Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Nasib adalah Permainan Kekuasaan
3 Februari 2017 19:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari M Aan Mansyur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Catatan usai membaca film (dan) puisi Wiji Thukul)
“For years now I have heard the word ‘Wait!’ It rings in the ear of every Negro with piercing familiarity. This ‘Wait’ has almost always meant ‘Never’. We must come to see . . . that ‘justice too long delayed is justice denied’.’’
ADVERTISEMENT
— Martin Luther King Jr., Letter from Birmingham Jail
*
1.
yang kutunggu cuma kapan
lolos dari rasa tersesat
yang tumbuh dari lubuk ketakutan
hidup ini bukan penjara
aku tahu
mengapa tetap seperti pesakitan
aku gemetar membuka gembok kebebasan
— Wiji Thukul, Aku Tidak Tahu
Tepat sebulan sebelum film Istirahatlah Kata-kata tayang di bioskop, di kawasan Kayutangan, Malang, tidak jauh dari Bioskop Merdeka yang telah diruntuhkan, aku melihat seorang pria tua duduk sendiri di emperan toko. Orang-orang bilang nyaris tiap hari pria itu berada di tempat yang sama. Ia, konon, sedang menanti kekasihnya yang tidak pernah datang.
Ceritanya begini: Pada suatu hari ada peristiwa politik besar yang memaksa pria tua itu berpisah dengan kekasihnya. Mereka berjanji untuk bertemu kembali di sana, di tempat mereka berpisah, saat kondisi aman. Kekasihnya tidak pernah lagi datang entah kenapa. Namun, pria itu yakin suatu hari nanti kekasihnya akan datang.
ADVERTISEMENT
Maka, di sanalah ia menanti dan menanti dan menanti. Setiap hari.
Aku mampir dan melihat ia duduk dan diam. Begitu setiap hari. Ia duduk dan tidak bicara. Menanti. Hanya menanti. Ia tidak memainkan ponsel atau membaca buku, seperti yang kerap kita lakukan ketika menanti. Ia semata-mata menanti. Selama berjam-jam sampai malam, hingga ia harus balik ke rumahnya, untuk datang lagi besok dan besok dan lagi dan lagi.
Aku mengajaknya bicara. Ini beberapa informasi yang kudapatkan darinya. Namanya Arifin. Ia tinggal di Ngantang (beberapa jam setelahnya aku tahu tempat itu cukup jauh dari Kayutangan; butuh pindah angkot dua atau tiga kali untuk menempuh perjalanan selama dua jam). Ia berada di sana setiap hari sejak tahun 1970-an.
ADVERTISEMENT
Ia menanti kekasihnya selama lebih 40 tahun. Pria tua itu sungguh penanti yang kuat!
Saat aku memajang foto-foto dan kisah pria itu di Instagram, komentar sejumlah orang membuatku heran. Komentar paling banyak menyebutnya takbisa move on. Mereka umumnya mengutip lagu The Script, The Man Who Can’t Be Moved.
(Demi Tuhan, mengapa harus lagu The Script? Tidak, aku tidak benci lagu itu. Tetapi, kenapa bukan lagu lain seperti The Waiting (Tom Petty & The Heartbreakers), Right Here Waiting (Richard Marx), I’ll Be Waiting (Lenny Kravitz), atau Waiting On The World To Change-nya John Mayer.)
Aku awali catatan ini dengan kisah seorang pria yang telah menghabiskan lebih separuh usianya menanti. Sebab, kendati telah sebulan berlalu, kisah tersebut masih mengusikku, bahkan ketika aku berhadapan dengan layar di bioskop menonton film Istirahatlah Kata-kata yang tayang tepat pada Hari Peringatan 10 Tahun Kamisan. Dan, dengan demikian, pikiran ihwal menanti menuntun dan mengarahkanku selama hampir 100 menit membaca film Wiji Thukul.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya gampang diduga: film panjang kedua Yosep Anggi Noen, menurutku, adalah film tentang menanti. Hal itu sudah ditunjukkan sejak awal melalui pertanyaan: Bapak kapan pulang?
