Konten dari Pengguna

Theme Park & Pariwisata Kota (Seri 7: City Tourism)

Aang Afandi
Belajar tentang Pariwisata, Ekonomi Kreatif dan Kebijakan Publik
11 Juni 2022 11:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aang Afandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menikmati jalan ikonik kota, berjalan kaki, duduk - duduk, berbelanja dan menikmati lanskap kota menjadi cara wisatawan memahami sebuah kota.
zoom-in-whitePerbesar
Menikmati jalan ikonik kota, berjalan kaki, duduk - duduk, berbelanja dan menikmati lanskap kota menjadi cara wisatawan memahami sebuah kota.
ADVERTISEMENT
Theme Park, sebuah sarana rekreasi yang memiliki ide dasar khusus yang mencirikan seluruh tempat rekreasi tersebut. Dengan demikian, kata kuncinya adalah kepemilikan ide dasar khusus, yang bermakna bahwa ini bukan sekedar taman biasa, sekedar kumpulan tanaman dan bunga semata, melainkan sebuah kawasan dengan luasan tertentu, yang secara sengaja dirancang dan dibangun dengan mengusung konsep atau tema tertentu. Dengan demikian theme park pada dasarnya adalah sebuah obyek wisata yang secara sengaja dibuat dan diciptakan sebagai obyek wisata, untuk menarik minat wisatawan mengunjunginya. Berdasar hal tersebut maka theme park ini dimungkinkan wujudnya adalah bentuk aktivitas investasi padat modal (capital intensive) dan bukan merupakan wujud pariwisata berbasis komunitas (community based), walaupun berpeluang juga theme park dibangun atas dasar community based. sebagai contoh sederhana keberadaan Taman Rekreasi Selekta di Batu yang sebagian sahamnya dimiliki oleh masyarakat lokal disana.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah setiap kota agar pariwisatanya sukses, dengan salah satu indikator adalah jumlah kunjungannya maka perlu sebuah investasi pembangunan Theme Park? apakah theme park ini berskala nasional atau bahkan internasional? atau mungkin cukup skala lokal saja hanya sebagai pemenuhan warga kotanya. Pertanyaan inilah yang sebenarnya mesti di jawab oleh para Manajer Kota, dalam hal ini para Walikota untuk membangun konsep kotanya secara matang, terinci dan komprehensif. Tentunya dibantu oleh para perencananya yang ada di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), merekalah "think thank"nya pak/bu walikota yang akan menjadi titik awal sebauh kota ini mau dibawa kemana.
Pertama, Tentukan dulu daya saing kota. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh sebuah kota / daerah, dalam ilmu ekonomi ada analisis LQ yang bisa dilakukan diluar beberapa alat analisis lainnya, untuk melihat daya saing daerah. Tidak lantas, setiap kota harus selalu aktivitas ekonominya berbasis pariwisata. apalagi hanya karena latah atau tren semata, sekarang era nya"healing" maka pariwisata harus digenjot tanpa konsep dan memahami kekuatan daerah yang dimiliki. Nanun, bila orientasinya dalam pemenuhan rekreasi warga kotanya hal itu tidak jadi masalah. Dengan penelaahan ini, barangkali, sebuah kota ternyata bisa fokus pada kekuatan industrinya untuk menopang kota - kota disekitarnya yang berbasis pariwisata. pemahaman pembangunan kluster dan tidak egosentris kewilayahan sudah selayaknya dikedepankan.
ADVERTISEMENT
Kedua, bila analisis potensi perwujudan pariwisata kota layak diimplementasikan maka manajer kota bisa memulai merencanakan dan membangunnya, termasuk menentukan, mau capital intensive, atau community based dalam upaya perwujudan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan, ataupun menyelaraskan keduanya, juga sebagai wujud berkeadilan pula. Namun tak sesederhana ini, membangun visi yang kuat yang tak sekedar dalam dokumen perencanaan, semacam master plan, business plan dan sejenisnya. tetapi justru visi bersama manajer kota, para aparaturnya dan tentunya sebuah aspek masyarakat kotanya. Visi yang membumi, yang dipegang dan dilaksanakan dengan baik para pelaku tersebut menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa dari sekedar tulisan dalam dokumen tanpa makna. Nah, proses peng-eja wantahan visi inilah yang sebenarnya menjadi titik krusial sebagai awalan. Bagai sebuah kertas putih yang mau ditulisi atau digambar dalam wujud apa. "Wisata kota berbasis budaya dan industri fesyen," barangkali ini menjadi sebuah contoh visi, yang mana sebuah kota tersebut konsentrasi mewujudkan, dalam aktivitas - aktivitas yang nyambung dan relevan.
