejatinya kompleks, tetapi kita sederhanakan sedemikian rupa, yang hanya berpijak pada hal negatifnya saja. Padahal, ada hal lain yang perlu kita nilai-pertimbangkan. Ada sudut pandang lain yang bisa kita jadikan sebagai bahan perbincangan—entah untuk berasumsi, atau untuk menarik kesimpulan secara komprehensif terhadap moralitas seseorang.
Namun persoalannya, maukah kita melampaui hal itu?

Yang (Sering) Luput dalam Wacana Pornografi

Dalam edisi yang telah diperluas ini, Yulius mengajak kita untuk memperluas sudut pandang. Mengesampingkan persoalan industri pornografi, yang hanya berfokus pada adegan, busana yang dikenakan; atau bagaimana “ketabuan” masih menyelimuti ruang publik kita—menjadi ke arah “implikasi materiil” yang berdampak pada kehidupan para aktor-aktris dalam kacamata sosial dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Karena para aktor-aktris dalam industri pornografi tersebut, bagi Yulius, tetaplah “manusia” dan menjadi bagian dari “kelas pekerja”. Menonton atau melihat mereka sebagai “manusia kelas pekerja”, bisa membawa kita untuk menimbang industri pornografi sebagai sebuah “relasi”. Relasi antara “pemberi kerja (perusahaan) dengan penerima kerja”.
Ilustrasi. (Red light district di Thailand. Foto: Shutter Stock)
Sebagaimana umumnya suatu industri. Tentu tidak bisa kita abaikan secara serampangan, bahwa ada intervensi dari logika kapitalisme yang merengsek masuk ke dalamnya, yang mungkin saja tidak kita sadari sebelumnya. Karena selama ini, tatkala membicarakan industri pornografi, mungkin kita terlalu fokus pada adegan, busana, dan lain sebagainya. Alhasil, kita hanya berkutat di ranah imajinatif belaka.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana intervensi dari logika kapitalisme itu bekerja?
Akiko Takeyama, profesor Studi Wanita, Gender, dan Seksualitas di Universitas Kansas, dalam Possessive Individualism is the Age of Postfeminism and Neoliberalism: Self-Ownership, Consent, and Contractual Abuse in Japan’s Adult Video Industry (2021)—sebagaimana ditulis Yulius, pernah mengatakan bahwa kontrak kerja di industri pornografi Jepang, seringkali melanggengkan dominasi pemilik bisnis terhadap bintang pornografi perempuan (hlm 274).
ADVERTISEMENT
Pada dokumen kontrak yang singkat, umumnya tidak disebutkan: apa kompensasi yang akan diterima oleh bintang pornografi tersebut. Melainkan, hanya mendetailkan hak-hak yang dimiliki oleh perusahaan. Terlebih tentang hak cipta, penggunaan foto, dan biodata bintang pornografi untuk materi promosi. Padahal, di saat yang bersamaan, ada kewajiban bagi para bintang (industri) pornografi tersebut untuk menjaga kesehatannya, mencegah penyakit menular seksual, juga merawat penampilan fisiknya (hlm 274).
Kalau hal demikian ingin dibaca, ada “relasi” yang timpang, antara pemberi kerja (perusahaan) dengan penerima kerja (pekerjanya). Ada “ketidakseimbangan” antara apa yang "diberikan" oleh pemberi kerja, dengan apa yang "diterima" oleh penerima kerja. Inilah yang mungkin (sering) luput dalam wacana pornografi kita: "mutualisme semu".
Untuk itu, menjadi penting bagi kita bersama, guna menimbang industri pornografi—seperti yang sudah Yulius katakan di awal: bukan sekadar pada adegan, busana yang dikenakan; atau bagaimana “ketabuan” masih menyelimuti ruang publik kita.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, ada hal lain yang patut untuk kita cermati: bagaimana kondisi mereka (kelas pekerja) yang berkecimpung di industri pornografi? Lalu, apa dampak dari pengabaian terhadap posisi mereka sebagai kelas pekerja, jika kita tidak menyadarinya?
Inilah yang barangkali perlu kita bicarakan juga (secara serius) di ruang publik—ketika membicarakan tentang seksualitas yang dapat beririsan dengan industri pornografi. [*]
Judul Buku: C*abul: Perbincangan Serius tentang Seksualitas Kontemporer
Penulis: Hendri Yulius
Penerbit: Marjin Kiri, Tanggerang
Tahun Terbit: Juni, 2021 (Edisi diperluas)
Tebal: i-vii + 290 halaman
ISBN: 978-602-0788-15-9