Tetapi, apa itu menanti?Istirahatlah Kata-kata, aku pikir, hendak menunjukkan kepada penonton bahwa menanti adalah ruang dan tindakan perlawanan. Aku tidak bilang menanti adalah satu-satunya hal yang hendak disampaikan oleh film itu. Aku, sebaliknya, ingin mengatakan bahwa dari aktivitas menanti kita akan melihat perihal lain yang lebih besar berusaha dituturkannya.
(Aku akan lebih banyak memakai kata menanti daripada menunggu di tulisan ini. Pada kata yang kedua aku merasa kehilangan anasir waktu dan perubahan. Meskipun pilihan ini berisiko sebab pada kata menanti efek psikologis, tekanan-tekanan yang kita alami selama menunggu, terasa berkurang.)
ADVERTISEMENT
2.
lalu aku menunggu
berdiri. bukan aku saja. tapi berpuluh-puluh
bayi digendong. orang-orang batuk
kursi-kursi tak cukup, maka berdirilah aku
— Wiji Thukul, Reportase dari Puskesmas
Di salah satu esainya, Edna O’Brien menulis: ‘‘Everyone I know is waiting, and almost everyone I know would like to rebut it, since it is slightly demeaning, reeks of helplessness, and shows we are not fully in command of ourselves. Of course, we are not.’’
Dari sini bisa kita baca bahwa dalam laku menanti ada relasi sosial bekerja dan mencipta beragam efek tidak yang menyenangkan. Tetapi O’Brien luput menyebut bahwa aktivitas menanti menyebabkan tekanan dengan cara berbeda terhadap setiap orang. Dan, dengan begitu, setiap orang akan mengalami dan meresponsnya berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Ihwal menanti sejak lama telah menjadi salah satu bahan dasar mencipta karya sastra. Beberapa yang menonjol dan fokus — dan barangkali pernah anda baca: Waiting for Godot (Samuel Becket), No One Writes to the Colonel (Gabriel García Márquez), The Trial (Franz Kafka), The Waiting Years (Fumiko Enchi), dan Waiting (Ha Jin). Namun, masing-masing karya itu memaparkan perspektif yang tidak melulu sama. Menanti tidak sesederhana sebagai tindakan “tinggal beberapa saat di suatu tempat dan mengharap sesuatu akan terjadi/datang” seperti yang selama ini kita pahami.
Menanti adalah kata (dan) kerja yang kompleks.Terkait dunia filsafat, psikologi, sosiologi, psikologi sosial, dan kesehatan laku menanti, tentu saja, bukan perkara baru. Banyak buku dengan beragam konsep dan teori telah diterbitkan. Tetapi tulisan ini hanya akan sedikit menyinggung urusan menanti dalam perspektif-perspektif tersebut. (Salah satu buku yang mengkaji perihal menanti dari pandangan filsafat dan sastra dengan baik adalah On Waiting: Thinking in Action karya Harold Schweizer.)
ADVERTISEMENT
Catatan ini, yang meminjam beberapa adegan film (dan) puisi Wiji Thukul sebagai ruang berangkat, akan bicara perihal menanti dalam hubungannya dengan politik kekuasaan (dan ekonomi).
Wiji Thukul, seperti umumnya kita, benci menanti. Tapi, tidak sama dengan kita, Wiji Thukul memandang dan memberikan reaksi berbeda terhadap aktivitas menanti. Ia melihat relasi kuasa yang bekerja dalam laku menanti. Wiji Thukul sadar bahwa dalam menanti pihak yang memiliki kuasa lebih besar selalu melakukan upaya dan tindakan untuk menindas pihak yang lebih lemah.