Berbagai Theme Park bisa dibangun, salah satunya berdasar preferensi konsumen. apa yang mereka mau dan menjadi trend saat ini dan mendatang.
Ketiga, mengidentifikasi, menghitung dan memformulasi sumberdaya yang dipunya. Pariwisata kota justru memanfaatkan kepemilikan asset kota tersedia. Seperti lanskap kota, taman - taman kota, gedung - gedung pencakar langit, museum, monumen, jalan ikonik, bahkan street art-pun sebenarnya adalah asset kota yang tak bisa diabaikan begitu saja. Mural yang unik dan cantik, pedestrian yang modern, dan musisi jalanan menjadi pelengkap sebuah kota. Street food, yang terdiri dari UMKM tak lagi dipandang sebelah mata, di kota - kota bresar seperti Kuala Lumpur, Bangkok, Street food selalu dicari dan ternyata mengena di hati. Sehingga sebenarnya Theme Park, bukanlah satu - satunya, sesuatu yang mesti diwujudkan oleh setiap kota. Theme Park adalah sebuah pilihan, dimana kota bisa memilih untuk tidak selalu membangunnya untuk mewujudkan kotanya sebagai kota wisata. Kita bisa lihat, sampai saat ini Kuala Lumpur, Penang, Ho Chi Minh, ataupun Phuket misalnya, tak membangun Theme Park. Bisa jadi Theme Park itu dibangun di wilayah sekitarnya, sebagai wujud berbagi kue wisata dan pemerataan kesejahteraan bersama.
ADVERTISEMENT
Theme Park yang dibangun bisa saja menjadi fokus dan center of view wisatawan, yang bisa saja menjadi one stop shopping layanan wisata, yang dampaknya bisa mematikan aktivitas lainnya di kota tersebut. Wisatawan merasa sudah cukup datang ke Theme Park tersebut, karena bermalam, makan, bermain di destinasi sampai belanja semuanya tersedia di areal theme park ini. begitu selesai, tak ada lagi keinginan untuk sightseeing mengelilingi kota, mampir ke pasar tradisional, bermalam di homestay tepian kota atau sekedar menikmati food street di ujung kota. nah, peran Pemerintah daerah dan otoritas pariwisata yang semestinya mengatur dan mengelola pergerakan wisatawan ini. Harapannya apa? length of stay termasuk peningkatan kesediaan membeli (rata - rata belanja) menjadi meningkat. wisatawan merasa tinggal lebih lama menjadi sebuah keinginan yang kuat untuk menikmati lebih lama potensi kota yang beragam hal yang ingin dirasakan dan dinikmati.
ADVERTISEMENT
Sinergi & kolaborasi antara Theme Park dan asset wisata kota lainnya, selayaknya dilakukan. Mereka menikmati theme yang ada, namun mereka juga tetap ingin eksplor wisata kotanya. Bila boleh memilih maka selayaknya diawal pengembangan wisata kota lebih pada memanfaatkan sumber daya yang sudah tersedia dengan baik. Bagaimana sumber daya ini dapat dikelola, disinergikan dan dimanfaatkan dengan optimal. Ketika pada titik tertentu, barulah dicoba untuk memilih membangun Theme Park sebagai sebuah alternatif. Barangkali belajar dari Malang Raya bisa menjadi sebuah pembelajaran yang menarik. ketika wisatawan tinggal (stay) dan belanja maka Kota Malang, lantas ketika ingin menikmati theme park yang beragam maka pergilah ke kota Batu yang berjarak sekitar 25 km. Berlanjut menikmati alam, gunung dan pantai bisa berkunjung di wilayah kabupaten Malang dan yang bisa dikombinasi lagi pergi ke TNBT dengan Bromo-nya, ikonnya Jawa Timur. Membangun kluster inilah menjadi bagian yang integral dari pengembangan wisata kota yang komprehensif, berkarakter dan penuh kenangan bagi pengunjungnya.
ADVERTISEMENT