Jika membaca puisi-puisinya di buku Nyanyian Akar Rumput (GPU, 2014), kita akan menemukan bahwa hanya di 4 puisi (Reportase dari Puskesmas, Aku Tidak Tahu, Tanah, dan Catatan) Wiji Thukul secara eksplisit menyebut kata menunggu atau kutunggu atau menanti atau tunggu. Di film Istirahatlah Kata-kata, ia juga nyaris tidak pernah tampak sedang menanti — meskipun ada banyak kesempatan di mana ia bisa ditampilkan sedang melakukannya. Di film tersebut, kecuali pada adegan memotong rambut, yang terjadi justru sebaliknya: Wiji Thukul adalah orang yang ditunggu, terutama oleh istrinya.
ADVERTISEMENT
Wiji Thukul melihat dalam laku menanti ada ancaman dan tindakan kekerasan terhadap pihak yang lebih lemah. Dalam puisi Reportase dari Puskesmas, misalnya, dengan karikatural, ia menunjukkan bahaya tersebut: Dominasi. Berpuluh-puluh orang miskin dengan beragam penyakit dilaporkan berbaris menunggu obat dan perlakuan di ruang tunggu puskesmas. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain antre menunggu, meskipun pada akhirnya hanya mendapatkan obat yang sama. Kata Wiji Thukul: puskesmas itu demokratis sekali, pikirku/ sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam/ tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
Pertanyaannya: kenapa orang-orang miskin itu patuh menunggu berlama-lama? Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak sederhana — meskipun dengan beragam cara kita bisa baca di puisi-puisi Wiji Thukul, juga di film Istirahatlah Kata-kata.
ADVERTISEMENT
Versi lain pertanyaan itu adalah “Bagaimana dominasi bekerja?”, soal yang sejak lama jadi pusat perhatian ilmuwan sosial. Dari Karl Marx sampai Max Weber, dari Antonio Gramsci dan Louis Althusser hingga Michel Foucault dan Pierre Bourdieu. Beragam konsep telah disusun demi memahaminya: ideologi dominan, legitimasi, hegemoni, disiplin, governmentality, aparatus ideologi, dan kekerasan simbolik.
3.
bagaimana kau akan membungkamku?
penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendikteku jadi patuh
— Wiji Thukul, Puisi Menolak Patuh
Karena menanti tidak menyenangkan (dan kita kerap menganggapnya tindakan pasif, atau buang-buang waktu), kita umumnya akan memilih: 1) menolak atau menghindarinya, 2) mengerjakan hal lain saat menanti, 3) mencari atau menciptakan suasana nyaman agar tidak merasa sedang menanti.
Ketiga hal tersebut dipahami dengan amat baik terutama oleh para pelaku bisnis di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Itulah sebabnya ada televisi di ruang-ruang tunggu rumah sakit atau praktik dokter; itulah sebabnya ada tumpukan majalah di salon-salon; itulah sebabnya anda melihat tata ruang apik dengan sofa-sofa empuk warna-warni dan menerima minuman selamat datang di lobi hotel; itulah sebabnya anda menemukan kafe, lounge, dan kursi pijat di ruang tunggu bandara. Mereka ingin anda menanti namun pada saat yang sama tidak ingin anda merasa sedang menanti; mereka tahu bahwa anda memiliki kekuasaan yang mesti dijinakkan.
ADVERTISEMENT
Ketaknyamanan kita menanti (dan atau usaha kita menghindar darinya atau membuatnya nyaman) acap kali adalah wujud ketaksadaran bahwa dalam aktivitas tersebut ada relasi kuasa bekerja. Di dunia yang dipenuhi manusia yang dipenuhi diri sendiri, hal semacam itu tidak mengejutkan. Kita kerap melihat segala rupa tindakan kita digerakkan oleh kekuatan ekonomi atau demi memenuhi hasrat individu belaka—atau kita terjebak permainan dan pikiran kita sendiri yang telah dikuasai cara pandang tertentu?
Sebagai contoh: Anda tentu pernah membaca di Twitter atau Facebook seseorang marah karena ada orang lain yang ‘tidak tahu antre’. Dan, dengan mudah, orang tersebut bilang sang penyerobot antrean bigot, binatang, kurang ajar, tidak berpendidikan, atau makian lain yang lebih kasar. Marah karena ada orang sewenang-wenang menyalip kita (yang sudah lama susah payah menanti) di antrean merupakan perilaku yang lumrah — sebab barangkali kita berpikir orang tersebut tidak menghormati kita.
ADVERTISEMENT
Namun, dibandingkan dengan kemarahan kita kepada si penyerobot (yang juga sedang menanti) mengapa kemarahan kita jarang tertuju kepada orang yang membuat kita antre? Mengapa kita harus antre menanti? Mengapa kita menganggap berbaris rapi menanti adalah kewajaran untuk mendapatkan hak— atau bahkan keharusan?
Di film Istirahatlah Kata-kata, relasi kuasa tampak jelas dalam adegan di tempat pangkas rambut. Ketika Wiji Thukul siap dicukur, tiba-tiba ada tentara masuk. Tukang Cukur meminta Wiji Thukul agar membiarkan Tentara dilayani lebih dulu, meski jelas Wiji Thukul datang lebih awal.
Adegan tersebut bukan semata ingin menunjukkan bahwa Wiji Thukul tidak ingin bikin masalah yang bisa berakibat penyamarannya terungkap. Lebih dari itu, ingin memperlihatkan bahwa otoritas Tukang Cukur lebih besar daripada otoritas Wiji Thukul, dan otoritas Tentara lebih besar daripada otoritas Tukang Cukur dan Wiji Thukul dan Martin. Dan, dari dialog mereka kita juga bisa tahu ada otoritas yang lebih besar daripada otoritas Tentara tersebut.
ADVERTISEMENT
Reaksi Wiji Thukul (yang ditunjukkan tidak bisa berkata-kata) bisa kita pahami pula sebagai bentuk kemarahan atas kekuasaan yang menindasnya dan bahwa ia sedang mengalami tindakan kekerasan — juga kemarahan kepada diri sendiri yang tidak sanggup berbuat apa-apa selain menanti situasi itu segera berakhir.
Sepanjang film — bahkan setelah film berakhir — Sipon, istri Wiji Thukul, juga menanti dalam kondisi yang tidak menyenangkan sama sekali. Ia mengalami beragam rupa kekerasan. Dan, kita tahu, dalam penantian Sipon (sebagaimana penantian Wiji Thukul di tempat cukur) ada sesuatu yang dirampas darinya oleh pihak lain yang lebih kuat.
Menanti, kata Pierre Bordieu dalam Meditations Pascalian, adalah salah satu cara istimewa untuk mengalami efek kekuasaan. Membuat orang menanti, menunda tanpa menghancurkan harapan, menangguhkan tanpa benar-benar mengecewakan, kata Bordieu, adalah unsur-unsur yang ada dalam kerja dominasi.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang disebutkan Bordieu tersebut bisa kita saksikan di banyak bagian film Istirahatlah Kata-kata.
4.
aku tidak akan lagi memohon pembangunan
nasib
kepadamu, duh pangeran, duh gusti
sebab nasib adalah permainan kekuasaan
— Wiji Thukul, Nyanyian Abang Becak
Mengapa di film Istirahatlah Kata-kata kita tidak menemukan banyak adegan Wiji Thukul sedang menanti? Mengapa ketika merindukan istri dan anak-anaknya ia digambarkan bahkan seolah tidak mau menanti hingga kondisi aman? Ia digambarkan seperti melakukan hal yang ia tulis di salah satu puisinya: maka sekalian aku menempuh bahaya demi keadilan si buah hati. Dan, kenapa tidak ada adegan, misalnya, Wiji Thukul sedang berada di kapal atau mobil ketika pulang dari Pontianak ke Solo?
ADVERTISEMENT
Tidak menunjukkan adegan-adegan di mana Wiji Thukul sedang menanti, aku pikir, adalah cara yang baik untuk menunjukkan bahwa sebetulnya semua orang sedang menanti. Untuk menjelaskan hal ini, kita bisa membaca Aksi Kamisan di depan istana. Mengapa para perempuan itu berada di depan istana negara menanti setiap Kamis? Dan, karena kita tahu mereka tidak akan kesusahan melakukannya, kenapa orang-orang yang ada di istana tidak menemui mereka?
Dari pertanyaan terakhir itu kita tahu bahwa dalam penantian, bahkan orang yang dinantikan sebetulnya juga sedang menanti. Para pemilik kekuasaan yang jauh lebih besar di negara ini menanti waktunya para perempuan yang menanti di luar pagar istana berhenti menanti.
Jika sulit memahami penjelasan itu, bayangkan anda sedang berada di jalan dan di tempat lain ada seseorang menanti anda. Anda berjanji akan tiba 30 menit yang lalu tetapi anda sekarang terjebak kemacetan. Dalam situasi semacam ini, anda bukan hanya menanti kemacetan segera terurai, tetapi juga menanti kapan saatnya anda tiba di tempat di mana seseorang menanti anda.
ADVERTISEMENT
Anak kecil biasanya amat baik memahaminya. Dalam perjalanan menuju suatu tempat, anak kecil kerap bertanya kapan kita sampai? atau masih lama? Mereka tahu bahwa bahkan ketika sedang melakukan perjalanan, kita sebetulnya sedang menanti. Kita menanti tiba di tempat tujuan.
Apabila kita tahu menanti sedemikian kompleks, kita kemudian akan sadar bahwa menanti tidak lagi lebih penting daripada tindakan kita terhadapnya.Wiji Thukul, seperti kita bisa baca di puisi-puisinya, selalu menunjukkan bahwa orang-orang miskin tidak boleh pasrah sekadar menanti dan berharap dan patuh.
Para penguasa tidak akan mengembalikan begitu saja hak-hak orang miskin yang telah mereka rampas. Mereka, para penguasa itu, justru juga sedang menanti saatnya orang-orang miskin patuh — dan tidak bisa melakukan apa-apa selain menanti.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas menanti tidak berhenti di situ, sebab untuk membuat orang miskin patuh, bagi para penguasa, salah satu caranya adalah menanti. Di dalam proses menanti para penguasa kerap menciptakan ketidakjelasan dan kesewenang-wenangan demi membuat pihak yang lemah frustrasi, tertekan, patuh, dan akhirnya menghabiskan waktu mereka hanya untuk menanti dan menanti dan menanti dan berharap.
Bagi para penguasa, menanti adalah cara yang efektif untuk semakin melemahkan perlawanan pihak yang lemah.
Dengan menyadari kerja kekuasaan dalam menanti, kita akan paham kenapa di banyak pusat layanan publik kita akrab dengan pemandangan warga antre, bukan hanya berjam-jam, namun bisa berhari-hari, dan apa yang dinanti kerap kali tidak jelas kapan didapatkan.
5.
hari ini aku mimpi buruk lagi
seekor burung kecil menanti induknya
di dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi
ADVERTISEMENT
— Wiji Thukul, Tanah
Ketika pihak lemah sedang menanti dalam waktu panjang (dalam situasi tertekan) apakah selalu berakhir dengan kepatuhan? Jawabannya, jika kita membaca puisi-puisi Wiji Thukul: Tidak.
Pihak yang lemah, jika mereka sadar bahwa pihak yang lebih kuat merebut hak-hak mereka, terus melakukan perlawanan dalam bentuk terselubung dalam penantian.
Perlawanan pihak lemah bisa berupa laku mengumpulkan kekuatan. Kian lama seseorang menanti ia akan kian kuat. Pelajaran dan imbalan terbaik dari menanti, kita tahu, adalah kekuatan dan ketabahan. (Hal terakhir itu rentan jatuh menjadi sikap moral semata — atau bahkan tampak sebagai kepasrahan.)
Barangkali ini alasan kenapa Aksi Kamisan membuat ibu-ibu berpayung itu bisa bertahan 10 tahun atau para perempuan di Kendeng bertahan selama berbulan-bulan melawan — dan pria tua yang kuceritakan di awal tulisan ini bisa menanti kekasihnya selama 40 tahun. Menanti telah membuat mereka kian kuat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlawanan juga bisa berupa kesadaran. Semakin lama pihak lemah menanti, akan semakin terbuka kesempatan bagi mereka untuk menyadari posisi dan identitasnya. Dan, dengan begitu, mereka akan sadar bahwa ada pihak lain sedang mengeksploitasi dan menindas mereka. Sebab, seperti kata Wiji Thukul: penindasan adalah guru paling jujur bagi yang mengalami.
Kesadaran bukan perkara sepele. Dengan kesadaran, pihak lemah akan melihat proses menanti sebagai ruang untuk melakukan tindakan politis dan kreatif. Di titik ini, kita bisa memahami aktivitas Wiji Thukul menulis puisi-puisi bukan sebagai upaya menjadi ‘seniman’, melainkan aktivitas mengisi ruang menanti dengan tindakan kreatif dan politis — sekaligus upaya untuk memberi kesadaran kepada orang lain.
Dan, bukan sekadar itu, sebab bagi pihak yang lemah melawan penguasa membutuhkan biaya tidak sedikit — dan sering kali mereka tidak memiliki apa pun selain waktu dan kesadaran. Sehingga bahkan ketika yang mampu mereka lakukan adalah semata menanti dan menertawai ketertindasan sambil menikmati lagu kesukaan pun, tetap bisa kita baca sebagai tindakan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Bagi orang-orang miskin, kerap kali seluruh hidup mereka adalah menanti. Karena itu, menyebut aktivitas mereka menanti sebagai pekerjaan buang-buang waktu atau pemalas bisa jadi adalah bentuk lain dari penindasan terhadap mereka.
Kita yang tidak menyadari bahwa menanti adalah ruang pertarungan kekuasaan — dan melulu berpikir bahwa politik adalah semata urusan memilih Si A atau Si B dan dengan begitu kekuasaan ada di tempat tidak terjangkau— akan cenderung melihat laku menanti sebagai tindakan pasif dan buang-buang waktu. Dan, tanpa kesadaran bahwa politik adalah urusan kekuasaan (yang bisa kita baca dalam tindakan sehari-hari), kita juga akan cenderung menindas pihak yang lebih lemah, sengaja atau tidak.
Maka, menurut aku, salah satu hal utama yang disampaikan film puisi Wiji Thukul adalah kesadaran bahwa dalam beragam bentuk dan cara di kehidupan sehari-hari, termasuk menanti, para penguasa telah dan selalu ingin merebut kekuasaan dan menindas pihak yang lemah. Dengan begitu, Istirahatlah Kata-kata mengerjakan tugas dengan baik untuk menghindar dari membicarakan politik dalam pengertian yang dangkal dan klise— juga melepaskan diri dari kecenderungan film biopic yang sering kali jatuh melakukan glorifikasi.
ADVERTISEMENT
Glorifikasi berlebihan, kita tahu, bisa menciptakan pengultusan — dan pengultusan bisa menebar selubung yang menutupi pandangan kita dari pikiran dan tindakan tokoh tersebut, karenanya membuat kita tidak memikirkan dan melakukannya.
6.
aku pasti pulang
mungkin tengah malam dini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kau tunggu
— Wiji Thukul, Catatan
Aku ingin sekali mengakhiri catatan ihwal menanti ini seindah Yosep Anggi Noen menutup Istirahatlah Kata-kata, tetapi aku tidak mampu. Maka, begini saja, sambil mengenang masa kecil anda ketika berbaris rapi di depan kelas sebelum masuk menerima pelajaran (mungkin PPKn), aku punya satu pertanyaan: Menurut anda, kenapa kata waiter/waitress diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pelayan? Kenapa tidak diterjemahkan menjadi penanti atau penunggu?
ADVERTISEMENT
*
Makassar, 21 Januari 2017
(Terima kasih kepada Yosep Anggi Noen dan seluruh pihak yang telah mengupayakan lahirnya film Istirahatlah Kata-kata.)